Sabtu, 06 Juni 2015

(Review Short Film) "Iblis Jalanan" : Menggila Pada Tempatnya


Sekelompok pembalap liar yang sering menggunakan jalan umum ibukota sebagai lintasan balapnya jelas bagaikan iblis yang mengusik pengendara lain dalam berlalulintas. Jalanan dirasa milik mereka sendiri dan dijadikan arena balap motor yang tak hanya uang yang jadi bahan taruhannya, namun juga nyawa mereka sendiri bahkan nyawa pengendara umum yang sedang melintas ikut terancam. Ada yang bangga menjadi pembalap liar karena dianggap punya nyali yang besar. Walau sering dilakukan razia oleh polisi, namun keberadaan para “iblis jalanan” ini sulit untuk dibasmi. Melihat fenomena inilah, film dokumenter pendek berjudul Iblis Jalanan seakan memberikan solusi bagi mereka yang memang bangga punya nyali besar dengan “kuda besinya” untuk meluapkan nyali besarnya dengan menggila pada tempatnya di arena tong setan.

Iblis Jalanan merupakan film dokumenter pendek yang terinspirasi dari lagu berjudul Iblis Jalanan milik Bangkutaman. Film ini berkisah tentang kehidupan serta sisi lain dari para pembalap tong setan di sebuah pasar malam. Adalah Eko dan Abdul, dua rider tong setan yang tak hanya pamer kebolehan dalam atraksi penuh resiko namun juga membagi cerita dibalik penampilan mereka serta pengalaman mereka selama berkecimpung di dunia per-tong setan-an dan lika-liku pasa malam keliling. Selama 10 menit durasi film, Penonton akan diajak menyelami kehidupan dan keseharian Eko dan Abdul di arena tong setan pasar malam lengkap dengan penampilan gila-gilaan mereka serta segala keluh kesah mereka mulai dari beberapa cedera yang mereka pernah alami sebagai resiko pekerjaan hingga kisah kasih dengan tambatan hati mereka di pasar malam.

Iblis Jalanan merupakan karya dari Gundala Pictures yang disutradarai oleh Salman Farizi. Film dokumenter pendek ini awalnya merupakan project videoclip dari single Bangkutaman yang rilis tahun 2014, namun sepertinya para sineas dibalik Iblis Jalanan melihat potensi dan kisah yang sangat menarik untuk diangkat ke permukaan dari kehidupan para rider tong setan, sehingga jadilah  Iblis Jalanan dalam sajian sebuah film pendek dokumenter.  Dalam 10 menit, Iblis Jalanan mampu menangkap momen-momen menegangkan serta berbahaya dari atraksi para pengendara motor di arena tong setan. Duet DOP, Sesaria Saputra dan Dana Putra mampu meng-capture ketegangan dari uji nyali dalam tong raksasa yang dilakukan oleh Eko dan Abdul. Beberapa adegan serta shot yang dibidik dari kamera mereka dapat dikatakan variatif dimana menggabungkan beberapa tehnik pengambilan gambar, diantaranya sudut pandang pengendara dimana menggunakan kamera Go-Pro yang ditempel di motor Eko dan Abdul serta angle yang diambil dari dasar tong setan yang memperlihatkan dua rider tersebut berputar-putar mengelilingi tong setan dengan kecepatan tinggi. Dua kameramen itupun ikut adu nyali berada ditengah-tengah arena tong setan karena tak dipungkiri resiko mereka demi mendapat gambar yang baik cukup besar.


Footage-footage yang berhasil ditangkap dalam proses pengambilan gambar Iblis Jalanan mampu dijahit melalui proses editing yang menarik dimana pace-nya terasa cepat namun tetap intense sehingga tetap setia dengan apa yang ingin diceritakan. Editing Iblis Jalanan terasa pop dan  transisi serta komposisi antara footage atraksi, wawancara dengan pembalap, serta suasana eksternal (penonton dan pasar malam) terasa pas dan seimbang. Hasilnya menonton Iblis Jalanan terasa sangat renyah, nikmat, dan ringan namun pesan yang ingin disampaikan tetap tersalurkan. Durasi jadi tak begitu terasa saking menikmatinya. Bisa dikatakan, Iblis Jalanan punya pencapaian tehnik yang baik yang tentu saja sangat menunjang cerita dan apa yang ingin disampaikan ke penonton.

Secara sangat jelas bahkan disertakan dalam premisnya bahwa film Iblis Jalanan ini terinspirasi oleh lagu Iblis Jalanan milik Bangkutaman, sudah tentu lagu ini pun turut memperkuat atmosfer ketegangan saat Eko dan Abdul  bersama motor mereka melakukan atraksi di arena tong setan. Beberapa momen dalam film ini punya power lebih ketika diiringi oleh lagu Bangkutaman ini. Namun, lirik dari lagu Iblis Jalanan kurang begitu terdengar dan sudah jelas tak begitu memberikan pengaruh dalam film rasanya. Padahal bisa dipastikan bila liriknya lebih mudah didengar oleh penonton bisa menjadi kekuatan dan nyawa lebih dalam filmnya. Hingga akhirnya, apabila lagu Iblis Jalanan diganti dengan lagu lainpun yang bergenre sejenis akan terasa sama saja hasilnya. Disinilah terlihat bagaimana film arahan Salman Farizi ini tetap setia dan konsisten terhadap konsep awal filmnya yang terinspirasi dari lagu milik Bangkutaman.

Film dokumenter pendek Iblis Jalanan  punya tujuan yang sama dengan lagunya sama-sama menyinggung para pengguna jalan yang bertindak semaunya namun dengan cara dan eksekusi yang berbeda. Bila lagunya secara terang benderang menyinggung pengguna jalan yang suka kebut-kebutan, bila filmnya seakan memberi solusi bila ingin unjuk nyali dengan cara yang lebih positif, tepat pada tempatnya, dan tentu saja mendapat uang. Filmnya tidak menyinggung tentang perilaku para “Iblis Jalanan”, namun memberikan sosok “Iblis” baru namun lebih tahu aturan dan tahu tempat yang digambarkan dengan sosok Eko dan Abdul. Bila ingin uji nyali besar daripada balapan liar di jalan yang jelas merugikan orang lain, lebih baik tes nyali di arena tong setan, kurang lebih itulah yang ingin disampaikan pada film ini selain menunjukkan sisi lain dari para pembalap tong setan beserta lika liku per-pasar malam-an.

Dengan segala yang disajikan Iblis Jalanan, sangat pantas bila film dokumenter pendek ini terpilih sebagai pemenang Special Mention Juri film dokumenter di perhelatan XXI Short Film Festival 2015 dan baru saja menjadi jawara film pendek terbaik di Europe on Screen 2015 mengalahkan kandidat lain salah  satunya Lemantun  karya Wregas Bhanuteja. Dengan segala pencapaian yang didapat oleh film dokumenter pendek Iblis Jalanan, Bangkutaman haruslah bangga dengan apa yang dilakukan oleh Salman dkk dalam mentransformasikan project videoclip  mereka kedalam format film dokumenter pendek yang punya kisah serta tehnik penggarapan yang baik. Sepertinya tak hanya yang sering ugal-ugalan di jalan yang harus nonton film ini, para penggemar film khususnya film pendek wajib nonton film ini. 

Senin, 18 Mei 2015

Review : Epen Cupen The Movie (2015)



Pasca keberhasilan luar biasa baik secara komersil maupun kualitas yang ditorehkan Comic 8 pada awal tahun 2014 lalu, para comic (Sebutan dari pelaku Stand Up Comedy) yang terlibat dalam film komedi-aksi tersebut perlahan menunjukkan eksitensi di dunia perfilman Indonesia. Para comic kini laris manis menghiasi beberapa judul film dari berbagai genre baik sebagai pemeran utama maupun sebagai pemain pendamping. Tak dipungkiri, para comic punya pesona komedi yang dianggap fresh dan mampu menggaet penonton khusunya para penonton muda. Salah satu dari mereka adalah Babe Cabita dimana dampak dari penampilannya di Comic 8 pria berambut kribo ini mulai malang melintang menghiasi layar lebar. Dan yang terbaru adalah film komedi-aksi berjudul, Epen Cupen The Movie.

Epen Cupen The Movie berkisah tentang Celo (Klemen Awi), pemuda asal Papua yang mendapat mandat dari ayahnya untuk mencari saudara kembarnya yang terpisah sejak kecil. Dalam perjalanan mencari saudara kembarnya, Celo bertemu Babe (Babe Cabita) seorang pengusaha bangkrut asal Medan dan Celo pun meminta bantuan kepada Babe untuk membantu mencari saudara kembarnya yang hilang. Pertemuan antara mereka berdua menyeret mereka dalam beberapa masalah hingga akhirnya tanpa disengaja terdampar di Jakarta dan terlibat diantara dua kelompok gangster  yang sedang berseteru.

Melalui Epen Cupen The Movie, Irham Acho Bachtiar kembali mencoba mengeksplorasi potensi dari tanah kelahirannya Papua kedalam format film. Bila melihat rekam jejaknya di dunia perfilman, Irham Acho Bachtiar selalu konsisten melibatkan wilayah paling timur Indonesia ini kedalam karya-karyanya. Film pertamanya yang berjudul Melodi Kota Rusa pada tahun 2010 dapat dikatakan sebagai kebanggaan Papua karena seluruhnya digarap oleh anak asli Papua. Walaupun tayang terbatas, namun antusias terhadap film ini cukup besar melihat 1000 keping DVD terjual hanya dalam waktu 2 minggu di Papua. Setahun kemudian, Irham merilis film adventure yang masih melibatkan Papua didalamnya berjudul “Lost in Papua”. Dan 4 tahun setelahnya, Irham mencoba mengangkat budaya lokal bidang komedi di Papua bernama mop Papua. Epen Cupen The Movie sendiri diadaptasi dari webseries yang cukup terkenal berjudul Epen Cupen yang berarti “emang penting cukup penting”. Dalam webseriesnya, Epen Cupen menyuguhkan sebuah lawakan yang terkesan lugu namun cerdas yang diangkat dari interaksi kehidupan sehari-hari dalam bentuk sketsa-sketsa singkat. Dalam  filmnya, Epen Cupen selain tetap bertahan dengan ciri khasnya juga diperkaya dengan elemen-elemen lain seperti deretan adegan action dibeberapa adegan serta lawakan khas Stand-up Comedy sebagai variasi komedi yang disuguhkan ke penonton.

Awal film sangat menjanjikan bagaimana pembangunan karakter Celo dengan latar belakang keluarga serta atmosfer kampung halamannya mampu memberikan harapan jikalau film ini bergulir dengan sangat menyenangkan serta menghibur sepanjang film. Hal tersebut diperkuat dengan kemunculan karakter Babe dan pertemuannya dengan Celo yang akhirnya membentuk sebuah chemistry kuat dengan karakternya masing-masing. Celo dengan kekuatan dialek Papua-nya serta keluguannya dan Babe dengan ceplas-ceplosnya. Konsistensi karakter inilah membuat setiap Celo-Babe saling tektok  melempar dialog dan becandaan dengan mudah mampu mengundang tawa dari penonton.

Dengan performa menawan dari duet Celo-Babe serta cerita yang punya potensi mengundang tawa di paruh awal film, membuat film ini diharapkan menyuguhkan hiburan yang fresh dan mengundang tawa penonton terus menerus sepanjang film. Namun, harapan tinggallah harapan. Menginjak paruh kedua film, tepatnya saat petualangan Celo-Babe bersetting di Jakarta, tensi humor-pun menurun dan film terasa menjemukan. Hal ini dikarenakan penceritaan film yang melebar serta banyaknya karakter pendamping turut ambil peran namun tidak dibarengi dengan skrip yang kuat. Hasilnya, hampir berantakan. Walau diakui masih dapat terhibur dibeberapa bagian, namun kegaringan yang disuguhkan dalam Epen Cupen The Movie memang tak bisa dipungkiri. Para karakter yang muncul di paruh kedua film pun tampil seadanya dan hanya sedikit memberikan hiburan. Mereka tak lebih dari fasilitator kelucuan Celo-Babe dan siap dilupakan begitu saja oleh penonton. Film ini masih beruntung memiliki duet Celo-Babe dimana mereka tampil konsisten dalam melucu dan punya chemistry kuat sehingga film ini tak jadi film komedi yang tidak komedi sama sekali.

Klemens Awi dan Babe Cabita sukses menjadi bintang di film ini serta menjawab tanggung jawab mereka sebagai aktor utama. Yang unik dari mereka adalah bagaimana mereka terasa sepenuh hati melakoni karakter mereka masing-masing dengan gaya komedinya masing-masing. Walau jauh berbeda gayanya, keduanya tak saling timpang-tindih apalagi menonjol sendiri, keduanya saling bersinergi dan menghasilkan sebuah dialog serta adegan yang sangat menghibur. Duet Celo-Babe yang dibangun sangat baik membuat setiap tingkah laku mereka menjadi lucu, bahkan setiap adegan yang melibatkan mereka berpotensi untuk lucu dan seakan penonton sudah siap-siap untuk dibuat tertawa tiap kali mereka ada dilayar. Bahkan mereka diam dan memasang wajah datar pun penonton tetap bisa tertawa. Namun apa yang diberikan Klemens Awi-Babe Cabita terhadap film ini tidak sebanding dengan apa yang karakter lain perbuat kepada Epen Cupen The Movie. Sebenarnya tak perlu diragukan lagi potensi yang dimiliki oleh Edward Gunawan serta Marissa Nasution melihat jam terbang mereka di perfilman Indonesia. Tapi apa yang disuguhkan mereka adalah sebuah akting yang kaku, canggung dan seadanya saja. Karakter yang mereka mainkan jadi tak berkesan apa-apa, ketika dilibatkan untuk memainkan adegan berkonten komedipun hasilnya malah garing dan basi. Sepertinya mereka siap hanya sebagai pelengkap cerita dalam Epen Cupen The Movie lalu dilupakan begitu saja. Dan yang paling disesalkan adalah beberapa komedian yang terlibat tapi tidak dimaksimalkan dengan baik untuk mengundang tawa penonton. Penampilan Temon dan Fico tak lebih seperti figuran biasa yang sebenarnya bukan komedian-pun bisa memerankan karakter mereka. Terlebih Fico, comic seangkatan dengan Babe Cabita dalam Stand Up Comedy tak berdaya dalam film ini. Penampilannya kelewat serius dan menyia-nyiakan potensi yang dimilikinya. Ada adegan dimana Fico punya ruang cukup lama untuk melontarkan lawakannya serta ajang untuk unjuk kebolehan namun tidak dimaksimalkan dengan baik dan hasilnya sebuah lawakan yang garing dan sudah basi untuk sebuah film komedi.

Rentetan adegan aksi dalam film ini tak bisa dibilang mengecewakan namun tak juga istimewa. Efek serta tone warna saat adegan aksi berlangsung mengingatkan penonton akan film Comic 8. Beberapa adegan aksi sukses memamerkan spesial efek mereka serta tentu saja menghibur. Dan yang paling juara adalah aksi kejar-kejaran menggunakan bajaj yang tidak hanya seru namun juga mudah mengundang tawa penonton. Namun, beberapa adegan aksi bukannya semakin menguatkan sisi komedi dalam film ini malah jatuhnya jadi lebay. Adegan petarungan akbar antara dua geng besar menjelang akhir film seharusnya menjadi adengan aksi pamungkas dan klimaks dari film ini malah terlihat seperti anak-anak bocah main perang-perangan di lapangan kosong. Komedinya garing dan tidak ada gregetnya. Malah terkesan dalam penggarapan adegan ini dilakukan main-main karena sudah terlanjur terjebak dalam suasana komedi di lokasi syuting. Adegan yang semestinya punya potensi bagus sebagai adegan paling pamungkas dimana ada lawakan super gila dan rentetan aksi yang intense disia-siakan begitu saja. Amat disayangkan padahal sudah didukung dengan spesial efek yang lumayan baik.


Namun begitu, melalui Epen Cupen The Movie bisa dikatakan Irham Acho Bachtiar naik level dari segi kualitas dibanding film sebelumnya. Niat untuk mengangkat budaya daerah bernama mop Papua didampingi dengan lawakan yang sedang naik daun bernama stand up comedy bisa dikatakan berhasil dan menyuguhkan tontonan yang menghibur. Epen Cupen The Movie memberikan sebuah kolaborasi unik dari duet menawan bernama Celo dan Babe yang mampu memberikan nyawa sepanjang film dan menjadi juru selamat film ini dari kegaringan dan becandaan basi. Terlepas dari konsistensi penceritaan dan karakter pendukung yang tampil seadanya. Epen Cupen The Movie mampu memberikan tontonan yang cukup menghibur serta memberikan nuansa baru dalam genre film komedi Indonesia. Duet Celo-Babe masih sangat potensial untuk diberi kesempatan lanjut ke film selanjutnya dan bisa jadi seri film dengan duet komedian yang besar. Dengan catatan penggarapannya lebih maksimal dan harus jauh lebih baik dari yang sekarang. Agar film yang disuguhkan tak seperti hubungan cinta anak ABG, awalnya terlihat baik dan menjanjikan, namun kelamaan jadi membosankan dan mudah dilupakan. 

Jumat, 08 Mei 2015

(Review Short Film) How To Make A Perfect X’Mas Eve : A Perfect Traumatic To Make a Perfect X’Mas Eve





Dengan judul yang mengandung kalimat A Perfect X’mas Eve, How To Make A Perfect X’Mas Eve (HTMAPXE) jauh dari bayangan malam Natal sempurna yang ada dibenak penonton. Film ini tidak menggambarkan sebuah perayaan malam Natal selayaknya manusia normal yang penuh cinta kasih dan aroma kekeluargaan yang hangat.  Namun disitulah menariknya, HTMAPXE layaknya sebuah tutorial bagaimana membuat malam Natal yang tidak biasa dan lebih “berkesan”. Sebuah malam Natal sempurna dengan perspektif berbeda dari single lady bernama Gella Kuncoro.

HTMAPXE berkisah tentang Gella Kuncoro (Aimee Saras), perempuan muda yang membuat sebuah video tutorial tentang cara membuat malam Natal yang sempurna (dan beda dari biasanya tentu saja). Diawali dengan sosok Gella yang penuh semangat bersiap untuk memaparkan step demi step cara menghidangkan santapan malam Natal didepan kamera dan kemudian adeganpun berpindah dimana Gella merayakan malam Natal “romantis” berdua dengan seorang pria. Siapa sangka, dibalik penampilan manis berbalut dengan dress merah yang membuatnya terlihat anggun nan ayu, Gella memberikan kejutan istimewa untuk sang pria berupa adegan ranjang ala bondage yang tentu saja panas. Sudah dipastikan, ini menjadi malam Natal yang sempurna bagi Gella dan tentu saja tak terlupakan serta penuh surprise bagi si pria “beruntung” tersebut. Saat adegan demi adegan dimana Gella dan pria-nya berinteraksi, memori-memori kelam Gella saat perayaan malam Natal dengan keluarganya di masa kecil pun muncul dan memberikan sebuah trauma psikologis bagi Gella yang mana pengalaman pahit ini sangat berkontribusi membentuk karakter Gella seperti sekarang dan arah pandangnya untuk menikmati malam Natal.

Menurut plot dan latar pengisahannya, ada tiga plot cerita yang membangun HTMAPXE. Pertama, kisah cinta satu malam antara Gella dan pria bule beserta adengan ranjangnya. Kedua, masa kecil Gella yang kelam saat malam Natal bersama keluarganya dimana perlakuan KDRT ayah Gella yang keras terhadap istrinya dan apa yang terjadi malam tersebut memberikan trauma tersendiri dan mengubah arah pandang Gella terhadap malam Natal dan lelaki. Plot pertama dan kedua disuguhkan secara cut to cut bergantian, seakan bertabrakan namun di-blend dengan rapih dan mudah dinikmati. Dan hasil dari plot pertama dan kedua sukses membangun plot ketiga yang berupa tutorial memasak dengan sangat baik walau agak distrubing. Tanpa kontruksi menarik dari plot pertama dan kedua, plot tutorial ini akan terasa biasa saja. Dampak nyata dari gabungan baik plot pertama dan kedua adalah plot ketiga dalam film ini menjadi klimaks yang pas dan elegan serta punya rasa lebih yang akan membuat penonton terganggu (In a good way) karena latar kisahnya. Dan yang menarik adalah bagaimana ketiga plot yang ada di HTMAPXE disuguhkan dalam durasi 11 menit. Sebuah film yang efektif, padat, dan tahu bagaimana durasi yang singkat dapat dimanfaatkan dengan baik.

Monica Vanesa Tedja, sutradara dari HTMAPXE tahu betul bagaimana bermain-main dengan malam Natal dan menuangkannya dalam bentuk visual. Beberapa orang pasti masih teringat dengan adegan makan malam keluarga saat malam Natal di film Pintu Terlarang. Dengan tema yang sama, HTMAPXE memberikan kisah yang berbeda namun rasa yang sama, ngeri dan nyeri. HTMAPXE adalah film thriller yang mampu memanfaatkan atmosfer dan kekuatan naskah dengan baik. Walau tak ada adegan slasher berdarah-darah yang terlihat dengan frontal (namun ada adegan anggota tubuh yang dipotong dan diperlihatkan secara gamblang), HTMAPXE punya atmosfer yang mampu membuat penonton tetap merasakan kengerian. Penggunaan musik latar yang membuat aroma-aroma thriller semakin terasa dan mencekam. Sebagai contoh adegan awal yang secara visual terlihat seorang gadis cantik bergaya depan kamera membuka sebuah tutorial namun dengan iringan musik yang terdengar thriller sekali membuat penonton bergumam, “pasti ada yang ga beres abis ini!”. Penggunaan lagu-lagu khas Natal pun dalam film ini dimanfaatkan dengan baik sebagai pendukung atmosfer dalam film ini. Terutama gubahan lagu Natal saat credit title bergulir, lagu Natal yang populer pun jadi sekelam Glommy Sunday.

Selain disokong dengan skenario yang baik, HTMAPXE juga terfasilitasi dengan teknis yang baik pula. Dari sisi sinematografi, kerja keras sang DOP, Hizkia Christian mampu menghasilkan gambar-gambar cantik dalam HTMAPXE. Beberapa adegan memang diambil dengan pergerakan kamera yang statis seakan hasil rekaman dari karakter Gella. Namun, gambar yang dihasilkan memiliki komposisi yang cantik dan mampu mewakili keseluruhan adegan sehingga tidak ada gambar yang miss atau atau sekedar footage seadanya. Hasil eksplorasi berupa shot dan angle dari sang DOP bisa dikatakan sukses dan membuat film ini terasa unggul dari segi teknis. Bidikan kamera yang dihasilkan pun terasa lezat, selezat masakan Gella (Bagi teman setipenya tentu saja). Editing dari Gamaliel Tapiheru pun bekerja dengan baik terutama pada paruh pertama film. Sang editor mampu mencampurkan adengan masa lalu dan masa kini dengan baik dan tidak terasa memusingkan walau dengan pace yang cenderung cepat. Yang membedakan scene masa lalu dan masa kini Gella adalah penggunaan tone warna. Pada masa kini warnanya tegas dan pada masa lalu warnanya agak senja. Tak ada tumpang tindih antara dua scene berbeda waktu tersebut walau kesannya saling bertabrakan.

Dan ada yang salah bila tak membahas penampilan sang primadona dalam film ini, Gella Kuncoro yang diperankan oleh Aimee Saras. Dalam ajang XXI Short Film Festival 2013, selain HTMAPXE ada satu film lain yang pemeran utamanya Aimee Saras yaitu Merindu Mantan karya Andri Cung dan Aimee Saras sama-sama tampil bagus dikedua film tersebut. Perempuan yang memiliki suara merdu kala menyanyikan lagu It’s Was June ini apabila dalam Merindu Mantan memerankan sosok wanita galau nan kelabu yang dirudung sedih , di HTMAPXE tampil sebagai wanita yang aktif, talkactive, dan gahar dibalik sikapnya yang anggun didepan pria incarannya. Kesamaan dua karakter Aimee Saras di film HTMAPXE dan Merindu Mantan adalah sama-sama korban disakiti hatinya oleh pria dan menggunakan cara tak wajar dalam pelampiasannya. Dalam merindu mantan sosok Aimee Saras merupakan korban sakit hati dari playboy kampung, di HTMAPXE wanita cantik ini korban dari KDRT yang dilakukan oleh ayahnya. Kesimpulannya adalah jangan pernah menyakiti hati perempuan, apalagi Aimee Saras. Aimee Saras mampu memerankan sosok Gella yang seperti sangat menikmati hidup dan friendly di balik sosok mengerikan yang ada didalam dirinya. Puncak performanya bukan saat adegan ranjang, melainkan saat adegan tutorial diparuh terakhir. Mampu menyelaraskan gesture tubuh dan akting menawan dengan intonasi suara yang jelas dan tegas serat dibumbui dark comedy sebagai bumbu adegan tutorial dengan bahan-bahan hasil buruan sendiri ini. Hasilnya, sebuah tontonan campur –aduk dimana penonton sebenarnya dibuat ngilu namun tidak lupa untuk terhibur. HTMAPXE semakin membuktikan bahwa Aimee Saras punya kualitas acting yang baik bahkan cenderung diatas rata-rata.

Dapat disimpulkan bahwa HTMAPXE adalah sebuah film pendek thriller yang mampu menyuguhkan keseluruhan cerita dengan efektif dan tepat sasaran. Didukung dengan naskah yang baik,kepiawaian dari  segi penyutradaraan, dan segi teknis seperti sinematografi, editing, hingga art department yang bekerja dengan maksimal membuat HTMAPXE terasa lezat selezat masakan yang dinikmati oleh Gella da kawan-kawannya di malam Natal sempurnanya. Tak berlebihan bila HTMAPXE terpilih menjadi film pendek terpilih versi IDFC (Indonesian Film Director Club) pada ajang XXI Short Film Festival 2013.




Catatan : Perlu diingat, jangan lukai perasaan Aimee Saras…

Jumat, 24 April 2015

(Review Short Film) Love Paper : Lika Liku percintaan dalam karya Eksperimental



Semua manusia pasti pernah merasakan cinta dan punya cerita serta pengalaman cinta masing-masing. Dari sekian banyak ekspresi serta cerita yang diciptakan dari segala keserbamungkinan yang bida dibuat oleh cinta, tak sedikit yang merasakan pengalaman “Manis diawal, asam dibelakang”. Awalnya menjalin cinta, sepasang sejoli saling memahami satu sama lain baik dan buruknya, plus dan minusnya. Bahkan penggalan lirik “All of me love all of you” yang dikutip dari lagu “All of Me” milik John Legend sangat mewakili apa yang mereka rasakan, apa yang mereka sebenarnya sedang toleransikan. Namun seiring berjalannya waktu dan seringnya bertemu, manis itupun perlahan memudar. Tingkat toleransi dan saling memahami-pun perlahan luntur. Dan segala janji pada awal hubungan tinggallah janji. Demikian sedikit yang setidaknya ingin dituturkan oleh “Love Paper”. Sebuah film pendek yang menggunakan cara yang cukup unik dalam menuturkan maknanya.

“LovePaper” berkisah tentang sepasang suami istri yang menjalani hubungan mereka dimana masa-masa manisnya cinta sudah mulai memudar. Diperlihatkan bagaimana mereka sudah mulai tak saling memahami serta tak saling toleransi lagi satu sama lain. Kepekaan antara mereka-pun meluntur terlihat dari tidak memahami keadaan pasangan masing-masing dan mulai hilangnya respect antara mereka. “Love Paper” merupakan love story dimana Kisahnya terasa umum namun cukup menyentil kehidupan dalam hubungan dewasa. Menyindir bahwa hubungan yang tidak lagi dilandaskan kepedulian satu sama lain akan berujung sebagai bencana.

Apabila “Love Paper” digarap dengan konsep film fiksi naratif seperti film pendek pada umunya, mungkin dengan tema yang seperti demikian akan terlihat biasa saja dan tidak begitu istimewa, namun film yang disutradarai Bambang “Ipoenk” KM  menjadi beda karena disajikan dengan cara yang unik serta beraroma eksperimental. “Love Paper” dihidangkan dengan menggunakan tehnik “Stop Motion” dimana setiap adegannya yang terasa patah-patah merupakan jahitan antara setiap frame yang membuat film ini jadi lebih artistik. Setiap pergerakan gambar satu ke gambar lain dimana stop motion bekerja semakin menekankan ekspresi serta gimmick yang terbentuk dari dua pelakon dalam “Love Paper”. Hasilnya setiap gerakan dan adegan jadi lebih terasa mendalam dan penontonpun lebih merasakan setiap gerakan dan detil yang disuguhkan dalam film ini.

Selain teknik yang digunakan yang mana bisa dibilang unik tentu saja yang paling terlihat mencolok dalam “Love Paper” adalah bagaimana production design bekerja dengan baik untuk mendukung setting dalam film ini. Penonton akan disuguhkan bagaimana niatnya kerja Art Director bernama Deki “Peyank” Yudhanto serta tim artistiknya menghidupkan setting yang mayoritas dibuat dari kertas koran. Semua properti hingga kostum dalam “Love Paper” dibuat (atau beberapa dilapisi) oleh kertas koran mulai dari kursi, televisi, peralatan dapur dan sebagainya. Tak hanya berupa benda, hal-hal mendetil seperti air dan api dalam film ini pun menggunakan kertas yang membuat film ini terasa konsistensinya.

Tentu saja penggunaan kertas yang menjadi mayoritas dalam film ini bukan tanpa maksud dan hanya gaya-gayaan biar terlihat “artsy”namun memiliki makna yang mendukung cerita dalam “Love Paper”. Filosofi kertas yang digunakan dalam “Love Paper” merupakan semiotika dari tempat segala mimpi dan harapan dituangkan. Pada awal menjalin hubungan banyak mimpi hingga gombalan tertulis disana. Hingga berjalannya waktu segala harapan itupun memenuhi kehidupan kita dan perlahanan harapan itupun dikhianati oleh sang pembuatnya. Ketika sumpah cinta itupun dilanggar dan tak semanis kala membuatnya, akan ada cat hitam “memblok” pernyataan mereka dan menutup segala impian serta cita-cita mereka, bahkan cinta mereka pun bisa ikut tertutupi oleh cat hitam tersebut. Kurang lebih begitu. Cukup menarik bagaimana cara “Love Story” memaparkan salah satu kenyataan dalam cinta.

“Love Paper” mampu menampilkan suguhan yang menarik tak lepas dari sinergi yang baik dari sutradara dan kedua pemainnya, yang diperankan oleh Nindya Paramitha dan Riva Aulia Rais. “Love Paper” mampu mengekspresikan setiap gimmick, ekspresi wajah, gesture tubuh dengan sangat baik setiap part-part adegannya. Dengan didukung dengan setting tempat yang unik, menjadikan setiap adegan dalam “Love Paper” begitu memikat. Satu hal lagi yang menarik dalam “Love Paper” ialah penggunaan gumaman sebagai bahasa. Hal ini tentu saja pilihan yang tepat dikarenakan menjadikan bahasa dalam “Love Paper” menjadi universal dan mudah dimengerti oleh penontonnya yang bukan hanya dari negera alanya yaitu Indonesia, tentu saja memudahkan untuk penonton dari negara lain. Kembali lagi ekspresi yang ditunjukkan oleh para pemain “Love Paper” mendukung setiap gumaman yang mereka lontarkan.


Selebihnya dengan durasi yang cenderung pendek sekitar 9 menit, “Love Paper” menyuguhkan tontonan menarik serta mampu menyinggung sebuah hubungan dewasa. Dalam satu sisi penonton akan terpukau bagaimana tehnik yang unik didukung dengan setting dan production design yang terbilang niat, disisi lain ada kenyataan cinta yang kadang sering ditemukan di kehidupan sehari-hari. Unik dan Kreatif mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang tersaji dalam “Love Paper”.

Senin, 20 April 2015

(Review Short Film) Barbie : Like Mother Like Daughter


Sejak awal film pendek “Barbie” bergulir, penonton akan disuguhkan dengan penampilan seorang gadis kecil kira-kira masih duduk di bangku kelas 1 SD bersama dua orang teman sebayanya dimana mereka berdandan ala perempuan socialita ibukota. Selebihnya penonton akan menyaksikan bagaimana pola tingkah ketika gadis belia tersebut berlaku layaknya sudah dewasa mulai dari cara berpakaian, make-up, cara dan kosakata berbicara hingga melakukan hal-hal “hebring” khas ibu-ibu muda gaul seperti makan cocktail, pamer baju mewahnya hingga tentu saja gosip dengan teman sejawatnya. Melalui ketiga pola tingkah “bocah tua” inilah ada pesan yang ingin disampaikan “Barbie” kepada penontonnya.

Selama 8 menit durasi film “Barbie”, jujur saya merasa film ini “annoying”. Merasa terganggu disini bukan karena kualitas film, segi teknis, akting atau apalah namun lebih kepada kenyataan yang dipaparkan dalam “Barbie”.Penonton disuguhkan penampilan gadis belia dengan cara berpakaian, cara bicara, hingga perilaku yang belum pantas mengingat umur mereka yang masih amat sangat muda. Hal ini terjadi karena si anak mulai mencontohkan apa yang dilakukan oleh orangtua mereka dan menjadikannya sebagai pedoman atau bahkan pencapaian hidup.  “Barbie” memperlihatkan bagaimana anak-anak akan menjadi korban dari gaya hidup (atau pilihan jalan hidup)orangtuanya. Ada pepatah terkenal “Like father like son” atau pada film ini bisa disesuaikan dengan “Like mother like daughter”. Pepatah tersebut pas untuk mendeskripsikan apa yang coba diangkat oleh “Barbie”, perilaku orang tua yang secara tidak langsung mengilhami anaknya yang masih lugu dan menumbuhkan obsesi untuk mengikuti jejak langkah orangtuanya. Kalau itu hal yang baik tentu sangat baik untuk anak kedepannya, namun bila hal ini hal yang buruk?. “Barbie” coba mengkritisi bagaimana pendidikan moral berawal dari lingkungan keluarga dan setiap orangtua harus sadar betul apa yang mereka lakukan demi menjaga perkembangan moral anak kejalur yang benar.
Saya kira bukan hanya saya yang merasa “terganggu” akan visualisasi penampilan karakter anak-anak dalam “Barbie”. Penampilan menor dengan make-up serta berpakaian yang cenderung “sexy” dan cara bicara yang belum pantas diutarakan anak seusianya cukup membuat saya mengelus dada. Walau tidak ditonjolkan dengan vulgar namun “Barbie” coba menyindir bagaimana orangtua modern ini memakaikan anak-anak mereka pakaian-pakaian yang sebenernya tidak terlalu pantas untuk anak seumuran mereka. Bagaimana kalian melihat anak-anak kecil dengan pakaian-pakaian layaknya yang ditampilkan dalam “Barbie” ? melihatnya wajar karena terlihat lucu atau miris?. Ada makna tersirat yang penonton dapat sebagai orang tua agar lebih bijak lagi terhadap apa-apa yang berurusan dengan anak mereka agar tak terjadi hal yang tidak diinginkan kedepannya.

Rembulan Sekarjati, sutradara yang menyutradarai film “Barbie” mampu memvisualisasikan kehidupan kaum sosialita yang dibawakan oleh anak-anak dengan penuh warna layaknya menonton film kartun Barbie. Didukung dengan skenario yang kuat serta dialog yang mengalir dan khas dengan gaya hidup kaum ibu-ibu sosialita membuat “Barbie” begitu renyah dinikmati. Plot yang disuguhkan pun menarik dan mampu mengecoh penonton dengan twist dipertengahan film. Dengan durasi yang terhitung pendek, “Barbie” mampu dengan efektif menyampaikan pesan yang terkandung dalam filmnya. Cerita yang menarik ini didukung dengan tata sinematografi yang cantik dari Sesarina Puspita. Sesarina mampu mengcapture segala bentuk keglamoran dan hedonitas yang ingin ditunjukkan dalam “Barbie” dengan ciamik dengan tatanan warna-warna mencolok seperti yang ditemui dalam film-film Barbie.

Film “Barbie” tak lepas dari penampilan menawan dari tiga anak perempuan yang tampil sebagai tokoh utama dalam film ini. Mereka sukses memerankan tokoh yang perilakunya jauh diatas umur mereka. Celotehannya, gaya bicara, hingga gesture tubuh menyerupai ibu-ibu muda sosialita yang sedang asik dengan teman sejawatnya. Didukung dengan make-up dan property yang ada semakin memperkuat karakter yang sedang dibawakan. Walau ada beberapa bagian dimana mereka terlihat kaku dan ada dialog yang terasa dipaksakan dan diulang-ulang sepeti “wahh.. bagus banget” tapi semua itu tertutupi dengan penampilan baik mereka. Credit lebih diberikan kepada production design dalam film “Barbie” terutama tim artistik dan make-up. Tim artistik mampu menghidupkan setting yang glamour khas ibu-ibu sosialita seperti saat cocktail party, atau deretan barang mewah dan parfume sehingga menghidupkan suasana dan mendukung cerita yang disajikan. Make-up dalam film ini juga bisa dibilang total dilihat dari apa yang telah mereka lakukan terhadap karakter ketiga anak kecil tersebut. Karakter Gladys dkk yang masih bocah disulap layaknya kaum hedon berumur 20tahunan. Make-up yang juara didukung denga pemilihan dress yang sesuai dan semakin memperkuat karakter dalam film “Barbie”. Mungkin karena sutradaranya perempuan jadi punya taste yang tepat dalam penggarapan film yang visualisasinya perempuan banget ini.


Overall, “Barbie” menyuguhkan tontonan yang menarik sarat dengan sindirian dalam kehidupan modern. Menyinggung tentang sosialita dan hedonitas yang menjangkit para orangtua dimana mungkin saja anak-anak mereka ikut mencontoh bahkan mengganggap itu sebagai panutan. “Barbie” menampar realita yang ada agar para orang tua lebih bijak dalam berperilaku.


Rabu, 15 April 2015

(Review Short Film) Merindu Mantan : The Scariest Effect of Broken Heart





Apabila mendengar kata “merindu mantan” sontak yang terlintas adalah kegalauan yang sekarang seakan menjadi “musim” dikalangan remaja. Perasaan dimana hati terasa perih dan tentu saja menyakitkan ini di ekspresikan secara beragam dan yang lagi hits saat ini adalah dalam bentuk meme. Banyak sekali meme-meme lucu yang mengangkat isu tentang kegalauan atas mantan kekasih seakan tak ada habisnya bahan untuk mengeksploitasi kegalauan akan mantan. Hasilnya selalu menghibur dan ada saja hal yang baru dan lucu muncul seakan menyindir dengan cara yang menghibur pembacanya dan terasa dekat dengan yang pernah dialami. Dan bila berpikiran bahwa film pendek “Merindu Mantan” akan sama lucu dan menghibur layaknya meme-meme tentang mantan, buang jauh pikiran tersebut karena kalian salah besar.

“Merindu Mantan” berkisah tentang Asih (Aimee Saras) seorang gadis desa yang hatinya rapuh karena dikhianati oleh mantan kekasihnya, Joni (Rangga Djoned) yang divisualisasikan sebagai playboy kampung. Perlahan namun pasti, Asih menyuguhkan kegalauan yang begitu besar yang menuntunnya ke sisi gelap dan mistis dalam dirinya dan memutuskan untuk menyantet mantan kekasihnya sebagai “kenang-kenangan” perpisahan mereka.

 Adalah Andri Cung, sutradara muda dibalik film pendek “Merindu Mantan”. Setelah sukses dengan film pendek “Payung Merah” yang diganjar sebagai Best  Asian Short Film, Screen Singapore pada tahun 2010, Andri Cung kembali menggarap film pendek bergenre thriller namun kali ini ada bumbu-bumbu mistis yang sangat Indonesia sekali didalamnya. “Merindu Mantan”  dipondasi dengan skenario yang ditulis oleh Ve Handojo yang sebelumnya pernah bekerja sama dengan Andri Cung dalam film “Payung Merah”. Berkat pengalaman menulis skenario-skenario film yang mampu membangkitkan bulu kuduk penonton contohnya pada trilogy Kuntilanak, Ve Handojo sudah punya modal kuat dalam mengangkat salah satu “warisan budaya” di dunia mistis kedalam format film pendek. Pengalaman dan “taste” yang dimiliki oleh Andri Cung ditambah dengan skenario kuat dari Ve Handojo serta didukung dengan aspek teknis lainnya menghasilkan sebuah suguhan yang berbobot dan tentu saja sukses membuat penonton merinding ngeri dibuatnya.

Tak diragukan, dunia persantetan haruslah bangga diadaptasi dalam format film pendek sekelas “Merindu Mantan”. Dengan durasi 10 menit, “Merindu Mantan” mampu membuat atmosfer mengerikan sejak awal film bergulir. Didukung dengan skenario matang dari Ve Handojo, Andri Cung mampu memvisualisasikan “Merindu Mantan” dengan baik. Segi teknis seperti sinematografi yang menawan dan tentu saja production design yang sangat mendukung atmosfer gelap dalam film ini. Penggunaan wadrobe kebaya yang digunakan karakter Asih serta setelan norak mas Joni dan biduannya menguatkan karakter yang ada dalam “Merindu Mantan”. Acungan jempol untuk penata artistiknya karena ketepatan properti seperti seperangkat alat santet (menyan , kembang, dsb) hingga kipas jadul yang sangat mendukung setting dalam film pendek ini. Dan tentu saja, penggunaan tembang Jawa klasik pada awal film membuat merinding penonton. Walau mungkin beberapa penonton tidak mengerti artinya, namun lagu yang memiliki makna jangan pernah membanggakan keindahan diri ini mampu membuat atmosfer menjadi gelap. Bisa dikatakan penggunaan tembang Jawa ini sangat efektif dan tentu saja menambah “tekanan psikologis” untuk penonton.


Apa yang disuguhkan “Merindu Mantan” tak lepas dari performa Aimee Saras yang berperan sebagai Asih. Aimee Saras yang awalnya saya kenal dengan suara merdunya kala menyanyikan lagu “It Was June” dan penampilannya sebagai reporter bawel nan annoying di Melancholy is a Movement (2015) ternyata punya potensi besar sebagai aktris dengan kualitas yang diatas rata-rata. Terlihat bagaimana dia sukses besar memerankan seorang wanita rapuh namun psikopat. Aimee Saras mampu menggunakan potensi dalam tubuhnya untuk membentuk gesture tubuh yang pas, perlahan namun mengerikan. Tentu saja salah satu yang diingat bagaimana cara dia memegang buah pisang dan mengelus-ngelusnya, membuka, lalu menggulirkan ke tubuhnya sebelum melakukan hal mengerikan setelah. Adegan tersebut terlihat sangat seksi sekaligus mendebarkan. Tentu saja pisang tersebut merupakan semiotika dari alat kelamin mantan kekasihnya dan saat itu juga saya punya firasat buruk bahwa “Hamtaro” mantannya dalam ancaman dan firasat saya benar. Adegan ini merupakan salah satu adegan terbaik dalam film ini.

Ada dua kata yang saya sematkan usai menonton “Merindu Mantan”, ngeri dan ngilu. Ngeri tentu saja banyak sekali aspek-aspek thriller yang terdapat dalam film ini. Semua aspek mulai dari pemeran hingga aspek teknis menampilkan performa serta atmosfer yang kuat. “Merindu Mantan” sukses menyuguhkan sebuah tontonan thriller yang mendebarkan dan membuat penonton “tertekan” adalah kesuksesan dari misi film ini. Ngilu yang disuguhkan dalam film ini akan sangat terasa bagi penonton laki-laki. Walau tak diperlihatkan secara frontal, namun adegan demi adegan “penyiksaan” terhadap “hamtaro” Mas Joni cukup menekan psikologis penonton terutama kaum Adam. Setidaknya film ini meninggalkan pesan moral untuk tidak menyakiti perasaan perempuan, atau tidak “hamster”  lucu-mu dalam bahaya.

Melihat “Merindu Mantan” membuat saya semakin yakin akan potensi yang dimiliki oleh Andri Cung. Sebelumnya karya Andri Cung “Payung Merah” yang juga bergenre thriller, “Buang” dan salah satu segmen di “3Sum” yang berjudul “Rawa Kucing” juga mendapat apresiasi yang baik.Begitupula dengan karya  film panjangnya yang berjudul “The Sun, The Moon, The Hurricane” yang rilis 2014 kemarin juga menuai kritik positif. Kedepannya karya-karya dari Andri Cung akan terus dinanti dan tentu saja karyanya untuk membuat film panjang bergenre thriller yang paling dinanti dan rencana akan dibuatnya film panjang dari “Payung Merah” segera terlaksana.


“Merindu Mantan” sendiri sudah berkeliling dibeberapa festival baik dalam dan luar negeri seperti estival Film Pendek Jabodetabeka 2013, XXI Short Film Festival 2013, Europe On Screen 2012, Osian's Cinefan Film Festival ke-12, dan Thai Short Film & Video Festival 2013.

Minggu, 12 April 2015

(Review Short Film) Gundah Gundala : Komedi Satir Terhadap Eksistensi Superhero Lokal




Bila ditanya “Siapa superhero lokal yang anda kenal?” untuk mereka yang besar tahun 70 hingga 90an atau minimal seumuran saya mungkin dengan (agak) mudah menjawab Gundala Putra Petir, Gatot Kaca, atau Si Buta dari Goa Hantu. Namun bila ditanya kepada anak kecil era sekarang apakah mereka bisa menjawab? Kalaupun mereka bisa menjawab perbandingannya lebih sedikit dibanding yang tidak. Atau bahkan mereka akan menjawab Bima Satria Garuda, sosok superhero yang rajin menghiasi layar kaca tiap minggu pagi , memang diperankan oleh orang Indonesia dan settingnya juga Indonesia namun Bima Satria Garuda terlalu banyak Influence dari tokokatsu Jepang. Saat ini anak-anak jauh mengenal bahkan mengidolakan sosok superhero mancanegara layaknya  tokoh-tokoh karakter Marvel dan DC Comic yang jelas telah punya nama besar seperti  Ironman, Superman, Batman, dan konco-konconya. Jelas terjadi semacam fenomena budaya yang merisaukan karena salah satu warisan budaya lokal di “bidang” superhero mulai tergerus dan bahkan kalah jauh dengan produk import Hollywood. Kira-kira itulah yang ingin disampaikan dalam “Gundah Gundala”.

“Gundah Gundala” menyinggung keserbamungkinan apabila benar invasi oleh superhero “import” macam Ironman, menyingkirkan serta  merebut lahan pekerjaan superhero lokal. Sebuah kisah fiktif yang di angkat serealis mungkin namun dengan perspektif subyektif dan sederhana. Dikisahkan Syahdan, seorang superhero lokal yang pernah tenar di eranya bernama Gundala Putra Petir mengutarakan ke gudahannya sembari curhat colongan dengan seorang pria berambut gondrong di warung kopi mengenai dirinya yang harus menjadi pengangguran karena kalah saing dengan superhero luar negeri. Sepanjang film akan disuguhkan obrolan serta curahan hati Gundala dengan pria gondrong yang menyinggung tentang dunia superhero lokal saat ini mulai dari nasib superhero lokal pasca masuknya superhero import hingga pemerintah yang seakan “welcome” dengan superhero luar (Bisa dilihat dari wacana dikoran bahwa Iron Man akan dinaturalisasi).

Duduk sebagai sutradara sekaligus otak dibalik “Gundah Gundala”, Wimar Hendarto dengan cermat mengangkat nasib superhero lokal dengan simple,menghibur, namun sangat menyentil. Dengan durasi 8 menit, “Gundah Gundala” tak perlu efek gila-gilaan atau budget super untuk menjadikannya sebagai film superhero yang berkesan. Kepedulian terhadap budaya lokal yang mulai tergerus oleh budaya asing dengan kemungkinan-kemungkinan fiktif yang ditampilkan seperti nasib para superhero lokal sebagai contoh Aquanus yang menjadi Wiraswasta musiman atau Godam si manusia besi yang menjadi tukang tambal ban. Menggelitik namun sarat kritik dan tentu saja menampar realita. Dengan dialog yang renyah, mengalir, serta lucu, “Gundah Gundala” mencoba membuka mata penonton dengan cara yang menghibur namun miris hingga akhirnya membuat penonton peduli terhadap eksistensi warisan budaya lokal dibidang superhero.

Tehnik yang digunakan dalam penggarapan “Gundah Gundala”pun dapat dibilang sederhana. Mayoritas film mengandalkan dialog-dialog bernada guyon yang cerdas namun menyindir dari kedua pemeran utamanya. Penampilannya tak neko-neko, sederhana khas obrolan di warung kopi. Visualisasinya pun biasa saja, tak ada colour grading yang bermaksud membuat film ini lebih “Artsy”, eksplorasi pengambilan gambar yang khas film pendek biasanya atau tidak ada pula efek efek gila-gilaan hingga sampai penggunaan CGI layaknya mayoritas film superhero. Semua sederhana namun tepat sasaran. Makna yang disampaikan dalam film ini kena ke penonton. Ringan, sederhana, menghibur, namun mendalam pantas disematkan ke “Gundah Gundala”.



Bila disangkutpautkan antara superhero lokal dengan indutri perfilman nasional, bisa dikatakan jumlah film bertema superhero di perfilman Indonesia dalam kurun waktu tahun 90an hingga sekarang jumlahnya sangat sangat sangat tidak sebanding dengan film superhero yang masuk kesini bahkan jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Pada tahun 70-80an, genre superhero lokal mampu menelurkan beberapa karya, sebut saja “Rama Superman Indonesia” karya Frans Totok Ars pada tahun 1974 serta  “Gundala Putra Petir” besutan Lilik Sudjio pada tahun 1981. Pada awal tahun 2015, “Garuda Superhero” muncul sebagai superhero lokal baru dengan menggunakan format CGI dalam penyuguhannya. Terlepas dari beberapa kritik diantaranya cerita yang terlalu banyak influence dari superhero luar, karakter superhero yang kurang berkesan dan terasa mirip dengan Batman dicampur dengan tokokatsu Jepang hingga penggunaan CGI yang setengah hati, “Garuda” berani mengangkat kembali genre superhero dalam negeri. Namun kembali lagi, jumlah film superhero amatlah sedikit bahkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan Negeri tetangga, Malaysia yang jumlah film superhero-nya lebih banyak bahkan ada yang menjadi franchaise salah satunya Cicak Man. Kondisi ini tentu saja harus disadari oleh sineas film Indonesia untuk ambil andil dalam menjaga eksistensi film superhero Indonesia mengingat masih banyak superhero lokal yang belum terjamah dan butuh “uluran tangan” para filmaker Indonesia.

Tak dipungkiri, produser film lokal rada enggan untuk menggarap film superhero lokal. Perlu diakui bahwa film superhero punya standar sendiri agar bisa menempati ruang di hati penontonnya. Film superhero modern ini haruslah mempunyai cerita yang menarik, karakter yang mudah disukai, dan tentu saja sokongan dana besar untuk mewujudkan hal-hal gila didunia superhero dengan special effect canggih yang tentu saja tidak murah. Untuk hal yang terakhir ini bisa dikatakan sangat sulit untuk kondisi perfilman Nasional. Alasan akan sulit balik modal karena kondisi penonton film akan minat terhadap film lokal dan alasan lainnya tak dipungkiri menjadi bahan pertimbangan produser serta investor film untuk menggarap film superhero lokal. Ditengah kondisi seperti ini, secercah harapan muncul ketika “Gundala Putra Petir” direncanakan akan diproduksi kembali untuk layar lebar dengan Hanung Bramantyo yang duduk dikursi sutradara dan direncanakan rilis 2016 nanti. Semoga hal tersebut mampu membangkitkan film-film bertemakan superhero di perfilman Nasional.

Dibalik penyajian “Gundah Gundala” yang penuh guyonan nan menghibur serta ilustrasi menarik mengenai sisi lain dampak invasi superhero asing terhadap superhero lokal, ada makna serta harapan yang secara gamblang ingin disampaikan. “Gundah Gundala” mengajak penonton untuk lebih sadar akan potensi warisan budaya bernama superhero lokal dan membantu eksistensi mereka. Tak dipungkiri bahwa superhero lokalpun tak kalah menarik dan keren bila digarap dengan tepat. Perlu perhatian lebih dari setiap lapisan masyarakat mulai dari pemerintah, orang-orang di dunia kreatif, filmaker hingga masyarakat umum untuk menghidupkan kembali gairah dan membangkitkan para manusia super untuk hidup lagi dan menunjukkan kemampuan mereka di ranah superhero. Tentu saja kita mendambakan Godam atau Gatot Kaca adu kuat secara sengit dengan Superman merebut hati penggemar superhero minimal di negeri sendiri. Atau pembuktian bahwa “Petir” Gundala lebih mengkilat dibanding Thor bagi penonton film Indonesia. Semoga saja.

Jumat, 03 April 2015

Review : A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning (2011)



Diranah musik Indonesia terutama aliran indie, Nama band Mocca cukup dikenal oleh khalayak masyarakat. Memiliki sejumlah hits yang terkenal (Beberapa menjadi soundtrack film seperti Catatan Akhir Sekolah dan Untuk Rena) membuat Mocca memiliki jumlah penggemar yang banyak dan terkenal loyal. Band beraliran Pop Indie asal Bandung ini pada Juli 2011 memutuskan untuk rehat dan membuat “Konser Perpisahan” yang tentu saja membuat para Swinging Friends (Julukan untuk penggemar Mocca) merasa sedih. Dalam masa rehat Mocca, Film dokumenter berjudul “A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ serasa sebagai penawar rindu para fans akan band kesayangan mereka.

“A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ berkisah mengenai momen-momen terakhir Mocca sebelum memutuskan untuk Vacum manggung bersama dikarenakan keputusan Arina sang vokalis untuk melepas masa lajangnya dengan pria asal Amerika Serikat bernama Chris Miller yang otomatis membuat Arina mengikuti suaminya ke negeri paman Sam. Film dokumenter yang lebih terlihat seperti concert documentary atau lebih dikenal dengan istilah rockumentary ini menggabungkan footage-footage dari beberapa penampilan penampilan band yang terdiri dari Arina Ephipania (vokal dan flute), Riko Prayitno (gitar), Ahmad Pratama atau Toma (bass) dan Indra Massad (drum ) pada konser perpisahan mereka di Jakarta dan “Secret Gigs” di ITENAS BANDUNG tempat dimana awal mereka “disatukan” .

Inisiatif memfilmkan Mocca beserta momen-momen terakhir mereka sebelum rehat muncul dari dua lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Ari Rusyadi dan Nicholas Yudifar (Sutradara segmen Palasik di film Hi5teria tahun 2012). Mereka melihat bahwa rehatnya Mocca serta konser perpisahannya merupakan fenomena penting baik bagi Mocca maupun penggemarnya. Hal tersebut bisa dilihat dari antusiasme fans Mocca dalam menyerbu tiket konser dimana hanya dalam waktu 15 menit sejak dibuka semua tiket sudah ludes terjual.

Selama sekitar 80 menit durasi film, penonton akan disuguhkan penampilan-penampilan live Mocca yang mayoritas diambil dari konser di Jakarta dan ITENAS. Beberapa hits mereka seperti “Me and My Boyfriend”, “Secret Admire”, “You and Me Againts The Worlds”, “I Remember” , hingga lagu yang menginspirasi judul film ini “Life Keeps on Turning” seakan mengajak penonton untuk hanyut kedalam musik yang dibawakan Mocca. Bagi para penggemarnya, tentu hal ini dapat menjadi pelipur rindu mereka dan sesekali merasa terajak untuk ikut menyanyikan lirik-lirik dalam setiap lagu Mocca. Bagi yang baru mengenal Mocca, mungkin akan tergerak untuk mengenal lebih tentang lagu-lagu Mocca selepas menonton film ini. Sekitar 18 lagu Mocca dinyanyikan dalam film ini. Selain Footage dari dua konser tersebut, ada juga beberapa penampilan Mocca di Dahsyat RCTI serta di luar negeri. Selain itu ada sedikit wawancara terhadap beberapa personilnya serta nostalgia pada masa-masa awal mereka terbentuk.

“A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ menyuguhkan setiap footage penampilan live Mocca secara utuh dalam arti dari awal mulai lagu sampai lagu berakhir,  tidak ada lagu yang ditampilkan setengah-setengah. Ada satu lagu yang menggabungkan penampilan Mocca dibeberapa tempat namun lagu yang dibawakan sama dan proses editing membuat lagu tersebut menjadi selaras. Dokumenter ini menghargai setiap penampilan Mocca di atas panggung dan menyadari akan kekuatan yang dimiliki oleh Mocca, penampilan panggung yang sama baiknya (atau bahkan lebih baik) dari musik rekamannya. Kualitas musikalitas Mocca yang bagus dapat di capture dengan baik di dokumenter ini. Penggunaan filter warna yang agak senja terkadang membuat beberapa gambar di film ini terasa tidak fokus. Mungkin penyebabnya penggunaan kualitas kamera yang digunakan, namun hal ini tidak mengurangi keasikan dalam menonton “A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“. Didukung dengan editing yang baik membuat part-part penampilan Mocca serta hal lain seperti wawancara dan sebagainya memiliki komposisi yang baik dan tempo yang tepat. Salah satu hal unik dalam film ini adalah beberapa sudut pengambilan gambarnya seperti sudut pandang dari ujung bass Toma hingga merekam dari televisi yang menayangkan Dahsyat. Sebuah eksperimen yang cukup unik dan membuat film ini terasa lebih variatif.

Film yang melakukan premier di gelaran Jogja Asian-NETPAC Film Festival (JAFF) ke-6 pada Desember 2011 ini mampu menarik antusiasme tinggi terlihat dari jumlah penontonnya sekitar 430-an yang menjadikan “A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ menjadi film terlaris pada gelaran JAFF 2011 mengalahkan “The Raid” dan “Lovely Man”. Diluar kurang relevannya film ini dengan kondisi sekarang mengingat tak lama dari tanggal perilisannya Mocca berhenti dari masa rehatnya, terbukti dari keluarnya album baru mereka yang berjudul “Home” tahun 2014 lalu. Namun begitu, dokumenter ini tetap dicintai dan memiliki tempat di hati Swinging Friends dan punya pendekatan personal antara band yang terbentuk tahun 1999 ini dengan fans mereka. Terbukti hampir setiap tahun ada saja pemutaran film “Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ yang dilaksanakan oleh Swinging Friends.


“A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ diputar di Kineforum pada 29 Maret 2015 sebagai  salah satu rangkaian acara untuk memperingati Hari Film Nasional bertajuk FILARTC 2015 di kawasan Taman Ismail Marzuki 27-29 Maret 2015.

Selasa, 03 Maret 2015

Review Short Film "Power/ Ranger" : Sebuah Tribute Kelam Jagoan Idola Anak 90'an



Bagi mereka yang besar tahun 90’an pasti pernah mengenal atau bahkan mengidolakan group hero (bukan group idol) bernama Power Ranger. Bahkan saat kecil kita (terutama saya) sesekali terlibat pertengkaran kecil sesama teman sebaya dikarenakan hal yang sepele, berebut untuk jadi Power Ranger merah. Power Ranger digambarkan sekumpulan remaja terpilih yang menggunakan kostum keren dengan warna-warna yang berbeda (Biasanya merah, biru, hijau, kuning, dan pink) dilengkapi dengan senjata yang super keren dan memiliki masing-masing robot atau kendaraan raksasa yang nantinya bisa bergabung menjadi satu untuk melawan monster yang biasanya menggunakan jurus atau ramuan di ambang-ambang kekalahannya untuk menjadi raksasa. Power Ranger pun banyak serinay mulai dari Power Ranger Mighty Morphin, Power Ranger in Space, Power Ranger SPD, dan sebagainya. Di Indonesia, anak-anak penggemar Power Ranger disuguhkan kisah-kisah jagoan mereka setiap minggu pagi di salah satu TV swasta, namun kini Power Ranger sudah lama tak muncul di layar TV digantikan acara musik lalalayeyeye atau FTV cinta-cintaan dengan judul aneh seperti kepincut cinta supir UFO atau Cintaku di kandang Godzilla.

Seperti mengobati kerinduan, film pendek bertajuk Power/Ranger muncul di Internet melalui Youtube dan Vimeo. Adalah Joseph Khan, seorang videographer yang sering menggarap video klip dari artis ternama seperti Taylor Swift, Britney Spears, dan 50 Cent  yang menjadi otak dalam penggarapan film pendek tribute untuk Power Ranger bersama kawannya yang berlaku sebagai produser, Adi Shankar. Film pendek yang rilis pertama kali tanggal 23 Februari ini telah ditonton lebih dari 12 juta penonton di Youtube yang merupakan bukti jika Power Ranger masih sangat dirindukan oleh penggemarnya, apalagi yang sudah tidak sabar menunggu Power Ranger the Movie yang rencananya akan rilis tahun 2016.



Power/Ranger tak seperti seri-seri Power Ranger yang cocok untuk anak-anak. Joseph Khan membawa film pendek ini kedalam penceritaan yang lebih kelam dan dewasa disertai beberapa adegan kekerasan dan nude yang tidak cocok untuk anak-anak. Film berdurasi sekitar 15 menit ini, diawali dengan adegan peperangan antara Power Ranger dengan musuhnya yang terlihat seperti megazord atau Alien. Peperangan ini terlihat habis-habisan terlihat dari topeng Ranger merah yang sudah hancur dan tergeletak ditanah. Cerita berlanjut jauh setelah peperangan tersebut dan para Ranger beranjak dari remaja menjadi dewasa. Terlihat sang Ranger Pink, Kimberly sedang diintrogasi oleh Rocky, Ranger merah yang menggantikan posisi Jason. Rocky yang kini ada dipihak alien serta salah satu kakinya harus digantikan dengan kaki robot ini menanyakan keberadaan Tommy, Ranger hijau kepada Kimberly. Setelahnya penonton disuguhkan kehidupan pribadi para Ranger serta rentetan kematian misterius yang menimpa mereka. Seperti ada yang memburu para jagoan kita ini.

Perlu diingat, Power/Ranger adalah film pendek Fan Made hasil ciptaan Joseph Khan yang didasari dari imajinasi penciptanya. Mengingat film pendek ini sebuah tribute buatan fans, jadi sah-sah saja apabila terasa melenceng dari originalnya dan dibuat lebih kelam serta menimbulkan pro dan kontra, senang tidak senang bagi penonton terlebih bagi penggemar berat Power Ranger. Joseph Khan menyuguhkan sebuah kisah mengenai kemana dan bagaimana pahlawan kita setelah cukup lama menghilang. Bagaimana para Ranger saat dewasa didunia yang dibuat oleh Joseph Khan. Sah-sah saja apabila Jason sang Ranger merah menikah dengan Kimberly si Ranger Pink lalu tewas dibunuh didalam mobil 8 jam setelah menikah. Kisah ini adalah versi Joseph Khan sebagai creator dibalik Power/Ranger.

Joseph Khan menyuguhkan visual yang sangat cantik disertai efek yang sangat memanjakan mata. Digarap dengan budget yang tak besar tak membuat film pendek ini terasa murahan. Efek yang ditampilkan tak kalah dengan film-film superhero layar lebar seperti film-film keluaran Marvel Studio. Bahkan film pendek ini bisa dijadikan standar untuk film layar lebar official dari Power Ranger pada tahun 2016 nanti baik dari segi efek maupun penceritaan. Power/Ranger disuguhkan dengan sisi  dark dalam penceritaan didukung visual yang kelam dan alur Thriller yang cukup mencekam serta menimbulkan tanda tanya besar apa yang sebenarnya terjadi didunia Power Ranger ini, dan tentu saja ada twist yang cukup memorable bagi kalangan penonton seri Power Ranger terdahulu.


Film pendek Power/Ranger pun tak lolos dari pro kontra. Saban Entertaiment yang merupakan pemegang lisensi dari Power Ranger murka terhadap film pendek besutan Joseph dan Adi ini hingga mengancam untuk memblokir film pendek ini di Youtube dan Vimeo. Ketidaksukaan juga keluar dari mulut Jason David Frank, pemeran Ranger hijau di seri Power Ranger dikarenakan Power/Ranger mengandung kekerasan, kata-kata kotor, serta obat-obatan yang tak layak untuk anak-anak. Terlepas dari itu semua, kita masih patut mengapresiasikan apa yang telah dibuat oleh Joseph dan teman-temannya sebagai bukti kecintaannya terhadap Power Ranger. Joseph menganggap ini adalah salah satu bentuk kebebasan berkarya dan tidak mencopot satu materipun milik Saban Entertaiment. Kembali lagi Fan made itu sah sah saja sebagai bentuk kecintaan terhadap suatu hal namun memang harus dipertanggungjawabkan semua yang terkandung didalam karya fan made yang dibuatnya.


Minggu, 01 Maret 2015

My Childhood vol. 1






Review Cahaya Dari Timur : Beta Maluku


Setelah 4 tahun selepas merilis “Hari Untuk Amanda” pada tahun 2010, sutradara Angga Dwimas Sasongko kini kembali hadir dengan film terbarunya yang berjudul “Cahaya Dari Timur : Beta Maluku”.  Ni Beta Maluku merupakan film pertama dari rangkaian seri Cahaya Dari Timur yang mengangkat kisah-kisah inspiratif dari Indonesia Timur.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku mengangkat kisah nyata dari kehidupan Sani Tawainella (Chicco Jericho) seorang mantan pemain sepak bola asal Tulehu, Ambon yang sempat mewakili Indonesia pada Piala Pelajar Asia tahun 2016 namun gagal dalam seleksi PSSI Baretti. Kegagalan menjadi pemain sepakbola professional membuatnya pulang kampung dan menjadi tukang ojek untuk menghidupi keluarganya. Pada saat konflik Maluku pecah awal tahun 2000-an, Sani mengumpulkan anak-anak Tulehu untuk berlatih sepak bola dengan tujuan menghindari anak-anak tersebut dari konflik. Ditengah segala kekurangan serta problematika ekonomi dan keluarga yang dialami Sani, Sani berhasil membangun tim yang  menjadi kebanggan Tulehu dengan mampu mewakili Maluku dalam kejuaran Nasional U-15 2006 di Jakarta.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku sepintas memang film bertemakan sepakbola, namun ditelisik lebih kedalam, film ini mengangkat isu sosial dan budaya yang terjadi di Negri Maluku. Seperti halnya sisa-sisa konflik Maluku yang secara tidak langsung mempengaruhi psikologi anak Tulehu yang menjadi Rasis terhadap agama lain hingga akhirnya dipersatukan dengan sepakbola. Film ini melampirkan pesan perdamaian antar umat beragama, tidak hanya untuk di Tulehu, tapi untuk semua manusia.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku tidak terperangkap pada kebiasaan film-film sejenis yang pemeran utamanya datang bak pahlawan lalu mengubah nasib beberapa orang dan ditampilkan sempurna tanpa cacat layaknya dewa. Dalam film ini penonton akan disuguhkan sosok Sani Tawainella yang seperti manusia biasa yang sesekali mengalami kegagalan. Penonton akan ikut merasakan kegetiran Sani yang telah sayang terhadap anak-anak didiknya namun terus ditekan oleh himpitan ekonomi dan keluarganya. Sosok Sani tidak terjebak dalam heroisme berlebihan. Penuturan tahap demi tahap perjuangan Sani mengajarkan penonton bahwa siapapun bisa membawa perubahan baik bagi lingkungannya.

Pengalaman adalah guru terbaik, pepatah tersebut tepat disematkan kepada M. Irfan Ramli, scriptwriter dari Cahaya Dari Timur. Merasakan sendiri masa-masa konflik Maluku membuat naskah skenario yang dibuat bersama Swastika Nohara begitu dekat dengan kejadian nyata serta setting tempatnya. Detail-detail adegan seperti kebiasaan-kebiasaan orang Tulehu serta logat aslinya terasa sepanjang film. Yang paling terasa adalah sepanjang film hampir mayoritas menggunakan bahasa Melayu Tulehu asli beserta logat khasnya. Tentu saja hal ini merupakan nilai plus untuk film ini. Lebih baik menggunakan bahasa asli dan menggunakan subtitle agar terasa lebih natural disbanding harus meninggalkan bahasa setting tempatnya dengan menggunakan bahasa Indonesia agar (niatnya) menambah nilai komersial yang malah menurunkan kualitas dari film tersebut.


Penampilan seluruh pemain dalam film ini patut diberikan apresiasi baik. Baik artis ibukota yang diboyong dari Jakarta sampai “Rising Star” anak-anak asli Maluku melakukan penampilan yang baik sehingga terasa seperti orang Tulehu sesungguhnya. Penampilan Chicco Jericho sebagai Sani Tawainella mampu menarik perhatian penonton. Lupakan Chicco yang selalu terlihat mulus dan selalu bersih dengan pakaian necis wara-wiri di televisi, melalui debut pertamanya didunia film, Chicco mampu menunjukan bahwa dia memang aktor yang layak untuk bermain film. Penonton tidak akan merasa melihat Chicco, namun Sani. Chicco mampu memberikan kenangan manis didebut nya didunia film. Penampilan pemain lain seperti Shafira Umn, Jajang C. Noer, Glenn Fredly, Serta Ridho “Slank” semuanya bermain baik sesuai dengan posisinya. Terlebih Ridho “Slank” yang aktingnya mampu diatas rata-rata, aktingnya sama baiknya seperti saat sedang bermain gitar di Slank, terasa hidup dan menjiwai. Dan jangan lupakan penampilan anak-anak asli Maluku yang mampu mencuri perhatian dalam debut mereka. Berpenampilan baik sebagai anak-anak Tulehu dengan tidak merasa minder dengan actor-aktor senior yang beradu acting dengan mereka.

Melalui Cahaya Dari Timur, Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara menjadikan sebagai batu loncatan ke level baru dalam pengalaman berkaryanya. Apabila dalam “Hari Untuk Amanda” hanya men-direct dengan cast yang tak begitu banyak, dalam film ini Angga harus menangani film yang lebih besar dan tentu saja lebih complex. Menangani film ini sebagai sutradara dan produser tentu saja membuat Angga harus menangani film ini dari A sampai Z sehingga film ini lebih emosional untuknya. Hasilnya, sebuah sajian yang terasa sepenuhnya dari hati untuk para penonton. Sinematografi yang patut diacungi jempol terutama moment-moment penting saat pertandingan sepak bola yang begitu menarik dan begitu dramatisir. Serta tak lupa untuk meng-capture pemandangan indah Tulehu. Apabila “Laskar Pelangi” mampu mempromosikan Belitong dan “5cm” dengan Mahameru-nya, Cahaya dari Timur mampu menampilkan pesona Tulehu dengan bauk. Terutama Pantai-nya yang bersih dan begitu biru.


Secara keseluruhan, Cahaya Dari Timur merupakan tontonan bergizi bagi masyarakat Indonesia yang selama ini “terpaksa” disuguhkan oleh film dengan muatan “polusi”. Memberikan kisah inspiratif yang dengan membumi  serta didukung dengan sisi teknis seperti directing, penampilan para cast, serta cerita yang mumpuni membuat Cahay Dari Timur seperti film dengan komposisi yang hampir sempurna. Tidak melebihkan, namun saat menonton film ini banyak moment yang begitu menggetarkan bahkan membuat campur aduk perasaan. Tak percaya? Rasakan moment-moment akhir dalam film ini. Bisa saya katakan bahwa moment terakhir dalam film ini adalah salah satu moment terakhir terbaik selama saya menonton film dibioskop. Film yang begitu berkesan dan inspiratif. Dengan harga tiket bioskop yang dibeli penonton mendapat tontonan menghibur sekaligus inspiratif. Menandakan awal dari seri Cahay Dari Timur, sangat diharapkan agar seri selanjutnya memiliki kualitas yang sama atau bahkan lebih baik. Indonesia butuh film seperti ini. Punya muatan Edukatif.

Review : Malam Minggu Miko Movie (2014)


Dalam dua tahun terakhir, Setidaknya Raditya Dika, sosok fenomenal dikalangan anak muda, telah menelurkan 5 film yang berdasarkan ide-ide kreatifnya baik dari adaptasi novel atau web-series yang dia buat. Belum lama rasanya penonton film Indonesia disuguhi dengan karya penyutradaraan perdananya dalam “Marmut Merah Jambu”, bulan September ini, kisah Miko kembali diangkat ke layar lebar dengan judul “Malam Minggu Miko Movie”
Malam Minggu Miko Movie merupakan film yang diangkat dari Webseries dan TV series berjudul Malam Minggu Miko yang disutradari, ditulis, dan diperankan sendiri oleh Raditya Dika. Webseries Malam Minggu Miko sendiri meraih “The Most Popular Show” dalam ajang “Internet Video Stars 2013” dan sudah mencapai 52 episode yang ditonton oleh lebih dari 1 juta penonton. Raihan yang baik tersebut sudah menjadi modal bagus untuk mengangkat kisah Miko dan malam minggu “nestapanya” tersebut kedalam medium film. Terlebih film pertama “Miko” yang rilis tahun lalu, “Cinta Dalam Kardus” bisa dikatakan berhasil baik dari segi kualitas film maupun dari raihan jumlah penonton.

Malam Minggu Miko Movie bercerita mengenai tiga tokoh utama dalam film ini, Miko (Raditya Dika), Dovi (Andovi DaLopez), serta Anca (Hadian Saputra). Miko kembali bertemu dengan sahabatnya, Ryan (Ryan Adriandhy) yang mengabarkan kalo dia mendapat mimpi bahwa Miko  dikutuk oleh seseorang saat masih SMP melalui tulisan misterius di bagian belakang jas laboratorium miliknya yang membuat dia selalu gagal dalam mendapatkan pasangan. Bersama Ryan, Miko menelusuri beberapa teman SMPnya guna menghapus kutukan yang selama ini menimpanya. Dovi, mahasiswa senior yang sok pintar harus mengemban tugas khusus agar bisa lulus dari mata kuliah yang membuatnya mengulang hingga 5kali. Tugas khusus tersebut adalah mendampingi tiga mahasiswa tamu dari luar negeri yaitu Alexandra dari Polandia, Suzuki dari Jepang, dan Mamadi dari Gambia berkeliling Jakarta dan membuktikan bahwa dia mampu mengerjakan tugas ini dengn baik. Dan ada Anca, pembantu rumah tangga Miko harus melewati ujian demi ujian yang diberikan oleh kedua orangtua Anca agar dapat menikahi kekasihnya, Atik.

Bila dilihat dari raihan jumlah penonton, nama Raditya Dika bisa dikatakan laris dan mampu menarik jumlah penonton (terutama ABG dan fans-nya) yang cukup banyak. Hal ini tentu saja tak disia-siakan oleh Dika. Memanfaatkan aji mumpung, dalam waktu berdekatan Dika merilis film-filmnya yang hampir semuanya memiliki garis cerita yang sama, kisah tokoh yang diperankan Dika dengan lika-liku kehidupan cintanya. Dika menyadari betul pasar anak muda Indonesia, sebuah komedi ringan dibumbui kisah cinta ala remaja. Hasilnya, film-film Dika selalu Laris dipasaran.
Dalam Malam Minggu Miko Movie, Dika berperan penuh dalam penggarapan filmnya. Mungkin sebagai pemeran utama tak cukup baginya, dia juga duduk di kursi sutradara dan penulis skenario Malam Minggu Miko. Tentu saja Dika punya kuasa penuh dalam Malam Minggu Miko Movie dan paling bertanggung jawab dengan mau dibawa kemana film ini. Malam Minggu Miko merupakan film kedua Dika duduk di kursi penyutradaraan. Bila melihat karya penyutradaraan perdananya, Marmut Merah Jambu, Dika bisa dikatakan cukup berbakat dalam menggarap kisah yang diangkat dari novel buatannya sendiri ini. Mungkin, dalam Marmut Merah Jambu, Dika tak mengambil banyak porsi bermain dalam filmnya. Dalam Malam Minggu Miko, Dika lebih banyak berakting dibanding saat di Marmut Merah Jambu, hasilnya beberapa adegan terasa tidak fokus dan ada beberapa plot hole. Ditambah humor yang disajikan dalam Malam Minggu Miko Movie terasa monoton dan kurang ada inovasi baru dari Dika. Mungkin selera humor saya yang buruk atau gimana, namun setelah mengikuti semua film Raditya Dika, humor yang ditawarkan ya berputar pada itu-itu saja dan kurang berkembang. Dari segi ceritanya pun ada beberapa yang terasa lebay dan dipaksakan. Apa mungkin ke-lebay-an yang ada dalam Malam Minggu Miko Movie memang kesengajaan dari Raditya Dika. Tapi jelas bukannya memancing tawa, malah membuat penonton mengernyitkan dahi.
Malam Minggu Miko Movie cukup setia dengan webseriesnya. Selain tentu saja jajaran karakter yang diboyong ke dalam filmnya baik dari season pertama maupun season kedua, setting waktu yang melatar-belakangi Malam Minggu Miko Movie berlangsung dalam waktu satu hari satu malam (yang tentu saja terjadi saat hari sabtu dan malam minggu). Ketiga karakter utama “berpetualang” dalam urusannya masing-masing dalam kurun waktu yang bersamaan dan dalam beberapa moment mereka dipertemukan.Gaya editing cut-to-cut dengan pace yang cepat serta gaya pengambilan gambarnya pun hampir mirip dengan webseriesnya.

Ya harus diakui, kisah Miko kali ini kualitasnya dibawah dari Cinta Dalam Kardus (mungkin karena tidak ada campur tangan Salman Aristo kali ini). Film berdurasi 90 menit ini diawali dengan cukup menarik namun semakin film bergulir, Malam Minggu Miko Movie terasa flat dan pelan-pelan melepas perhatian penonton. Beberapa “penyegaran” yang diselipkan dari munculnya cameo serta lawakannya pun ya hanya berlalu begitu saja. Hanya Arie Kiting yang mampu mencuri perhatian sebagai dukun pribadi dari beberapa cameo yang kebanyakan selebtweet atau comic (stand-up comedian) seperti Liongky Tan dan Bayang becabita. Peran mereka sayang sekali kurang di explore lagi padahal masih mereka punya potensi lebih. Hal menarik perhatian dari Malam Minggu Miko Movie adalah Penempatan dan penyampaian sponsor yang terbilang unik walau sedikit maksa, namun menarik dan cukup mengundang tawa.


Selebihnya Malam Minggu Miko membuktikan eksistensi Raditya Dika dalam dunia komedi modern melalui media film, namun Raditya Dika harus melakukan evaluasi lagi untuk karyanya kedepan dan tidak terlena dengan raihan jumlah penonton yang tidak dipungkiri karya-karya Dika sudah berlabel “Pasti Laku”. Jadi ingat sebuah pernyataan salah satu sutradara Indonesia dalam suatu obrolan dengan saya belum lama ini, “kalo filmnya sudah pasti laku, kenapa pas buat ngga ngeluarin duit “lebih” lalu buat film yang lebih niat dan besar?”  mungkin pernyataan ini bisa direnungkan oleh rumah produksi yang menggarap film Raditya Dika selanjutnya , untuk memberikan perhatian lebih dari segi kualitas filmnya, tidak hanya memikirkan uang. Ya walaupun tak dipungkiri keuntungan besar dari film adalah hal yang dibutuhkan agar industri terus berjalan.