Tampilkan postingan dengan label Film Mancanegara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Film Mancanegara. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Maret 2015

Review Short Film "Power/ Ranger" : Sebuah Tribute Kelam Jagoan Idola Anak 90'an



Bagi mereka yang besar tahun 90’an pasti pernah mengenal atau bahkan mengidolakan group hero (bukan group idol) bernama Power Ranger. Bahkan saat kecil kita (terutama saya) sesekali terlibat pertengkaran kecil sesama teman sebaya dikarenakan hal yang sepele, berebut untuk jadi Power Ranger merah. Power Ranger digambarkan sekumpulan remaja terpilih yang menggunakan kostum keren dengan warna-warna yang berbeda (Biasanya merah, biru, hijau, kuning, dan pink) dilengkapi dengan senjata yang super keren dan memiliki masing-masing robot atau kendaraan raksasa yang nantinya bisa bergabung menjadi satu untuk melawan monster yang biasanya menggunakan jurus atau ramuan di ambang-ambang kekalahannya untuk menjadi raksasa. Power Ranger pun banyak serinay mulai dari Power Ranger Mighty Morphin, Power Ranger in Space, Power Ranger SPD, dan sebagainya. Di Indonesia, anak-anak penggemar Power Ranger disuguhkan kisah-kisah jagoan mereka setiap minggu pagi di salah satu TV swasta, namun kini Power Ranger sudah lama tak muncul di layar TV digantikan acara musik lalalayeyeye atau FTV cinta-cintaan dengan judul aneh seperti kepincut cinta supir UFO atau Cintaku di kandang Godzilla.

Seperti mengobati kerinduan, film pendek bertajuk Power/Ranger muncul di Internet melalui Youtube dan Vimeo. Adalah Joseph Khan, seorang videographer yang sering menggarap video klip dari artis ternama seperti Taylor Swift, Britney Spears, dan 50 Cent  yang menjadi otak dalam penggarapan film pendek tribute untuk Power Ranger bersama kawannya yang berlaku sebagai produser, Adi Shankar. Film pendek yang rilis pertama kali tanggal 23 Februari ini telah ditonton lebih dari 12 juta penonton di Youtube yang merupakan bukti jika Power Ranger masih sangat dirindukan oleh penggemarnya, apalagi yang sudah tidak sabar menunggu Power Ranger the Movie yang rencananya akan rilis tahun 2016.



Power/Ranger tak seperti seri-seri Power Ranger yang cocok untuk anak-anak. Joseph Khan membawa film pendek ini kedalam penceritaan yang lebih kelam dan dewasa disertai beberapa adegan kekerasan dan nude yang tidak cocok untuk anak-anak. Film berdurasi sekitar 15 menit ini, diawali dengan adegan peperangan antara Power Ranger dengan musuhnya yang terlihat seperti megazord atau Alien. Peperangan ini terlihat habis-habisan terlihat dari topeng Ranger merah yang sudah hancur dan tergeletak ditanah. Cerita berlanjut jauh setelah peperangan tersebut dan para Ranger beranjak dari remaja menjadi dewasa. Terlihat sang Ranger Pink, Kimberly sedang diintrogasi oleh Rocky, Ranger merah yang menggantikan posisi Jason. Rocky yang kini ada dipihak alien serta salah satu kakinya harus digantikan dengan kaki robot ini menanyakan keberadaan Tommy, Ranger hijau kepada Kimberly. Setelahnya penonton disuguhkan kehidupan pribadi para Ranger serta rentetan kematian misterius yang menimpa mereka. Seperti ada yang memburu para jagoan kita ini.

Perlu diingat, Power/Ranger adalah film pendek Fan Made hasil ciptaan Joseph Khan yang didasari dari imajinasi penciptanya. Mengingat film pendek ini sebuah tribute buatan fans, jadi sah-sah saja apabila terasa melenceng dari originalnya dan dibuat lebih kelam serta menimbulkan pro dan kontra, senang tidak senang bagi penonton terlebih bagi penggemar berat Power Ranger. Joseph Khan menyuguhkan sebuah kisah mengenai kemana dan bagaimana pahlawan kita setelah cukup lama menghilang. Bagaimana para Ranger saat dewasa didunia yang dibuat oleh Joseph Khan. Sah-sah saja apabila Jason sang Ranger merah menikah dengan Kimberly si Ranger Pink lalu tewas dibunuh didalam mobil 8 jam setelah menikah. Kisah ini adalah versi Joseph Khan sebagai creator dibalik Power/Ranger.

Joseph Khan menyuguhkan visual yang sangat cantik disertai efek yang sangat memanjakan mata. Digarap dengan budget yang tak besar tak membuat film pendek ini terasa murahan. Efek yang ditampilkan tak kalah dengan film-film superhero layar lebar seperti film-film keluaran Marvel Studio. Bahkan film pendek ini bisa dijadikan standar untuk film layar lebar official dari Power Ranger pada tahun 2016 nanti baik dari segi efek maupun penceritaan. Power/Ranger disuguhkan dengan sisi  dark dalam penceritaan didukung visual yang kelam dan alur Thriller yang cukup mencekam serta menimbulkan tanda tanya besar apa yang sebenarnya terjadi didunia Power Ranger ini, dan tentu saja ada twist yang cukup memorable bagi kalangan penonton seri Power Ranger terdahulu.


Film pendek Power/Ranger pun tak lolos dari pro kontra. Saban Entertaiment yang merupakan pemegang lisensi dari Power Ranger murka terhadap film pendek besutan Joseph dan Adi ini hingga mengancam untuk memblokir film pendek ini di Youtube dan Vimeo. Ketidaksukaan juga keluar dari mulut Jason David Frank, pemeran Ranger hijau di seri Power Ranger dikarenakan Power/Ranger mengandung kekerasan, kata-kata kotor, serta obat-obatan yang tak layak untuk anak-anak. Terlepas dari itu semua, kita masih patut mengapresiasikan apa yang telah dibuat oleh Joseph dan teman-temannya sebagai bukti kecintaannya terhadap Power Ranger. Joseph menganggap ini adalah salah satu bentuk kebebasan berkarya dan tidak mencopot satu materipun milik Saban Entertaiment. Kembali lagi Fan made itu sah sah saja sebagai bentuk kecintaan terhadap suatu hal namun memang harus dipertanggungjawabkan semua yang terkandung didalam karya fan made yang dibuatnya.


Jumat, 27 Februari 2015

Review : My Girl (2003)




Pernakah anda merasakan sebuah film begitu dekat dengan kenangan anda? Seperti diajak bernostalgia dengan keseruan masa kecil anda yang terasa akrab? “My Girl’ akan membawa penontonnya yang merasakan masa kecil di era 80-an untu bernostalgia dengan segala memori masa kecil dan mengajak penonton untuk bereuni sejenak mengingat pola tingkah anak-anak dimasa tersebut.

“My Girl” yang memiliki judul asli “Fan Chan” merupakan film tahun 2003 yang digarap secara keroyokan oleh enam sutradara-penulis sekaligus (Vitcha Gojiew, Songyos Sugmakanan, Nithiwat Tharathorn, Witthaya Thongyooyong, Anusorn Trisirikasem, dan Komgrit Triwimol) yang pada saat itu, “My Girl” merupakan film debutan mereka. Sebuah debutan yang istimewa untuk mereka, selain diakui dalam segi kualitas, film ini juga sukses dalam rahian jumlah penonton di Thailand sana.
“My Girl” berkisah mengenai Jeab (Charlie Trairat) mendapatkan undangan pernikahan dari sahabat kecilnya sekaligus cinta pertamanya, Noi-Naa (Focus Jiracul). Pernikahan Noi-Naa berlangsung di kampung halaman Jeab dan Noi-Naa dimana mereka menghabiskan masa kecil bersama. Dalam perjalanan pulang, Jeab bernostalgia akan memori masa kecilnya bersama Noi-Naa. Dan sepanjang film penonton akan dibawa flashback dengan kenangan masa kecil Jeab, Noi-Naa, teman-teman mereka serta memori masa kecil mereka. Saat itu, Jeab dan Noi-Naa bertetangga karna rumah mereka hanya dipisahkan oleh satu toko kelontong. Jeab dan Noi-Naa bersahabat sejak balita dan karena kesulitan mendapat teman laki-laki, Jeab-pun “terpaksa” ikut bermain permainan perempuan bersama Noi-Naa dan teman-temannya. Walau tentu saja, Jeab kerap diejek oleh sekelompok anak laki-laki Jack dan geng-nya. Kedekatan Jeab dan Noi-Naa membuat Jeab merasakan hal lain pada Noi-Naa, dan menyadari Noi-Naa adalah cinta pertamanya.

Sederhana dan apa adanya, membuat “My Girl’ terasa begitu dekat dengan penonton, terutama penonton Indonesia yang mempunya kemiripan budaya dengan Thailand. Dengan setting tahun 80-an, penonton yang merasakan masa kanak-kanak tahun 80-90an akan dibangkitkan memorinya dan diajak bernostalgia dengan masa kecilnya. “My Girl” membuat penonton tersenyum indah apalagi penonton yang mempunyai pengalaman yang sama secara personal ketika anak-anak dalam “My Girl” memainkan permainan sederhana khas anak-anak seperti lompat tali dari karet, bermain peran karakter laga dengan kostum seadanya, bermain sepak bola di lapangan tanah, bermain besepeda dengan teman-teman sore hari, main karet tiup, hingga berenang di sungai. Sebuah kegiatan yang mungkin sangat langka dilakukan anak-anak zaman sekarang yang sudah terjebak dan terhipnotis kecanggihan gadget sehingga melupakan keasyikan bermain diluar bersama teman.  Sungguh disayangkan, padahal moment kanak-kanak dengan keseruan bermain diluar adalah moment tak tergantikan.


Mengusung cerita mengenai cinta monyet tak membuat “My Girl” menyajikan sebuah kisah cinta berlebihan yang tak layak untuk anak-anak. Jeab tidak berlebihan hingga mengejar-ngejar cinta Noi-Naa atau sampai mengutarakan cinta kepadanya. Kisah cinta monyet dalam “My Girl” dibuat sesuai dengan karakteristik anak-anak yang polos dan lugu. Sehingga bukan menjual kisah cinta yang berlebihan antara dua insan, namun lebih mengedepankan kisah persahabatan . Sebuah pembelajaran untuk film anak (terutama di tanah air) agar lebih bijaksana menaruh unsur cinta dalam film agar anak-anak tak mencontoh dan sudah mulai cinta-cintaan diusia dini.

Penampilan para pemeran cilik dalam “My Girl” patut diacungi jempol. Memainkan peran mereka masing-masing dengan karakter yang kuat dan tidak terlihat berlebihan. Penampilan anak-anak dalam “My Girl” terkesan natural dan seperti memainkan diri mereka sendiri. Sineas yang menggarap “My Girl”pun cukup piawai merajut cerita yang dekat dengan tokoh dengan karakter yang ada, hasilnya “My Girl” begitu natural, sederhana, membumi, dan tentu saja sangat sulit untuk tidak disukai. Selain tokoh utama  Jeab dan Noi-Naa, tokoh Jack yang diperankan Chaleumpol Tikumpornteerawong cukup menarik perhatian dengan bakat aktingnya. Wajar apabila saat ini diumurnya yang sudah cukup dewasa dia masih lalu lalang di perfilman Thailand, Salah satunya dalam film Romantic Comedy berjudul “ATM” yang rilis tahun 2012.

Dengan raupan pendapatan sebesar 140 juta Bath dalam penayangannya di Thailand, bisa dikatakan film ini sukses dalam segi financial. Bagaimana dengan kualitasnya? Film ini sangat sulit untuk tidak disukai. Temanya yang sederhana dan digarap dengan sangat membumi, natural, apa adanya namun terasa istimewa membuat “My Girl” dengan mudah membekas di hati penontonnya. Perpaduan apik tema cinta monyet, persahabatan yang kental, dan problematika masa kanak-kanak yang pas dari masa perkembangan psikologisnya membuat film ini tampil tak berlebihan dan menjadi kekuatan dalam “My Girl”.  Beberapa moment yang memorial dibalut dengan komedi ringan serta balutan lagu-lagu populer Thailand tahun 80-an membuat “My Girl” semakin memikat.


Sebagai info, “My Girl” pernah rilis di Indonesia dengan judul “Cinta Pertama” pada tahun 2006. “My Girl” saat itu didubbing ke dalam bahasa Indonesia dan lagu-lagu Thailand dalam film ini diganti dengan lagu-lagu populer Indonesia tahun 80-an yang dinyanyikan oleh musisi terkenal saat itu seperti Iwan Fals, Chrisye, Hetty Koes Endang, dan Ebiet G. Ade.

Kamis, 26 Februari 2015

Review : The Wind Rises (2013)



Setelah Hayao Miyazaki, salah satu master anime ternama di Jepang memutuskan untuk kembali pensiun dari dunia animasi, sontak “The Wind Rises” yang merupakan film terakhirnya mendapat perhatian lebih dari pencinta animasi bahkan pencinta film internasional. “The Wind Rises” adalah film terbaru Hayao Miyazaki setelah terakhir menggarap “Ponyo on the Cliff By The Sea” pada tahun 2008.

Tidak dipungkiri, “The Wind Rises” yang juga produksi dari Studio Ghibli yang terkenal melahirkan film-film animasi berkualitas ini mendapat sambutan yang hangat. Pertama, duet maut Studio Ghibli dan Hayao Miyazaki selalu melahirkan karya-karya yang menawan serta belum pernah mengecewakan. Sebagai contoh, Spirited Away yang memenangkan Best Animated Feature pada Academy Awards 2002. Kedua, raihan jumlah penonton di Jepang yang membuat “The Wind Rises” duduk manis di puncak Box Office Jepang serta tanggapan positif dari beberapa kritikus dunia. Ketiga, tentu saja nominasi Best Animated Feature Academy Awards 2014 yang merupakan prestasi tersendiri bagi film ini, namun sayang harus kalah dengan film animasi Disney, Frozen.
“The Wind Rises” berkisah mengenai Jiro Hirokoshi, seorang aviator atau perancang pesawat tempur ternama di Jepang. Sepanjang film penonton akan disuguhkan biografi sang ahli aeronutika ini dalam menggapai mimpinya menjadi perancang pesawat seperti idolanya, Caproni. Paruh awal film penonton akan disuguhkan perjalanan Jiro Hirokoshi meraih mimpi-mimpinya dan di babak kedua film akan dibumbui kisah romansa antara Jiro dan wanita cantik berambut biru,Naoko Satomi.
Film yang memiliki judul lain”Kaze Tachinu” ini merupakan adaptasi dari cerita pendek karya Tatsuo  Hori, seorang penyair, penulis, dan penerjemah dari zaman Showa yang ditulis sekitar tahun 1936-1937. Sebelum mengangkatnya dalam animasi panjang, Hayao Miyazaki pernah mengangkatnya ke dalam manga yang dibuat bersambung di majalah Model Graphix pada tahun 2009.


“The Wind Rises” memang berbeda. Penonton tidak akan menemukan monster-monster apik namun lucu, penyihir, jagoan wanita atau segala hal yang dekat dengan film-film Hayao Miyazaki. Walau temanya yang dekat dengan pesawat, namun jangan berharap akan ada pilot babi ala “Porco Roso” mampir dalam film ini. Hayao Miyazaki membawa “The Wind Rises” jauh lebih dewasa dan realis dengan membuang segala fantasi liar tak ada habisnya yang biasa dia angkat dalam film. Memang dengan pendekatan yang realis ini meruntuhkan beberapa ekspetasi penonton yang ingin bersenang-senang seperti biasanya menonton karya Hayao Miyazaki, namun Hayao pasti memiliki alasan menggarap “The Wind Rises” seperti ini. Salah satunya agar sosok Jiro Hirokoshi yang ditampilkan dalam film ini dapat sedekat mungkin dengan aslinya. Bisa jadi film ini nantinya menjadi film edukatif dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah di Jepang atau bahkan di negara lain.
Kelewat serius mungkin akan membayangi beberapa benak penonton. Ya memang jarang sekali film animasi dibuat serius karena biasanya animasi merupakan alternative menonton yang menghibur dan memancing tawa. Namun karena sisi realisnya, bahkan seperti tak ada tempat untuk komedi, atau bermain-main dengan fantasi. Kalaupun ada sisi fantasinya terdapat pada pertemuan mimpi antara Jiro dan Caproni. Adapun sisi romansa dalam film ini antara Jiro dan Naoko terasa datar dan kurang mengeksplor emosi penonton. Namun didalam kedataran “The Wind Rises” ada kedalam cerita dan karakter yang digali dengan baik oleh Hayao Miyazaki. Dan jangan lupakan visualisasi “The Wind Rises” yang detil,Cantik,dengan warna-warna yang indah dan sejuk yang membuat semua momen dalam film ini yang dibuat oleh Hayao Miyazaki dan Tim Animator Studio Ghibli begitu berkesan. Suatu bentuk kesetiaan yang mengagumkan dari Hayao Miyazaki yang tetap mengusung animasi 2D melalui goresan tangannya sendiri ditengah gempuran animasi 3D yang popular saat ini.


Dengan durasi 126 menit dan ceritanya yang bisa dibilang datar, tak dipungkiri dapat menimbulkan penonton menguap sekali dua kali apalagi buat mereka yang bukan penggemar Hayao Miyazaki dan seluk beluk pesawat. Namun, “The Wind Rises” merupakan suatu pencapaian lain dari Hayao Miyazaki dengan membuat animasi yang realis dan serius diluar kebiasaannya. Film terakhirnya ini tetap akan mengisi hati para penggemarnya serta pencinta film animasi dunia. Dan tentu saja perlu diberi penghargaan kepada Joe Hisaishi , composer langganan hayao miyazaki yang membuat scoring mengagumkan dalam film ini apalagi dibeberapa adegan ada efek suara yang dibuat dengan mulutnya sendiri seperti suara baling-baling pesawat terbang yang hendak terbang. 


Liputan : Thai Film Festival 2014


Belakangan ini, perfilman Thailand cukup mendapat sorotan dimata perfilman dunia. Beberapa judul film Thailand sukses dikancah Internasional dan mendapat pengakuan dibeberapa ajang yang diikuti. Sebut saja “Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives” karya Apichatpong Weerasethakul yang mendapatkan Palme d’Or di ajang bergengsi Cannes 2010 atau “Shutter” karya Banjong Pisanthanakun dan Parkpoom Wongpoom yang di Remake oleh Hollywood dengan judul sama. Di Indonesia sendiri, film Thailand cukup dinanti-nanti oleh penggemarnya. Beberapa film Thailand mendapat respon baik di tanah air, seperti “Crazy Little Things Called Love” yang membuat nama Mario Maurer cukup tenar di kalangan penikmat film Thailand. Perfilman Thailand memang terkenal meramu cerita menarik dan teruji kualitasnya di berbagai genre.



Melihat antusias penonton Indonesia terhadap film Thailand yang cukup tinggi, Thai Film Festival 2014 hadir menyambut para penggemarnya. Thai Film Festival 2014 merupakan hasil kerjasama antara Tourism Authority of Thailand (TAT), The Thai Royal Embassy, dan PT. Inter Solusindo Film. Thai Film Festival 2014 berlangsung selama 3 hari, 12-14 September 2014 di Blitzmegaplex Central Park. Ada 8 judul film Thailand pilihan yang terdiri dari genre Romantic Comedy, Drama, hingga Horror. Kedelapan film yang ditayangkan di Thai Film Festival 2014 merupakan film-film yang tidak hanya baik dalam segi kualitas, namun juga dari segi jumlah penonton dan mampu menjadi box-office di Negara asalnya. Dengan tiket yang tergolong murah, hanya Rp. 20.000, penonton sudah dapat menyaksikan film Thailand di layar lebar.


Pada hari pertama Thai Film Festival 2014, penonton akan disuguhkan dengan kisah detektif yang jatuh cinta saat tugasnya dalam “The Bedside Detective” sebagai film pembuka serta kisah pelajar yang mengungkap misteri kematian siswa baru disekolahnya dalam “Dorm”. Kisah anak muda yang membuat band dalam “Suckseed”, nostalgia cinta pertama dalam ‘My Girl”, dan film horror terkenal yang berkisah tentang terror arwah saudari kembar dalam “Alone” menjadi sajian di hari kedua Thai Film Festival 2014. Dihari terakhir, penonton akan disuguhkan dengan kisah anak-anak muda menikmati liburan dan masa mudanya dalam “Hormones”, persaingan lucu sepasang kekasih dalam “ATM”, serta salah satu horror masterpiece Thailand “Shutter”.


Jumat, 31 Januari 2014

REVIEW : Snowpiercer (2013)


Sekitar seminggu setelah terhibur dengan film Horror asal Korea Selatan, “Killer Toon”,, kini saya kembali “dihadapkan” dengan satu lagi film “Box Office” asal negara “Super Junior” tersebut. Ya akhir-akhir ini memang “Invasi” Korea pada negara ini tidak hanya melalui muka mulus boyband-girlband serta cerita Melodrama yang hampir tiap sore “nangkring” di televisi lokal melainkan juga dengan film-film yang tayang dibioskop lokal. Tentu hal ini bukan berarti sebagai hal yang negatif, sisi baiknya adalah penonton mempunyai pilihan lain dalam menonton film dibioskop selain film-film lokal serta tentu saja Hollywood yang merajai pasar. Film Korea yang rilis di Indonesia-pun mayoritas mampu dikategorikan “memuaskan” penonton. Tahun ini saja setidaknya ada “Miracle in Cell No.7”, “Mr.Go”, “The Flu” dan tentu saja “Snowpiercer” karya Bong Joon-Ho. Bong Joon-Ho adalah sutradara Korea yang namanya cukup “Wangi” di perfilman dunia. Bagaimana tidak, film-film karyanya bisa dibilang mengesankan . “The Host” contohnya yang rilis pada tahun 2005 mampu berdiri kokoh dipuncak “Box Office” Korea Selatan hingga saat ini. Bong Joon-Ho bisa dibilang sutradara asal Korea Selatan favorite saya selain kreator dari “Oldboy” yang juga memiliki nama besar di Korea Selatan,  Park Chan- Wook.

“Snowpiercer” menawarkan kisah “Post Apocalypse” dimana bumi kembali mengalami “Ice Age” setelah sebuah percobaan meluncurkan sebuah zat ke lapisan ozon yang bertujuan untuk menekan pemanasan global pada tahun 2014 berakhir gagal dan membuat bumi mengalami zaman es sehingga kehidupan dibumi pun berangsur-angsur punah. Para “Survivor” yang selamat dari keganasan dinginnya bumi mencoba bertahan hidup di sebuah kereta lokomotif yang sangat panjang dan bergerbong banyak bernama “Snowpiercer”.  Mereka yang selamat hidup dengan kesenjangan sosial yang sangat terasa didalam kereta. Terjadi “pembatas” antara si miskin yang tinggal di ekor dan si Kaya yang tinggal dibagian depan gerbong.  Merasa tidak diperlakukan adil dan keji, Curtis Everett (Chris Evans) bersama “Kaum Ekor” seperti Edgar (Jamie Bell) dan sosok yang dituakan serta dihormati Gilliam (John Hurt) merancanakan sebuah revolusi. Sebuah gerakan menuntut keadilan serta menjatuhkan kekuasaan sosok yang dianggap bak dewa bagi beberapa penghuni  “Snowpiercer”, Wilford (Ed Harris) karena Wilford-lah sang pembuat kereta “Snowpiercer” dan dianggap bak sosok yang suci karena menyelamatkan dari “kiamat” bagi orang-orang di gerbong depan. Namun bagi orang-orang digerbong ekor, Wilford-lah dalang dibalik kesengsaraan hidup mereka selama 17tahun di Kereta.



Awalnya saya berpikir bahwa “Snowpiercer” adalah film khas “Musim Panas” dengan balutan efek yang menawan serta bertujuan “hanya” sebagai penghibur penonton. Namun, Bong Joon-Ho membawa kisah yang diangkat dari novel grafis berbahasa Prancis dengan judul  asli “Le Transperceneige” ini kedalam cerita yang cukup berat dan penuh makna. Dengan tema yang dewasa berbalut beberapa intrik politik didalamnya membuat film ini tidak begitu saja “menyuapi” cerita dan makna dalam film kepada penonton. Penonton akan diperlihatkan sebuah miniatur kehidupan disetiap gerbong yang dilalui oleh gerombolan Curtis. Bong Joon-Ho mampu menyimbolkan dengan baik kereta dengan keadaan sosial dibumi sesungguhnya. Mengenal system kelas. Manusia dibatasi oleh “Gerbong-gerbong” berkedok kekayaan, jabatan, atau hal lain sehingga manusia yang miskin punya tempat sendiri, di ekor dengan  fasilitas sesuai dengan “kelas”nya. Si kaya yang mampu membayar lebih mempunyai tempat sendiri yang tidak mau diusik oleh kelas dibawahnya. Seperti layaknya ketika menaiki kereta. Kita akan dituntut memilih untuk menggunakan kelas mana. Ekonomi atau eksekutif? Dan kita akan menerima sesuai apa yang kita bayar.

“Snowpiercer” jelas tidak seperti film Bong Joon-Ho sebelumnya. Ada rasa Hollywood didalamnya. Ya memang ini adalah kesempatan emas bagi Bong Joon-Ho untuk mengharumkan namanya dikancah perfilman dunia serta mengikuti jejak teman senegaranya, Park Chon-Wook  yang telah lebih dulu menggarap film Hollywood “Stoker”. Bong Joon-Ho tentu saja tidak menyia-nyiakan “fasilitas” khas Hollywood yang dia dapatkan. Cast yang sudah terkenal dan mendunia, Special Effect yang menawan khas film-film blockbuster dan tentu saja kucuran dana besar mengiringi pembuatan “Snowpiercer”. Segala “kenikmatan” itu tidak lantas membuat Bong Joon-Ho “termakan”. Sentuhan sineas  yang juga terkenal dengan “Memories of Murder” tetap menunjukan ciri khas nya. Bong Joon-Ho tetap mampu meramu sisi estetis dan tematis menjadi sebuah tontonan yang berkualitas. Segala fasilitas Hollywood tetap tidak membuat Bong Joon-Ho lupa akan kualitas dan menjaga orisinalitas dalam berkarya.


Dikaruniai beberapa cast yang telah dikenal luas tak membuat “Snowpiercer” hanya sebagai tontonan menjual tampang semata. Penampilan sosok “Captain America” Chris Evans bisa dikatakan beda dari penampilannya di film lain. Di tangan Bong Joon-Ho sosok “Superhero” bersifat “Baik-baik” ini dibuat menjadi sosok lelaki 30-an pemimpin revolusi kaum bawah yang keras dan agak ambisius. Chris Evans mampu memancarkan begitu menderitanya dan begitu keras upayanya untuk menuntuk keadilan dari sosok di gerbong depan yaitu Wilford. Usaha keras Chris Evans untuk membangkitkan sosok Curtis bisa dibilang berhasil dengan mampu melepas bayang-bayang karakter “superhero” yang biasa dia perankan di film-film Hollywood.  Bong Joon-Ho juga mampu menempatkan Jamie Bell dan John Hurt pada pos-pos yang tepat. Yang sekali lagi sang sineas tidak menyia-nyiakan nama terkenal di Hollywood ini hanya sebagai pengait penonton namun juga memaksimalkan kontribusi mereka dalam film ini. Namun yang paling mencuri perhatian adalah sosok Mason yang diperankan Tilda Swinton yang mengesalkan namun beberapa perilakunya dapat menggelitik dan mengundang tawa. Saya masih ingat betul Tilda sebagai Eva, sosok ibu yang penuh beban hidup dalam “We Need To Talk About Kevin” dan saya melihat “sosok Lain” Tilda Swanson pada film ini. Dengan penampilan khas ningrat dan perilaku yang mampu membuat penonton gemas, Tilda mampu meghidupkan sosok mason yang keji dan mengesalkan. Tilda sukses memerankan tokoh antagonis yang menyebalkan namun mengesankan ini. Diantara nama-nama Hollywood, Bong Joon-Ho tetap menggunakan talenta lokal asal Korea Selatan. Song Kang-ho dan Go Ah-sung adalah dua artis asal Korea Selatan yang berperan sebagai Bapak dan Anak yang sama-sama pecandu batu bernama Kromol. Song Kang-Ho yang pernah bekerjasama dengan Bong Joon-Ho sebelumnya pada film “Memories of Murder” ini memerankan mantan kepala keamanan yang turut membantu kelompok Curtis melewati lorong demi lorong. Bisa dibilang penampilan bapak – dan anak ini adalah pemeran penting dalam menunjukkan salah satu ciri khas dari Bong Joon-Ho, Black Comedy. Komedi yang dilontarkan melalui gimmick atau ucapan mereka mampu mengundang tawa penonton.


Snowpiercer merupakan debut film berbahasa Inggris pertama Bong Joon-Ho yang sekali lagi saya tekankan tidak disia-siakan oleh sang sineas. Bong Joon-Ho mampu meramu segala elemen baik tema cerita, cast yang telah dikenal luas, sisi estetis serta visual effect khas Hollywood yang mampu memanjakan mata menjadi sebuah kesatuan yang membuat “Snowpiercer” menjadi film Bong Joon-Ho rasa Hollywood yang masih layak untuk ditonton. Walau Snowpiercer ber-setting hanya dikereta, namun Snowpiercer mampu memberikan pengalaman menonton yang megah. Tema Snowpiercer tentang batasan kelas dalam kehidupan sosial yang disampaikan oleh Bong Joon-Ho menyentil kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat yang memandang manusia dan membatasi manusia dengan sistem kelas. Sistem kelas yang membatasi lini kehidupan manusia dijadikan alasan sebagai salah satu cara mempertahankan keseimbangan kehidupan dibumi. Dilain sisi pembatasan antara si kaya dengan si miskin secara luas dapat menghasilkan kesenjangan sosial serta mungkin saja dapat menimbulkan pemberontakan di salahsatu kubu atau terjadi perpecahan. Seperti yang tergambar pada Snowpiercer dimana sistem kelas mampu menyulut pemberontakan antara kaum yang tinggal di gerbong ekor terhadap orang-orang yang tinggal di bagian depan kereta sedangkan Wilford menganggap batasan itu harus ada untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan. Lantas apakah batasan menggunakan sistem kelas dibutuhkan untuk kehidupan?

Rabu, 29 Januari 2014

REVIEW : Killer Toon (2013)


Genre film horror di Korea mungkin masih kalah pamornya dengan  genre Thriller yang lebih sering diproduksi oleh “negeri gingseng”. Genre thriller Korea bisa dibilang lebih banyak memiliki cerita yang menarik dan variatif dibanding horror Korea. Sebut saja film thriller mengenai balas dendam “I Saw The Devil” yang mampu membuat saya beberapa kali menahan napas dan “kegirangan” melihat adegan “keras” yang ditampilkan di film tersebut atau “Oldboy” yang mampu bicara banyak di kancah dunia hingga Hollywood me-remake film masterpiece karya Park Chan Wook ini. Apalagi bila harus membandingkan film horror Korea dengan tetangganya “Jepang” yang terkenal memiliki segudang cara jitu membuat penonton ketakutan hingga loncat dari kursi ketika menonton film- film horror produksi “negeri matahari terbit”  ini. Bukan berarti Korea tidak punya film horror yang menyeramkan, sebut saja “A Tale of Two Sisters” namun film horror Korea kebanyakan memiliki “formula” yang sama dan cenderung repetitif dalam film-filmnya. Sehingga bisa dibilang genre horror Korea kurang diminati bahkan dinegaranya sendiri.

Ditengah kurang bergairahnya film horror Korea, “Killer Toon” muncul memberikan sebuah “gebrakan”. Secara tidak diduga, “Killer Toon” mampu merajai Box Office Korea dan mampu menembus 1 juta penonton dalam penayangannya di Korea. Tentu saja ini merupakan prestasi bagi “Killer Toon” yang merupakan film horror pertama yang mampu menembus 1 juta penonton setelah sebelumnya “Death Bell” pada tahun 2008. Lalu apa yang membedakan “Killer Toon” dengan film horror Korea yang lain? Apa kunci suksesnya?



Dibawah rumah produksi CJ Entertaiment,” Killer Toon” menyuguhkan hal menarik dengan menggabungkan film “Live Action” yang tersaji dengan visual yang baik dan cantik dengan animasi dan ilustrasi komik yang berkarakter membuat film ini memiliki ciri khas berbeda dengan film horror Korea yang lain. Hal ini tidak lepas dari sang sutradara, Kim Yong-Gyun yang mampu merealisikan dengan baik naskah hasil  Lee Sang-hak yang mampu melihat dengan jeli fenomena webcomic yang sedang digandrungi di Korea menjadi sebuah cerita yang mampu membuat penonton berjerit ketakutan.

“Killer Toon” berkisah tentang Kang Ji-yoon (Lee Si-young) seorang komikus terkenal yang harus terkait terhadap kasus kematian misterius yang ternyata berhubungan dengan karya-karya webcomic-nya. Beberapa kasus kematian mengerikan yang terjadi dikehidupan nyata terlihat persis seperti yang tergambar pada  ilustrasi webcomic yang dirilis oleh Kang ji-yoon. Hal ini tentu saja membuat Lee Ki-cheol (Um Ki-joon), seorang dektektif berhasrat untuk memecahkan misteri ini. Lee Ki-Cheol menelusuri keterkaitan antara komik-komik karya Kang ji-yoon dengan serangkaian kematian mengerikan yang akhirnya akan membawa sang detektif kepada kenyataan yang mengerikan serta menunjukan sisi gelap manusia.
Film yang memiliki judul Korea “Deo Web-tun: Yeo-go-sal-inini jelas merupakan horror misteri berbalut supranatural hantu-hantu-an dengan kutukan web-comic sebagai premise yang menjadi andalan dalam film ini. Film dibuka dengan adegan pembunuhan sadis nan mengerikan serta misterius terhadap seorang editor yang tersaji dengan apik dengan balutan visual yang cantik serta penambahan efek komikal membuat film ini enak dilihat serta meninggalkan misteri dan rasa penasaran disetiap adegannya. Hal ini membuat saya “duduk cantik” dibangku bioskop dan sangat siap mengikuti misteri yang ada pada film ini.



Atmosfir menyeramkan terbangun baik dalam film ini. Ya memang bisa dibilang cara sutradara yang pernah menggarap Red Shoes pada tahun 2005 ini dengan membangun atmosfir mengerikan menjadi “Jualan” utamanya. Ya memang hakikatnya film horror dibuat untuk membuat penontonnya menjerit ketakutan. Penampakan hantu yang cukup variatif tidak itu-itu saja menjadi nilai plus pada film ini. Sesekali saya pun kaget dan mendengar jerit penonton (lebih banyak wanita) saat hantu menampakan diri. Namun yang menjadi perhatian saya adalah berbagai twist yang ada dalam film ini. Kim Yong-Gyun mampu meramu twist dengan sangat baik dan cukup membuat film ini jadi makin misterius. Namun, perubahan karakter tokoh dalam film ini terasa agak dipaksakan seiring berjalannya film. Paruh akhir film saya mendapatkan cirri khas dari film Korea, iya melodrama khas Korea terasa dibagian akhir. Korea yang terkenal dengan film drama yang mampu menyentuh hati pun mampu “meng-invasi” hingga ke film horrornya. Tidak masalah memang, mungkin ini maksud dari Killer Toon untuk memberikan rasa lain dalam filmnya.


Terlepas dari semuanya, Killer Toon merupakan film horror Korea yang dari cukup mengerikan dan mampu menakut-nakuti penonton. Bisa dibilang ini adalah film horror Korea yang memuaskan ditengah lesunya film horror disana. Misteri yang terdapat dalam film ini juga mampu membuat rasa penasaran untuk terus mengikut setiap kasus serta fakta yang ditampilkan pada setiap adegannya. Twist-twist yang terdapat dalam film ini juga terasa ampuh. Selain kisah yang berbalut misteri yang baik, tentu saja pengaruh web-comic yang booming disana menjadi hal pendukung keberhasilan film ini dalam meraih jumlah penonton yang banyak.

Senin, 11 November 2013

Review : "Gravity"


Setelah “menghilang” selama 7 tahun selepas menyutradari film Sci-fi “Children of Men”. Alfonso Cuaron kembali dengan karya terbarunya, “Gravity” yang mampu membuat banyak pasang mata menanti-nanti kehadirannya karena mampu menghadirkan sebuah petualangan luar angkasa yang siap memesona siapa saja yang menontonnya dengan visual yang menawan serta ketegangan yang siap membuat yang menontonnya ikut merasakan “kengerian’” yang dialami tokoh dalam film ini. Gravity muncul ditengah gempuran film-film sci-fi bertemakan alien, post-apocalypse dan masa depan. Gravity menawarkan pendekatan serealistis mungkin dengan sederhana namun dapat memukau semua orang.
Gravity berkisah tentang Dr. Ryan Stone yang diperankan oleh Sandra Bullock yang merupakan seorang Medical Engineer (Teknisi Medis) yang sedang menjalankan misi penerbangan luar angkasa pertamanya ditemani oleh astronot veteran Matt Kowalsky yang diperankan oleh George Clooney). Tanpa diduga ditengah menjalankan rutinitas luar angkasa-nya, Ryan dan Kowalski di “serang” serpihan puing-puing berkecepatan tinggi yang berasal dari satelit luar angkasa yang hancur. Puing-puing satelit itupun menghancurkan pesawat eksplorer, tempat mereka menjalani rutinitasnya. Pertualangan Ryan dan Kowalski dimulai ketika mereka terombang-ambing di luar angkasa tanpa akses komunikasi yang terputus dengan Bumi serta minimnya persediaan oksigen di luar angkasa. Selebihnya kita akan melihat salah satu petualangan dan kisah bertahan hidup diluar angkasa yang luar biasa dan tentu saja membuat penontonnya duduk tegang dan sesekali sesak nafas dibuatnya.



WOAAWWWW.. itulah kata pertama yang saya lontarkan melihat visualisasi yang cantik nan menawan dari pemandangan luar angkasa yang ditampilkan Gravity. Sejak detik pertama film ini dimulai, Gravity mampu menyishir saya dan memukau penglihatan saya dengan visual bumi dari luar angkasa serta pemandangan luar angkasa yang mempesona. Sebuah pencapaian visual efek menakjubkan yang begitu detil sehingga mampu menyajikan keindahan luar biasa dan mampu memberikan pengalaman sinematis yang sangat berkesan untuk penontonnya serta mengajak penonton merasakan dan melihat apa yang selama ini dilihat oleh astronaut diluar angkasa sana. Sekitar 15 menit awal Gravity, penonton akan disuguhkan dengan long take tanpa putus tanpa editing yang menggambarkan kegiatan para astronaut di pesawat luar angkasa explorer dengan latar belakang pemandangan memukau bumi serta keindahan luar angkasa. Penonton akan diperlihatkan bagaimana “asyiknya” Matt Kowalsky melayang-layang dengan senang sambil “menggoda” Ryan Stone yang sedang sibuk memperbaiki bagian di pesawat luar angkasa dengan celotehan-celotehannya.

“Edan, Ini buatnya gimanaa??” Kata yang keluar dari mulut saya ketika terus diberikan pengalaman sinematik yang menakjubkan melalui Gravity. Hal ini tidak lepas dari kerja keras sang sutradara yang pernah terlibat menyutradari seri ketiga dalam saga Harry potter yaitu Harry Potter and the Prisoner of Azkaban. Alfonso Cuaron bertekad menjadikan Gravity serealistis mungkin bahkan seperti film dokumenter  astronot diluar angkasa yang di landa bencana. Sehingga, dalam film ini, penonton tidak akan menemui hal-hal yang biasa ditemukan dalam film sci-fi seperti alien. Jadi, jangan berharap ketika Ryan dan Kowalski terombang-ambing di luar angkasa, tiba-tiba mereka diculik oleh alien yang akan membawanya ke planet antah berantah. Alfonso Cuaron mampu meramu dengan baik visual efek yang mecengangkan dengan sinematografi yang menawan hasil pergerakan kamera yang ciamik. Membuat tampilan visual Gravity terlihat mengagumkan. Serta iringan Scoring mendebarkan yang mampu membuat penonton semakin hanyut dalam filmnya. Serta penampilan menawan dari dua cast-nya Sandra Bullock dan George Clooney yang mampu memberikan sentuhan emosionalnya kepada penonton disetiap scene dalam Gravity. Sandra Bullock menunjukan bahwa dirinya memang pantas dinobatkan sebagai aktris yang mumpuni dengan penampilannya sebagai Dr. Ryan Stone. Sandra Bullock mampu membuat kita terpaku dengan bagaimana dia bertahan diluar angkasa, turut merasakan ketakutannya, kengeriannya, dan kesendiriannya. Penampilan yang sangat menawan dalam memerankan Dr. Ryan Stone memperlihatkan bahwa betapa Sandra Bullock berkerja keras dan serta memberikan dedikasiyang terbaik dalam film ini. Walaupun tak mendapat porsi sebanyak Sandra Bullock, tokoh Matt Kowalski yang diperankan oleh George Clooney menjadi tokoh penting dan karakternya berkesan tidak mudah dilupakan. Dengan budget produksi mencapai $80 juta , Alfonso Cuaron mampu “membayarnya” dengan sebuah masterpiece yang akan terus dikenang beberapa tahun kedepan seperti halnya 2001 : A Spce Odyssey pada tahun 1968.


Secara keseluruhan, Film yang melakukan debut penayangannya pada 70th Venice International Film Festival ini mampu memberikan pengalaman sinematik yang indah bahkan yang terbaik yang pernah saya rasakan dibioskop. Dengan film ini saya seperti merasakan apa yang selama ini menjadi impian masa kecil saya yaitu menjadi Astronot. Mungkin tidak berlebihan bila banyak yang beranggapan bahwa Gravity akan menjadi pesaing kuat dalam Oscar tahun depan. Dianjurkan untuk menonton Gravity di layar IMAX 3D agar dapat merasakan sensasi berpetualang di luar angkasa.


Rating : 5/5

Review : "Your Next" (2013)


Setelah tahun ini disuguhkan dengan karyanya dalam project kumpulan sutradara-sutradara “sakit” di The ABC’s of Death dengan menyutradari serta membintangi segmen Q is for Quack dan juga bergabung dengan Gareth Evans, Timo Tjahjanto , dan Jason Eisener di V/H/s 2, Kini Adam Wingard kembali menyuguhkan film yang akan mengajak penonton merasakan terror dan “indah”nya bermandikan darah dalam You’re Next.
Film slasher yang “ditahan” selama hampir dua tahun oleh pihak distributornya, Lionsgate ini pernah “merasakan” program Midnight Madness di TIFF (Toronto International Film Festival) pada tahun 2011 yang saat itu dimenangkan oleh “The Raid”nya Gareth Evans. Dan sempat tersiar kabar bahwa You’re Next  juga akan dijadikan sebagai “Surprise Movie” di INAFFF 2011. Namun karena pihak Lionsgate-nya tidak merestui, alhasil film ini gagal ditayangkan di INAFFF 2011 dan akhirnya “A Lonely Place To Die”lah yang menjadi “Surprise Movie” di festival film yang paling dirindukan oleh pecinta genre fantastic di Indonesia.
You’re Next berkisah tentang keluarga Davison yang sedang berkumpul untuk merayakan “Anniversary” pernikahan Paul (Rob Moran) dan istrinya, Aubrey (Barbara Crampton). Hari yang terlihat akan sempurna karena seluruh anggota hadir dan merayakannya mendadak berubah menjadi malam kelam dan mengerikan ketika sekelompok pembunuh bertopeng binatang meneror mereka. Anggota keluarga Davison bahu membahu untuk melawan terror dari “binatang buas” tersebut. Timbul pertanyaan siapa dibalik topeng tersebut? Apa yang sebenarnya mereka cari?


Penampilan tokoh Erin Harson yang diperankan oleh Sharni Vinson mampu membuat siapapun yang menontonnya berdecak kagum. Dia-lah yang paling survive diantara anggota keluarga Davison. Bukannya kabur atau bersembunyi dari ancaman golok dan panah si pembunuh bertopeng. Sebaliknya, dia malah memburu balik “hewan-hewan jadian” tersebut. Membuat si pembunuh-pembunuh bertopeng merasa terancam dan malam yang mereka pikir akan berakhir “bahagia” berubah karena ketangguhan Erin.
Kisah “Home Invasion” yang disuguhkan dalam “You’re Next” sebenarnya bukanlah hal yang asing dan baru. Namun, Cara Adam Wingard mengajak penontonnya untuk bersenang-senang dengan adegan-adegan sadis berlumuran darah patut diapresiasikan. Mungkin untuk penggemar film slasher (seperti saya), You’re Next seperti film pemuas dahaga akan adegan-adegan sadis nan brutal. Bacok sana bacok sini, Tusuk sana tusuk sini, darah dimana-mana, teriakan ketakutan dan terror membuat film ini mampu memberikan ketegangan bagi penontonnya, “kepuasan” akan adegan sadis dan “kebahagiaan” karena darah ada dimana-mana.

Dibalik adegan brutal dan terror dari pembunuh bertopeng, Adam Wingard menyuguhkan dialog yang menarik yang tak kalah menarik dari adegan berdarah dalam film ini. Yang paling saya ingat dan termasuk berkesan adalah ketika anggota keluarga Davison berkumpul dimeja makan untuk makan malam dan obrolan-obrolan antara anggota keluarga yang berbuntut dengan debat. Selain itu, Adam Wingard juga menyelipkan komedi-komedi yang membuat warna lain dalam film ini. Ditengah adegan-adegan yang menegangkan dan penuh darah, film ini tetap memberikan “istirahat” dengan dialognya yang lucu dan bahkan mampu mengundang tawa. Jadi menonton “You’re Next” adakalanya penonton teriak sekeras-kerasnya ada kalanya penonton juga tertawa sekeras-kerasnya.


Secara keseluruhan, You’re Next merupakan film pelepas dahaga yang tepat bagi pecinta slasher. Saya pribadi merasa terpuaskan akan adegan-adegan brutal yang disuguhkan dalam film ini. Tanpa basa basi film ini menampilkan adegan yang sadis sejak awal film. Tusukan demi tusukan , pukulan demi pukulan, bacokan demi bacokan dan darah dimana-mana siap menghibur penontonnya. Tak perlu mengharapkan cerita yang rumit dengan twist yang memukau cukup nikmati saja setiap “hiburan” yang ingin ditunjukan oleh Adam Wingard dan kalian akan merasakan “kebahagian” menonton film ini. Seperti saya yang teriak kegirangan saat satu demi satu diperlihatkan adegan-adegan keras nan “Indah”. Dan jangan sampai lupa lagu “Looking for the Magic”nya Dwight Twilley yang mampu memberikan warna lebih dalam film ini.



Rating : 3/5