Membuat film tentang seorang kepala
negara atau Presiden yang pernah memimpin suatu Negara, bisa dikatakan sebagai
bentuk penghormatan atas jasanya terhadap negara dan sebagai media memperkenalkan
sosok memiliki peran penting, dalam bentuk karya audio visual agar lebih mudah
dinikmati oleh orang banyak. Tahun lalu Steven Spielberg menyuguhkan kisah Presiden
Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln, yang diperankan dengan sangat luar
biasa oleh Daniel Day-Lewis, dalam film yang berjudul “Lincoln”. Atau film
peraih Best Picture 2011, The King’s
Speech, yang menceritakan tentang George
VI, Raja Inggris yang gagap dan berusaha keras untuk melakukan pidato yang
baik. Di Indonesia, kisah mantan presiden Indonesia ke-3, B.J. Habibie, difilmkan
tahun lalu dengan judul “Habibie Ainun”. Kisahnya sendiri mengisahkan
perjalanan Habibie bersama sang istri, Ainun Habibie, dalam menjalani kehidupan
bersama. Kisahnya yang romantis membuat film ini disukai oleh masyarakat dan sukses
meraih lebih dari 4 juta penonton.
Setelah Habibie ditahun lalu,
pengujung tahun 2013 ini, kisah tentang Presiden pertama Indonesia, Ir.
Soekarno diangkat ke layar lebar oleh Hanung Bramantyo dengan Judul “Soekarno”.
Film ini mengisahkan perjuangan sang “Proklamator” dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Film dimulai dengan adegan penggerebekan terhadap
kediaman Dr. Soejoedi oleh tentara Belanda yang berakhir pada penangkapan
Sukarno pada tahun 1929. Kemudian alur cerita bergerak mundur ke tahun 1912,
dimana Kusno, seorang anak berusia 11 tahun yang sering sakit-sakitan, oleh
bapaknya diganti namanya menjadi Sukarno, dengan harapan kelak menjadi ksatria
layaknya tokoh pewayangan Adipati Karno dengan ritual khas Jawa.
Film “Soekarno” secara umum
menyuguhkan kisah pada masa Bung Karno memperjuangkan kemerdekaan, kegiatan
berpolitik serta strateginya dalam pergerakan meraih kemerdekaan. Film in
berusaha keras menceritakan situasi mulai dari jaman penjajahan Belanda, dimana
Sukarno dianggap menghasut dan memberontak sehingga diasingkan ke Bengkulu,
hingga Jepang datang menggantikan Belanda menduduki tanah air. Pada zaman
kedudukan Jepangpun, yang dianggap tidak kalah bengisnya dengan Belanda,
Sukarno bersama Hatta dan Sjahrir tetap berjuang merebut kemerdekaan Indonesia.
Usaha keras Ario Bayu, yang memerankan
sosok Sukarno, terlihat jelas untuk mewujudkan sosok yang sangat penting bagi
lahirnya negeri ini. Ario Bayu terlihat cukup mampu menghidupkan peran Sukarno
dengan baik. Gerak-gerik Ario Bayu sebagai Bung Karno, mampu menggambarkan
kesan bijaksana dan karismatik. Pada adegan berpidato didepan rakyat, Suara
lantang Ario serta gaya yang berkarisma membuktikan bahwa memang dia layak
untuk memperankan sosok bung Karno.
Aktor yang pernah bermain sebagai
Satrio dalam Catatan Harian Si Boy menyingkirkan banyak aktor lain yang ikut casting untuk peran Sukarno ini, termasuk
Agus Kuncoro yang akhirnya menjadi Gatot Mangkuprojo dalam film ini. Walau dianggap
tidak cocok dalam memerankan Sukarno oleh salah satu anak dari Bung Karno,
Rachmawaty, Namun Hanung Bramantyo tetap kekeh menggunakan Ario Bayu sebagai
Bung Karno. Dan Hanung bisa dianggap tidak salah pilih.
Selain menceritakan kisah perjuangan
Bung Karno mewujudkan kemerdekaan. Kisah “rumah tangga” Bung Karno pun ikut
diceritakan di sini. Hubungan Bung Karno dengan istrinya Inggit Garnasih, yang
diperankan oleh Maudy Kusnaedi, yang terpaut lebih tua 12 tahun dari Bung Karno
yang selalu menemani Bung Karno dalam perjuangannya hingga masuk penjara dan
diasingkan. Diceritakan juga bahwa Inggit harus rela hati ketika suaminya
kembali jatuh cinta kepada gadis muda bernama Fatmawati yang diperankan oleh
Tika Bravani. Kemelut Kisah cinta Bung Karno dalam “Soekarno” turut menghiasi
kisah perjuangan ini. Hal ini sebagai bukti bahwa film Soekarno berusaha untuk
menutup celah detail dalam mengekspos kisah hidup bung Karno ini, baik
kehidupan pribadinya maupun kehidupan berpolitiknya, baik kecintaan terhadap
rakyatnya atau kecintaan terhadap “perempuannya”.
Tim Artistik dalam film “Soekarno” ini
terlihat serius menghidupkan setting
Indonesia sebelum merdeka pada film ini. Demi mendapatkan kediaman Soekarno di
Pesanggrahan Timur semirip mungkin, mereka membangun rumah yang sesuai dengan yang ditinggali oleh
Bung Karno sesungguhnya, dalam skala 1:1. Selain itu penggunaan alat
transportasi seperti mobil klasik dan kereta jadul pun mampu menambah nilai
estertis dalam film ini. Penggunaan property
memang terlihat dicoba untuk disesuaikan dengan jaman tersebut. Film “Soekarno”
juga menggunakan Footage dari
arsip-arsip nasional yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia pada
masa penjajahan, serta video-video bung Karno yang asli saat melakukan pidato
serta kegiatan beliau yang lain. Dan penggunaan suara asli Bung Karno pada saat
adegan pembacaan teks Proklamasi akan mampu membuat penonton merinding. Suara pembacaan
teks Proklamasi yang sama apabila kita mendengarkannya di salah satu bagian di
Monas.
Namun begitu, film “Soekarno” hadir
bukan tanpa kekurangan, film ini terlihat kurang
berhasil men-deliver dengan baik
penokohan Sukarno. Ini terlihat dari
alur penceritaan yang sangat standar, yang diketahui secara umum saja. Entah
buku referensi apa yg dipake sang penulis skenario (Ben Sihombing dan Hanung
Bramantyo) ketika membuat skenario, tapi penceritaan dalam film ini, terasa
seperti membaca buku wajib sekolah dasar dalam mata pelajaran sejarah.
Sebetulnya, banyak buku referensi yg menulis kisah tentang Sukarno, dan
rata-rata isi buku tersebut sangat menarik. Misalnya saja, “Kuantar Kau Ke Gerbang”
(buku yang bercerita tentang Inggit Ganarsih),
“Fatmawati” (buku yg berkisah tentang ibu Fatmawati), Sukarno My Friend karya Cindy adams. Dan sayang sekali bahwa cerita
tentang Sukarno yang diangkat di film ini hanya sebatas Sukarno 'dipermukaan'
seperti yg ada di buku2 sejarah anak Sekolah Dasar.
Cukup jelas terlihat
bahwa film “Soekarno” ini seperti film yang “cari aman”. Dengan materi yang
komersil dan hanya mencapai kata “Pas”, sehingga Hanung Bramantyo kurang
terlihat mengeksplor karakter Soekarno, yang sebetulnya sangat dinamis dan
memiliki sisi-sisi yang penting dalam perjalanan dirinya sebagai individu atau
sebagai seorang tokoh sejarah besar di Republik ini. Kembali lagi, apakah ini
terjadi, entah mungkin dari referensi yang didapat atau hanya mencari aman demi
kepentingan komersil?
Walau terdengar ada
wacana bahwa Hanung Bramantyo akan membuat “Soekarno” versi lain dengan sudut
pandang berbeda yang diperuntukan untuk Festival Internasional atau rencana
akan dibuat Trilogi Bung Karno, tapi bukan berarti harus melupakan kedalaman penokohan
cerita yang akhirnya hanya menawarkan fakta yang telah biasa diketahui oleh
orang banyak dan tidak menawarkan sesuatu yang bisa dijadikan pegangan lebih
untuk publik.
Lalu, kehilangan fokus,
jelas terjadi di pertengahan film. Beberapa adegan yang seharusnya menjadi
konflik yang lumayan dapat menarik perhatian penonton, jadi terlihat biasa saja,
bahkan datar. Adegan ketika Inggit berbincang dengan Sukarno mengenai masa
depan hubungan mereka, misalnya. Jelas ini adalah adegan yang harusnya memiliki
nilai emosi yang dalam bagi penonton. Namun apa yang ditampilkan hanya seperti
dua orang yang sedang berbicara sesuatu yang biasa dan seolah tak memiliki
makna penting dalam hidup yang dilakukan di malam hari. Perasaan kemelutnya tak
sampai.
Lalu, terlihat juga beberapa
konflik tidak mencapai klimaks yang pas dan terkesan hanya sekedar
menceritakan. Penonton tidak dibuat terikat dalam kisah Bung Karno malahan
untuk sebagaian penonton yang tak terbiasa dengan film drama seperti ini,
mungkin akan menguap dan mengeluh mengantuk saat menonton film ini
dipertengahan alurnya.
Terlalu banyak aspek
yg mau 'diceritakan' di film ini, terlalu banyak peristiwa yang mau dirangkum
hingga cerita cenderung 'hilang fokus', mau bicara kisah cinta? heroisme? Atau
history kah? Entahlah. Yang jelas semua aspek itu campur aduk, tumpang tindih,
bolak balik dalam sebuah film berdurasi 2 jam lebih. Jangan berharap film biopik ini akan seperti film
Keneddy, Mandela atau Thatcher. Sang penulis skenario tidak berani mengambil
sudut pandang yang berbeda dari yang sekedar orang awam telah ketahui tentang
Sukarno.
Namun begitu, terlepas dari kekurangan
serta segala konflik serta perseteruan yang ikut “meramaikan” dalam produksi
“Soekarno”, film ini diprediksi akan mampu untuk meraih jumlah penonton yang
banyak. Promosi dan pemasaran film ini sangat baik, dan mungkin memang memiliki
anggaran yang cukup untuk itu. Lalu juga, film “Soekarno” diberkahi dengan cast yang sudah mumpuni, seperti Ario
Bayu, Lukman Sardi yang piawai menghidupkan karakter Moh. Hatta, Tanta Ginting
yang mampu menampilkan sifat keras dan tegasnya namun sangat cinta pada Tanah
Air dalam memerankan Sjahrir, dan jangan lupakan penampilan AA’ Jimmy, walaupun
perannya sebagai anak buah Sjahrir dan perannya sedikit, namun mampu menarik
perhatian penonton diparuh akhir film.
Dengan mengangkat kisah sosok yang
dicintai bangsa dan cukup “Komersil” bila difilmkan, mungkin saja rakyat
Indonesia berbondong-bondong menyaksikan “Soekarno” di bioskop seperti layaknya
ketika menyerbu film “Habibie dan Ainun”. Dan film “Soekarno” ini cukup layak
untuk ditonton oleh bangsa Indonesia yang ingin lebih mengenal sosok
proklamator negeri ini, walaupun pada akhirnya, pemahaman yang bisa didapat
dari film ini hanya sosok Soekarno yang biasa-biasa saja, seperti yang tertulis
di buku-buku sejarah sekolah. Namun, tetap saja ini bisa menambah referensi
edukatif dalam sejarah, karena memang sesungguhnya film adalah sarana edukasi
yang cukup efektif, bagi yang memikirkannya.
Nb : Review ini dibuat oleh Saya bersama (Suhu Saya) Mas Reiza Patters
(ANS)
BalasHapusTerimakasih Reviewanya gan...
Sertifikasi OHSAS 18001