Minggu, 01 Maret 2015

Review Cahaya Dari Timur : Beta Maluku


Setelah 4 tahun selepas merilis “Hari Untuk Amanda” pada tahun 2010, sutradara Angga Dwimas Sasongko kini kembali hadir dengan film terbarunya yang berjudul “Cahaya Dari Timur : Beta Maluku”.  Ni Beta Maluku merupakan film pertama dari rangkaian seri Cahaya Dari Timur yang mengangkat kisah-kisah inspiratif dari Indonesia Timur.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku mengangkat kisah nyata dari kehidupan Sani Tawainella (Chicco Jericho) seorang mantan pemain sepak bola asal Tulehu, Ambon yang sempat mewakili Indonesia pada Piala Pelajar Asia tahun 2016 namun gagal dalam seleksi PSSI Baretti. Kegagalan menjadi pemain sepakbola professional membuatnya pulang kampung dan menjadi tukang ojek untuk menghidupi keluarganya. Pada saat konflik Maluku pecah awal tahun 2000-an, Sani mengumpulkan anak-anak Tulehu untuk berlatih sepak bola dengan tujuan menghindari anak-anak tersebut dari konflik. Ditengah segala kekurangan serta problematika ekonomi dan keluarga yang dialami Sani, Sani berhasil membangun tim yang  menjadi kebanggan Tulehu dengan mampu mewakili Maluku dalam kejuaran Nasional U-15 2006 di Jakarta.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku sepintas memang film bertemakan sepakbola, namun ditelisik lebih kedalam, film ini mengangkat isu sosial dan budaya yang terjadi di Negri Maluku. Seperti halnya sisa-sisa konflik Maluku yang secara tidak langsung mempengaruhi psikologi anak Tulehu yang menjadi Rasis terhadap agama lain hingga akhirnya dipersatukan dengan sepakbola. Film ini melampirkan pesan perdamaian antar umat beragama, tidak hanya untuk di Tulehu, tapi untuk semua manusia.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku tidak terperangkap pada kebiasaan film-film sejenis yang pemeran utamanya datang bak pahlawan lalu mengubah nasib beberapa orang dan ditampilkan sempurna tanpa cacat layaknya dewa. Dalam film ini penonton akan disuguhkan sosok Sani Tawainella yang seperti manusia biasa yang sesekali mengalami kegagalan. Penonton akan ikut merasakan kegetiran Sani yang telah sayang terhadap anak-anak didiknya namun terus ditekan oleh himpitan ekonomi dan keluarganya. Sosok Sani tidak terjebak dalam heroisme berlebihan. Penuturan tahap demi tahap perjuangan Sani mengajarkan penonton bahwa siapapun bisa membawa perubahan baik bagi lingkungannya.

Pengalaman adalah guru terbaik, pepatah tersebut tepat disematkan kepada M. Irfan Ramli, scriptwriter dari Cahaya Dari Timur. Merasakan sendiri masa-masa konflik Maluku membuat naskah skenario yang dibuat bersama Swastika Nohara begitu dekat dengan kejadian nyata serta setting tempatnya. Detail-detail adegan seperti kebiasaan-kebiasaan orang Tulehu serta logat aslinya terasa sepanjang film. Yang paling terasa adalah sepanjang film hampir mayoritas menggunakan bahasa Melayu Tulehu asli beserta logat khasnya. Tentu saja hal ini merupakan nilai plus untuk film ini. Lebih baik menggunakan bahasa asli dan menggunakan subtitle agar terasa lebih natural disbanding harus meninggalkan bahasa setting tempatnya dengan menggunakan bahasa Indonesia agar (niatnya) menambah nilai komersial yang malah menurunkan kualitas dari film tersebut.


Penampilan seluruh pemain dalam film ini patut diberikan apresiasi baik. Baik artis ibukota yang diboyong dari Jakarta sampai “Rising Star” anak-anak asli Maluku melakukan penampilan yang baik sehingga terasa seperti orang Tulehu sesungguhnya. Penampilan Chicco Jericho sebagai Sani Tawainella mampu menarik perhatian penonton. Lupakan Chicco yang selalu terlihat mulus dan selalu bersih dengan pakaian necis wara-wiri di televisi, melalui debut pertamanya didunia film, Chicco mampu menunjukan bahwa dia memang aktor yang layak untuk bermain film. Penonton tidak akan merasa melihat Chicco, namun Sani. Chicco mampu memberikan kenangan manis didebut nya didunia film. Penampilan pemain lain seperti Shafira Umn, Jajang C. Noer, Glenn Fredly, Serta Ridho “Slank” semuanya bermain baik sesuai dengan posisinya. Terlebih Ridho “Slank” yang aktingnya mampu diatas rata-rata, aktingnya sama baiknya seperti saat sedang bermain gitar di Slank, terasa hidup dan menjiwai. Dan jangan lupakan penampilan anak-anak asli Maluku yang mampu mencuri perhatian dalam debut mereka. Berpenampilan baik sebagai anak-anak Tulehu dengan tidak merasa minder dengan actor-aktor senior yang beradu acting dengan mereka.

Melalui Cahaya Dari Timur, Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara menjadikan sebagai batu loncatan ke level baru dalam pengalaman berkaryanya. Apabila dalam “Hari Untuk Amanda” hanya men-direct dengan cast yang tak begitu banyak, dalam film ini Angga harus menangani film yang lebih besar dan tentu saja lebih complex. Menangani film ini sebagai sutradara dan produser tentu saja membuat Angga harus menangani film ini dari A sampai Z sehingga film ini lebih emosional untuknya. Hasilnya, sebuah sajian yang terasa sepenuhnya dari hati untuk para penonton. Sinematografi yang patut diacungi jempol terutama moment-moment penting saat pertandingan sepak bola yang begitu menarik dan begitu dramatisir. Serta tak lupa untuk meng-capture pemandangan indah Tulehu. Apabila “Laskar Pelangi” mampu mempromosikan Belitong dan “5cm” dengan Mahameru-nya, Cahaya dari Timur mampu menampilkan pesona Tulehu dengan bauk. Terutama Pantai-nya yang bersih dan begitu biru.


Secara keseluruhan, Cahaya Dari Timur merupakan tontonan bergizi bagi masyarakat Indonesia yang selama ini “terpaksa” disuguhkan oleh film dengan muatan “polusi”. Memberikan kisah inspiratif yang dengan membumi  serta didukung dengan sisi teknis seperti directing, penampilan para cast, serta cerita yang mumpuni membuat Cahay Dari Timur seperti film dengan komposisi yang hampir sempurna. Tidak melebihkan, namun saat menonton film ini banyak moment yang begitu menggetarkan bahkan membuat campur aduk perasaan. Tak percaya? Rasakan moment-moment akhir dalam film ini. Bisa saya katakan bahwa moment terakhir dalam film ini adalah salah satu moment terakhir terbaik selama saya menonton film dibioskop. Film yang begitu berkesan dan inspiratif. Dengan harga tiket bioskop yang dibeli penonton mendapat tontonan menghibur sekaligus inspiratif. Menandakan awal dari seri Cahay Dari Timur, sangat diharapkan agar seri selanjutnya memiliki kualitas yang sama atau bahkan lebih baik. Indonesia butuh film seperti ini. Punya muatan Edukatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar