Sabtu, 06 Juni 2015

(Review Short Film) "Iblis Jalanan" : Menggila Pada Tempatnya


Sekelompok pembalap liar yang sering menggunakan jalan umum ibukota sebagai lintasan balapnya jelas bagaikan iblis yang mengusik pengendara lain dalam berlalulintas. Jalanan dirasa milik mereka sendiri dan dijadikan arena balap motor yang tak hanya uang yang jadi bahan taruhannya, namun juga nyawa mereka sendiri bahkan nyawa pengendara umum yang sedang melintas ikut terancam. Ada yang bangga menjadi pembalap liar karena dianggap punya nyali yang besar. Walau sering dilakukan razia oleh polisi, namun keberadaan para “iblis jalanan” ini sulit untuk dibasmi. Melihat fenomena inilah, film dokumenter pendek berjudul Iblis Jalanan seakan memberikan solusi bagi mereka yang memang bangga punya nyali besar dengan “kuda besinya” untuk meluapkan nyali besarnya dengan menggila pada tempatnya di arena tong setan.

Iblis Jalanan merupakan film dokumenter pendek yang terinspirasi dari lagu berjudul Iblis Jalanan milik Bangkutaman. Film ini berkisah tentang kehidupan serta sisi lain dari para pembalap tong setan di sebuah pasar malam. Adalah Eko dan Abdul, dua rider tong setan yang tak hanya pamer kebolehan dalam atraksi penuh resiko namun juga membagi cerita dibalik penampilan mereka serta pengalaman mereka selama berkecimpung di dunia per-tong setan-an dan lika-liku pasa malam keliling. Selama 10 menit durasi film, Penonton akan diajak menyelami kehidupan dan keseharian Eko dan Abdul di arena tong setan pasar malam lengkap dengan penampilan gila-gilaan mereka serta segala keluh kesah mereka mulai dari beberapa cedera yang mereka pernah alami sebagai resiko pekerjaan hingga kisah kasih dengan tambatan hati mereka di pasar malam.

Iblis Jalanan merupakan karya dari Gundala Pictures yang disutradarai oleh Salman Farizi. Film dokumenter pendek ini awalnya merupakan project videoclip dari single Bangkutaman yang rilis tahun 2014, namun sepertinya para sineas dibalik Iblis Jalanan melihat potensi dan kisah yang sangat menarik untuk diangkat ke permukaan dari kehidupan para rider tong setan, sehingga jadilah  Iblis Jalanan dalam sajian sebuah film pendek dokumenter.  Dalam 10 menit, Iblis Jalanan mampu menangkap momen-momen menegangkan serta berbahaya dari atraksi para pengendara motor di arena tong setan. Duet DOP, Sesaria Saputra dan Dana Putra mampu meng-capture ketegangan dari uji nyali dalam tong raksasa yang dilakukan oleh Eko dan Abdul. Beberapa adegan serta shot yang dibidik dari kamera mereka dapat dikatakan variatif dimana menggabungkan beberapa tehnik pengambilan gambar, diantaranya sudut pandang pengendara dimana menggunakan kamera Go-Pro yang ditempel di motor Eko dan Abdul serta angle yang diambil dari dasar tong setan yang memperlihatkan dua rider tersebut berputar-putar mengelilingi tong setan dengan kecepatan tinggi. Dua kameramen itupun ikut adu nyali berada ditengah-tengah arena tong setan karena tak dipungkiri resiko mereka demi mendapat gambar yang baik cukup besar.


Footage-footage yang berhasil ditangkap dalam proses pengambilan gambar Iblis Jalanan mampu dijahit melalui proses editing yang menarik dimana pace-nya terasa cepat namun tetap intense sehingga tetap setia dengan apa yang ingin diceritakan. Editing Iblis Jalanan terasa pop dan  transisi serta komposisi antara footage atraksi, wawancara dengan pembalap, serta suasana eksternal (penonton dan pasar malam) terasa pas dan seimbang. Hasilnya menonton Iblis Jalanan terasa sangat renyah, nikmat, dan ringan namun pesan yang ingin disampaikan tetap tersalurkan. Durasi jadi tak begitu terasa saking menikmatinya. Bisa dikatakan, Iblis Jalanan punya pencapaian tehnik yang baik yang tentu saja sangat menunjang cerita dan apa yang ingin disampaikan ke penonton.

Secara sangat jelas bahkan disertakan dalam premisnya bahwa film Iblis Jalanan ini terinspirasi oleh lagu Iblis Jalanan milik Bangkutaman, sudah tentu lagu ini pun turut memperkuat atmosfer ketegangan saat Eko dan Abdul  bersama motor mereka melakukan atraksi di arena tong setan. Beberapa momen dalam film ini punya power lebih ketika diiringi oleh lagu Bangkutaman ini. Namun, lirik dari lagu Iblis Jalanan kurang begitu terdengar dan sudah jelas tak begitu memberikan pengaruh dalam film rasanya. Padahal bisa dipastikan bila liriknya lebih mudah didengar oleh penonton bisa menjadi kekuatan dan nyawa lebih dalam filmnya. Hingga akhirnya, apabila lagu Iblis Jalanan diganti dengan lagu lainpun yang bergenre sejenis akan terasa sama saja hasilnya. Disinilah terlihat bagaimana film arahan Salman Farizi ini tetap setia dan konsisten terhadap konsep awal filmnya yang terinspirasi dari lagu milik Bangkutaman.

Film dokumenter pendek Iblis Jalanan  punya tujuan yang sama dengan lagunya sama-sama menyinggung para pengguna jalan yang bertindak semaunya namun dengan cara dan eksekusi yang berbeda. Bila lagunya secara terang benderang menyinggung pengguna jalan yang suka kebut-kebutan, bila filmnya seakan memberi solusi bila ingin unjuk nyali dengan cara yang lebih positif, tepat pada tempatnya, dan tentu saja mendapat uang. Filmnya tidak menyinggung tentang perilaku para “Iblis Jalanan”, namun memberikan sosok “Iblis” baru namun lebih tahu aturan dan tahu tempat yang digambarkan dengan sosok Eko dan Abdul. Bila ingin uji nyali besar daripada balapan liar di jalan yang jelas merugikan orang lain, lebih baik tes nyali di arena tong setan, kurang lebih itulah yang ingin disampaikan pada film ini selain menunjukkan sisi lain dari para pembalap tong setan beserta lika liku per-pasar malam-an.

Dengan segala yang disajikan Iblis Jalanan, sangat pantas bila film dokumenter pendek ini terpilih sebagai pemenang Special Mention Juri film dokumenter di perhelatan XXI Short Film Festival 2015 dan baru saja menjadi jawara film pendek terbaik di Europe on Screen 2015 mengalahkan kandidat lain salah  satunya Lemantun  karya Wregas Bhanuteja. Dengan segala pencapaian yang didapat oleh film dokumenter pendek Iblis Jalanan, Bangkutaman haruslah bangga dengan apa yang dilakukan oleh Salman dkk dalam mentransformasikan project videoclip  mereka kedalam format film dokumenter pendek yang punya kisah serta tehnik penggarapan yang baik. Sepertinya tak hanya yang sering ugal-ugalan di jalan yang harus nonton film ini, para penggemar film khususnya film pendek wajib nonton film ini. 

Senin, 18 Mei 2015

Review : Epen Cupen The Movie (2015)



Pasca keberhasilan luar biasa baik secara komersil maupun kualitas yang ditorehkan Comic 8 pada awal tahun 2014 lalu, para comic (Sebutan dari pelaku Stand Up Comedy) yang terlibat dalam film komedi-aksi tersebut perlahan menunjukkan eksitensi di dunia perfilman Indonesia. Para comic kini laris manis menghiasi beberapa judul film dari berbagai genre baik sebagai pemeran utama maupun sebagai pemain pendamping. Tak dipungkiri, para comic punya pesona komedi yang dianggap fresh dan mampu menggaet penonton khusunya para penonton muda. Salah satu dari mereka adalah Babe Cabita dimana dampak dari penampilannya di Comic 8 pria berambut kribo ini mulai malang melintang menghiasi layar lebar. Dan yang terbaru adalah film komedi-aksi berjudul, Epen Cupen The Movie.

Epen Cupen The Movie berkisah tentang Celo (Klemen Awi), pemuda asal Papua yang mendapat mandat dari ayahnya untuk mencari saudara kembarnya yang terpisah sejak kecil. Dalam perjalanan mencari saudara kembarnya, Celo bertemu Babe (Babe Cabita) seorang pengusaha bangkrut asal Medan dan Celo pun meminta bantuan kepada Babe untuk membantu mencari saudara kembarnya yang hilang. Pertemuan antara mereka berdua menyeret mereka dalam beberapa masalah hingga akhirnya tanpa disengaja terdampar di Jakarta dan terlibat diantara dua kelompok gangster  yang sedang berseteru.

Melalui Epen Cupen The Movie, Irham Acho Bachtiar kembali mencoba mengeksplorasi potensi dari tanah kelahirannya Papua kedalam format film. Bila melihat rekam jejaknya di dunia perfilman, Irham Acho Bachtiar selalu konsisten melibatkan wilayah paling timur Indonesia ini kedalam karya-karyanya. Film pertamanya yang berjudul Melodi Kota Rusa pada tahun 2010 dapat dikatakan sebagai kebanggaan Papua karena seluruhnya digarap oleh anak asli Papua. Walaupun tayang terbatas, namun antusias terhadap film ini cukup besar melihat 1000 keping DVD terjual hanya dalam waktu 2 minggu di Papua. Setahun kemudian, Irham merilis film adventure yang masih melibatkan Papua didalamnya berjudul “Lost in Papua”. Dan 4 tahun setelahnya, Irham mencoba mengangkat budaya lokal bidang komedi di Papua bernama mop Papua. Epen Cupen The Movie sendiri diadaptasi dari webseries yang cukup terkenal berjudul Epen Cupen yang berarti “emang penting cukup penting”. Dalam webseriesnya, Epen Cupen menyuguhkan sebuah lawakan yang terkesan lugu namun cerdas yang diangkat dari interaksi kehidupan sehari-hari dalam bentuk sketsa-sketsa singkat. Dalam  filmnya, Epen Cupen selain tetap bertahan dengan ciri khasnya juga diperkaya dengan elemen-elemen lain seperti deretan adegan action dibeberapa adegan serta lawakan khas Stand-up Comedy sebagai variasi komedi yang disuguhkan ke penonton.

Awal film sangat menjanjikan bagaimana pembangunan karakter Celo dengan latar belakang keluarga serta atmosfer kampung halamannya mampu memberikan harapan jikalau film ini bergulir dengan sangat menyenangkan serta menghibur sepanjang film. Hal tersebut diperkuat dengan kemunculan karakter Babe dan pertemuannya dengan Celo yang akhirnya membentuk sebuah chemistry kuat dengan karakternya masing-masing. Celo dengan kekuatan dialek Papua-nya serta keluguannya dan Babe dengan ceplas-ceplosnya. Konsistensi karakter inilah membuat setiap Celo-Babe saling tektok  melempar dialog dan becandaan dengan mudah mampu mengundang tawa dari penonton.

Dengan performa menawan dari duet Celo-Babe serta cerita yang punya potensi mengundang tawa di paruh awal film, membuat film ini diharapkan menyuguhkan hiburan yang fresh dan mengundang tawa penonton terus menerus sepanjang film. Namun, harapan tinggallah harapan. Menginjak paruh kedua film, tepatnya saat petualangan Celo-Babe bersetting di Jakarta, tensi humor-pun menurun dan film terasa menjemukan. Hal ini dikarenakan penceritaan film yang melebar serta banyaknya karakter pendamping turut ambil peran namun tidak dibarengi dengan skrip yang kuat. Hasilnya, hampir berantakan. Walau diakui masih dapat terhibur dibeberapa bagian, namun kegaringan yang disuguhkan dalam Epen Cupen The Movie memang tak bisa dipungkiri. Para karakter yang muncul di paruh kedua film pun tampil seadanya dan hanya sedikit memberikan hiburan. Mereka tak lebih dari fasilitator kelucuan Celo-Babe dan siap dilupakan begitu saja oleh penonton. Film ini masih beruntung memiliki duet Celo-Babe dimana mereka tampil konsisten dalam melucu dan punya chemistry kuat sehingga film ini tak jadi film komedi yang tidak komedi sama sekali.

Klemens Awi dan Babe Cabita sukses menjadi bintang di film ini serta menjawab tanggung jawab mereka sebagai aktor utama. Yang unik dari mereka adalah bagaimana mereka terasa sepenuh hati melakoni karakter mereka masing-masing dengan gaya komedinya masing-masing. Walau jauh berbeda gayanya, keduanya tak saling timpang-tindih apalagi menonjol sendiri, keduanya saling bersinergi dan menghasilkan sebuah dialog serta adegan yang sangat menghibur. Duet Celo-Babe yang dibangun sangat baik membuat setiap tingkah laku mereka menjadi lucu, bahkan setiap adegan yang melibatkan mereka berpotensi untuk lucu dan seakan penonton sudah siap-siap untuk dibuat tertawa tiap kali mereka ada dilayar. Bahkan mereka diam dan memasang wajah datar pun penonton tetap bisa tertawa. Namun apa yang diberikan Klemens Awi-Babe Cabita terhadap film ini tidak sebanding dengan apa yang karakter lain perbuat kepada Epen Cupen The Movie. Sebenarnya tak perlu diragukan lagi potensi yang dimiliki oleh Edward Gunawan serta Marissa Nasution melihat jam terbang mereka di perfilman Indonesia. Tapi apa yang disuguhkan mereka adalah sebuah akting yang kaku, canggung dan seadanya saja. Karakter yang mereka mainkan jadi tak berkesan apa-apa, ketika dilibatkan untuk memainkan adegan berkonten komedipun hasilnya malah garing dan basi. Sepertinya mereka siap hanya sebagai pelengkap cerita dalam Epen Cupen The Movie lalu dilupakan begitu saja. Dan yang paling disesalkan adalah beberapa komedian yang terlibat tapi tidak dimaksimalkan dengan baik untuk mengundang tawa penonton. Penampilan Temon dan Fico tak lebih seperti figuran biasa yang sebenarnya bukan komedian-pun bisa memerankan karakter mereka. Terlebih Fico, comic seangkatan dengan Babe Cabita dalam Stand Up Comedy tak berdaya dalam film ini. Penampilannya kelewat serius dan menyia-nyiakan potensi yang dimilikinya. Ada adegan dimana Fico punya ruang cukup lama untuk melontarkan lawakannya serta ajang untuk unjuk kebolehan namun tidak dimaksimalkan dengan baik dan hasilnya sebuah lawakan yang garing dan sudah basi untuk sebuah film komedi.

Rentetan adegan aksi dalam film ini tak bisa dibilang mengecewakan namun tak juga istimewa. Efek serta tone warna saat adegan aksi berlangsung mengingatkan penonton akan film Comic 8. Beberapa adegan aksi sukses memamerkan spesial efek mereka serta tentu saja menghibur. Dan yang paling juara adalah aksi kejar-kejaran menggunakan bajaj yang tidak hanya seru namun juga mudah mengundang tawa penonton. Namun, beberapa adegan aksi bukannya semakin menguatkan sisi komedi dalam film ini malah jatuhnya jadi lebay. Adegan petarungan akbar antara dua geng besar menjelang akhir film seharusnya menjadi adengan aksi pamungkas dan klimaks dari film ini malah terlihat seperti anak-anak bocah main perang-perangan di lapangan kosong. Komedinya garing dan tidak ada gregetnya. Malah terkesan dalam penggarapan adegan ini dilakukan main-main karena sudah terlanjur terjebak dalam suasana komedi di lokasi syuting. Adegan yang semestinya punya potensi bagus sebagai adegan paling pamungkas dimana ada lawakan super gila dan rentetan aksi yang intense disia-siakan begitu saja. Amat disayangkan padahal sudah didukung dengan spesial efek yang lumayan baik.


Namun begitu, melalui Epen Cupen The Movie bisa dikatakan Irham Acho Bachtiar naik level dari segi kualitas dibanding film sebelumnya. Niat untuk mengangkat budaya daerah bernama mop Papua didampingi dengan lawakan yang sedang naik daun bernama stand up comedy bisa dikatakan berhasil dan menyuguhkan tontonan yang menghibur. Epen Cupen The Movie memberikan sebuah kolaborasi unik dari duet menawan bernama Celo dan Babe yang mampu memberikan nyawa sepanjang film dan menjadi juru selamat film ini dari kegaringan dan becandaan basi. Terlepas dari konsistensi penceritaan dan karakter pendukung yang tampil seadanya. Epen Cupen The Movie mampu memberikan tontonan yang cukup menghibur serta memberikan nuansa baru dalam genre film komedi Indonesia. Duet Celo-Babe masih sangat potensial untuk diberi kesempatan lanjut ke film selanjutnya dan bisa jadi seri film dengan duet komedian yang besar. Dengan catatan penggarapannya lebih maksimal dan harus jauh lebih baik dari yang sekarang. Agar film yang disuguhkan tak seperti hubungan cinta anak ABG, awalnya terlihat baik dan menjanjikan, namun kelamaan jadi membosankan dan mudah dilupakan. 

Jumat, 08 Mei 2015

(Review Short Film) How To Make A Perfect X’Mas Eve : A Perfect Traumatic To Make a Perfect X’Mas Eve





Dengan judul yang mengandung kalimat A Perfect X’mas Eve, How To Make A Perfect X’Mas Eve (HTMAPXE) jauh dari bayangan malam Natal sempurna yang ada dibenak penonton. Film ini tidak menggambarkan sebuah perayaan malam Natal selayaknya manusia normal yang penuh cinta kasih dan aroma kekeluargaan yang hangat.  Namun disitulah menariknya, HTMAPXE layaknya sebuah tutorial bagaimana membuat malam Natal yang tidak biasa dan lebih “berkesan”. Sebuah malam Natal sempurna dengan perspektif berbeda dari single lady bernama Gella Kuncoro.

HTMAPXE berkisah tentang Gella Kuncoro (Aimee Saras), perempuan muda yang membuat sebuah video tutorial tentang cara membuat malam Natal yang sempurna (dan beda dari biasanya tentu saja). Diawali dengan sosok Gella yang penuh semangat bersiap untuk memaparkan step demi step cara menghidangkan santapan malam Natal didepan kamera dan kemudian adeganpun berpindah dimana Gella merayakan malam Natal “romantis” berdua dengan seorang pria. Siapa sangka, dibalik penampilan manis berbalut dengan dress merah yang membuatnya terlihat anggun nan ayu, Gella memberikan kejutan istimewa untuk sang pria berupa adegan ranjang ala bondage yang tentu saja panas. Sudah dipastikan, ini menjadi malam Natal yang sempurna bagi Gella dan tentu saja tak terlupakan serta penuh surprise bagi si pria “beruntung” tersebut. Saat adegan demi adegan dimana Gella dan pria-nya berinteraksi, memori-memori kelam Gella saat perayaan malam Natal dengan keluarganya di masa kecil pun muncul dan memberikan sebuah trauma psikologis bagi Gella yang mana pengalaman pahit ini sangat berkontribusi membentuk karakter Gella seperti sekarang dan arah pandangnya untuk menikmati malam Natal.

Menurut plot dan latar pengisahannya, ada tiga plot cerita yang membangun HTMAPXE. Pertama, kisah cinta satu malam antara Gella dan pria bule beserta adengan ranjangnya. Kedua, masa kecil Gella yang kelam saat malam Natal bersama keluarganya dimana perlakuan KDRT ayah Gella yang keras terhadap istrinya dan apa yang terjadi malam tersebut memberikan trauma tersendiri dan mengubah arah pandang Gella terhadap malam Natal dan lelaki. Plot pertama dan kedua disuguhkan secara cut to cut bergantian, seakan bertabrakan namun di-blend dengan rapih dan mudah dinikmati. Dan hasil dari plot pertama dan kedua sukses membangun plot ketiga yang berupa tutorial memasak dengan sangat baik walau agak distrubing. Tanpa kontruksi menarik dari plot pertama dan kedua, plot tutorial ini akan terasa biasa saja. Dampak nyata dari gabungan baik plot pertama dan kedua adalah plot ketiga dalam film ini menjadi klimaks yang pas dan elegan serta punya rasa lebih yang akan membuat penonton terganggu (In a good way) karena latar kisahnya. Dan yang menarik adalah bagaimana ketiga plot yang ada di HTMAPXE disuguhkan dalam durasi 11 menit. Sebuah film yang efektif, padat, dan tahu bagaimana durasi yang singkat dapat dimanfaatkan dengan baik.

Monica Vanesa Tedja, sutradara dari HTMAPXE tahu betul bagaimana bermain-main dengan malam Natal dan menuangkannya dalam bentuk visual. Beberapa orang pasti masih teringat dengan adegan makan malam keluarga saat malam Natal di film Pintu Terlarang. Dengan tema yang sama, HTMAPXE memberikan kisah yang berbeda namun rasa yang sama, ngeri dan nyeri. HTMAPXE adalah film thriller yang mampu memanfaatkan atmosfer dan kekuatan naskah dengan baik. Walau tak ada adegan slasher berdarah-darah yang terlihat dengan frontal (namun ada adegan anggota tubuh yang dipotong dan diperlihatkan secara gamblang), HTMAPXE punya atmosfer yang mampu membuat penonton tetap merasakan kengerian. Penggunaan musik latar yang membuat aroma-aroma thriller semakin terasa dan mencekam. Sebagai contoh adegan awal yang secara visual terlihat seorang gadis cantik bergaya depan kamera membuka sebuah tutorial namun dengan iringan musik yang terdengar thriller sekali membuat penonton bergumam, “pasti ada yang ga beres abis ini!”. Penggunaan lagu-lagu khas Natal pun dalam film ini dimanfaatkan dengan baik sebagai pendukung atmosfer dalam film ini. Terutama gubahan lagu Natal saat credit title bergulir, lagu Natal yang populer pun jadi sekelam Glommy Sunday.

Selain disokong dengan skenario yang baik, HTMAPXE juga terfasilitasi dengan teknis yang baik pula. Dari sisi sinematografi, kerja keras sang DOP, Hizkia Christian mampu menghasilkan gambar-gambar cantik dalam HTMAPXE. Beberapa adegan memang diambil dengan pergerakan kamera yang statis seakan hasil rekaman dari karakter Gella. Namun, gambar yang dihasilkan memiliki komposisi yang cantik dan mampu mewakili keseluruhan adegan sehingga tidak ada gambar yang miss atau atau sekedar footage seadanya. Hasil eksplorasi berupa shot dan angle dari sang DOP bisa dikatakan sukses dan membuat film ini terasa unggul dari segi teknis. Bidikan kamera yang dihasilkan pun terasa lezat, selezat masakan Gella (Bagi teman setipenya tentu saja). Editing dari Gamaliel Tapiheru pun bekerja dengan baik terutama pada paruh pertama film. Sang editor mampu mencampurkan adengan masa lalu dan masa kini dengan baik dan tidak terasa memusingkan walau dengan pace yang cenderung cepat. Yang membedakan scene masa lalu dan masa kini Gella adalah penggunaan tone warna. Pada masa kini warnanya tegas dan pada masa lalu warnanya agak senja. Tak ada tumpang tindih antara dua scene berbeda waktu tersebut walau kesannya saling bertabrakan.

Dan ada yang salah bila tak membahas penampilan sang primadona dalam film ini, Gella Kuncoro yang diperankan oleh Aimee Saras. Dalam ajang XXI Short Film Festival 2013, selain HTMAPXE ada satu film lain yang pemeran utamanya Aimee Saras yaitu Merindu Mantan karya Andri Cung dan Aimee Saras sama-sama tampil bagus dikedua film tersebut. Perempuan yang memiliki suara merdu kala menyanyikan lagu It’s Was June ini apabila dalam Merindu Mantan memerankan sosok wanita galau nan kelabu yang dirudung sedih , di HTMAPXE tampil sebagai wanita yang aktif, talkactive, dan gahar dibalik sikapnya yang anggun didepan pria incarannya. Kesamaan dua karakter Aimee Saras di film HTMAPXE dan Merindu Mantan adalah sama-sama korban disakiti hatinya oleh pria dan menggunakan cara tak wajar dalam pelampiasannya. Dalam merindu mantan sosok Aimee Saras merupakan korban sakit hati dari playboy kampung, di HTMAPXE wanita cantik ini korban dari KDRT yang dilakukan oleh ayahnya. Kesimpulannya adalah jangan pernah menyakiti hati perempuan, apalagi Aimee Saras. Aimee Saras mampu memerankan sosok Gella yang seperti sangat menikmati hidup dan friendly di balik sosok mengerikan yang ada didalam dirinya. Puncak performanya bukan saat adegan ranjang, melainkan saat adegan tutorial diparuh terakhir. Mampu menyelaraskan gesture tubuh dan akting menawan dengan intonasi suara yang jelas dan tegas serat dibumbui dark comedy sebagai bumbu adegan tutorial dengan bahan-bahan hasil buruan sendiri ini. Hasilnya, sebuah tontonan campur –aduk dimana penonton sebenarnya dibuat ngilu namun tidak lupa untuk terhibur. HTMAPXE semakin membuktikan bahwa Aimee Saras punya kualitas acting yang baik bahkan cenderung diatas rata-rata.

Dapat disimpulkan bahwa HTMAPXE adalah sebuah film pendek thriller yang mampu menyuguhkan keseluruhan cerita dengan efektif dan tepat sasaran. Didukung dengan naskah yang baik,kepiawaian dari  segi penyutradaraan, dan segi teknis seperti sinematografi, editing, hingga art department yang bekerja dengan maksimal membuat HTMAPXE terasa lezat selezat masakan yang dinikmati oleh Gella da kawan-kawannya di malam Natal sempurnanya. Tak berlebihan bila HTMAPXE terpilih menjadi film pendek terpilih versi IDFC (Indonesian Film Director Club) pada ajang XXI Short Film Festival 2013.




Catatan : Perlu diingat, jangan lukai perasaan Aimee Saras…

Jumat, 24 April 2015

(Review Short Film) Love Paper : Lika Liku percintaan dalam karya Eksperimental



Semua manusia pasti pernah merasakan cinta dan punya cerita serta pengalaman cinta masing-masing. Dari sekian banyak ekspresi serta cerita yang diciptakan dari segala keserbamungkinan yang bida dibuat oleh cinta, tak sedikit yang merasakan pengalaman “Manis diawal, asam dibelakang”. Awalnya menjalin cinta, sepasang sejoli saling memahami satu sama lain baik dan buruknya, plus dan minusnya. Bahkan penggalan lirik “All of me love all of you” yang dikutip dari lagu “All of Me” milik John Legend sangat mewakili apa yang mereka rasakan, apa yang mereka sebenarnya sedang toleransikan. Namun seiring berjalannya waktu dan seringnya bertemu, manis itupun perlahan memudar. Tingkat toleransi dan saling memahami-pun perlahan luntur. Dan segala janji pada awal hubungan tinggallah janji. Demikian sedikit yang setidaknya ingin dituturkan oleh “Love Paper”. Sebuah film pendek yang menggunakan cara yang cukup unik dalam menuturkan maknanya.

“LovePaper” berkisah tentang sepasang suami istri yang menjalani hubungan mereka dimana masa-masa manisnya cinta sudah mulai memudar. Diperlihatkan bagaimana mereka sudah mulai tak saling memahami serta tak saling toleransi lagi satu sama lain. Kepekaan antara mereka-pun meluntur terlihat dari tidak memahami keadaan pasangan masing-masing dan mulai hilangnya respect antara mereka. “Love Paper” merupakan love story dimana Kisahnya terasa umum namun cukup menyentil kehidupan dalam hubungan dewasa. Menyindir bahwa hubungan yang tidak lagi dilandaskan kepedulian satu sama lain akan berujung sebagai bencana.

Apabila “Love Paper” digarap dengan konsep film fiksi naratif seperti film pendek pada umunya, mungkin dengan tema yang seperti demikian akan terlihat biasa saja dan tidak begitu istimewa, namun film yang disutradarai Bambang “Ipoenk” KM  menjadi beda karena disajikan dengan cara yang unik serta beraroma eksperimental. “Love Paper” dihidangkan dengan menggunakan tehnik “Stop Motion” dimana setiap adegannya yang terasa patah-patah merupakan jahitan antara setiap frame yang membuat film ini jadi lebih artistik. Setiap pergerakan gambar satu ke gambar lain dimana stop motion bekerja semakin menekankan ekspresi serta gimmick yang terbentuk dari dua pelakon dalam “Love Paper”. Hasilnya setiap gerakan dan adegan jadi lebih terasa mendalam dan penontonpun lebih merasakan setiap gerakan dan detil yang disuguhkan dalam film ini.

Selain teknik yang digunakan yang mana bisa dibilang unik tentu saja yang paling terlihat mencolok dalam “Love Paper” adalah bagaimana production design bekerja dengan baik untuk mendukung setting dalam film ini. Penonton akan disuguhkan bagaimana niatnya kerja Art Director bernama Deki “Peyank” Yudhanto serta tim artistiknya menghidupkan setting yang mayoritas dibuat dari kertas koran. Semua properti hingga kostum dalam “Love Paper” dibuat (atau beberapa dilapisi) oleh kertas koran mulai dari kursi, televisi, peralatan dapur dan sebagainya. Tak hanya berupa benda, hal-hal mendetil seperti air dan api dalam film ini pun menggunakan kertas yang membuat film ini terasa konsistensinya.

Tentu saja penggunaan kertas yang menjadi mayoritas dalam film ini bukan tanpa maksud dan hanya gaya-gayaan biar terlihat “artsy”namun memiliki makna yang mendukung cerita dalam “Love Paper”. Filosofi kertas yang digunakan dalam “Love Paper” merupakan semiotika dari tempat segala mimpi dan harapan dituangkan. Pada awal menjalin hubungan banyak mimpi hingga gombalan tertulis disana. Hingga berjalannya waktu segala harapan itupun memenuhi kehidupan kita dan perlahanan harapan itupun dikhianati oleh sang pembuatnya. Ketika sumpah cinta itupun dilanggar dan tak semanis kala membuatnya, akan ada cat hitam “memblok” pernyataan mereka dan menutup segala impian serta cita-cita mereka, bahkan cinta mereka pun bisa ikut tertutupi oleh cat hitam tersebut. Kurang lebih begitu. Cukup menarik bagaimana cara “Love Story” memaparkan salah satu kenyataan dalam cinta.

“Love Paper” mampu menampilkan suguhan yang menarik tak lepas dari sinergi yang baik dari sutradara dan kedua pemainnya, yang diperankan oleh Nindya Paramitha dan Riva Aulia Rais. “Love Paper” mampu mengekspresikan setiap gimmick, ekspresi wajah, gesture tubuh dengan sangat baik setiap part-part adegannya. Dengan didukung dengan setting tempat yang unik, menjadikan setiap adegan dalam “Love Paper” begitu memikat. Satu hal lagi yang menarik dalam “Love Paper” ialah penggunaan gumaman sebagai bahasa. Hal ini tentu saja pilihan yang tepat dikarenakan menjadikan bahasa dalam “Love Paper” menjadi universal dan mudah dimengerti oleh penontonnya yang bukan hanya dari negera alanya yaitu Indonesia, tentu saja memudahkan untuk penonton dari negara lain. Kembali lagi ekspresi yang ditunjukkan oleh para pemain “Love Paper” mendukung setiap gumaman yang mereka lontarkan.


Selebihnya dengan durasi yang cenderung pendek sekitar 9 menit, “Love Paper” menyuguhkan tontonan menarik serta mampu menyinggung sebuah hubungan dewasa. Dalam satu sisi penonton akan terpukau bagaimana tehnik yang unik didukung dengan setting dan production design yang terbilang niat, disisi lain ada kenyataan cinta yang kadang sering ditemukan di kehidupan sehari-hari. Unik dan Kreatif mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang tersaji dalam “Love Paper”.

Senin, 20 April 2015

(Review Short Film) Barbie : Like Mother Like Daughter


Sejak awal film pendek “Barbie” bergulir, penonton akan disuguhkan dengan penampilan seorang gadis kecil kira-kira masih duduk di bangku kelas 1 SD bersama dua orang teman sebayanya dimana mereka berdandan ala perempuan socialita ibukota. Selebihnya penonton akan menyaksikan bagaimana pola tingkah ketika gadis belia tersebut berlaku layaknya sudah dewasa mulai dari cara berpakaian, make-up, cara dan kosakata berbicara hingga melakukan hal-hal “hebring” khas ibu-ibu muda gaul seperti makan cocktail, pamer baju mewahnya hingga tentu saja gosip dengan teman sejawatnya. Melalui ketiga pola tingkah “bocah tua” inilah ada pesan yang ingin disampaikan “Barbie” kepada penontonnya.

Selama 8 menit durasi film “Barbie”, jujur saya merasa film ini “annoying”. Merasa terganggu disini bukan karena kualitas film, segi teknis, akting atau apalah namun lebih kepada kenyataan yang dipaparkan dalam “Barbie”.Penonton disuguhkan penampilan gadis belia dengan cara berpakaian, cara bicara, hingga perilaku yang belum pantas mengingat umur mereka yang masih amat sangat muda. Hal ini terjadi karena si anak mulai mencontohkan apa yang dilakukan oleh orangtua mereka dan menjadikannya sebagai pedoman atau bahkan pencapaian hidup.  “Barbie” memperlihatkan bagaimana anak-anak akan menjadi korban dari gaya hidup (atau pilihan jalan hidup)orangtuanya. Ada pepatah terkenal “Like father like son” atau pada film ini bisa disesuaikan dengan “Like mother like daughter”. Pepatah tersebut pas untuk mendeskripsikan apa yang coba diangkat oleh “Barbie”, perilaku orang tua yang secara tidak langsung mengilhami anaknya yang masih lugu dan menumbuhkan obsesi untuk mengikuti jejak langkah orangtuanya. Kalau itu hal yang baik tentu sangat baik untuk anak kedepannya, namun bila hal ini hal yang buruk?. “Barbie” coba mengkritisi bagaimana pendidikan moral berawal dari lingkungan keluarga dan setiap orangtua harus sadar betul apa yang mereka lakukan demi menjaga perkembangan moral anak kejalur yang benar.
Saya kira bukan hanya saya yang merasa “terganggu” akan visualisasi penampilan karakter anak-anak dalam “Barbie”. Penampilan menor dengan make-up serta berpakaian yang cenderung “sexy” dan cara bicara yang belum pantas diutarakan anak seusianya cukup membuat saya mengelus dada. Walau tidak ditonjolkan dengan vulgar namun “Barbie” coba menyindir bagaimana orangtua modern ini memakaikan anak-anak mereka pakaian-pakaian yang sebenernya tidak terlalu pantas untuk anak seumuran mereka. Bagaimana kalian melihat anak-anak kecil dengan pakaian-pakaian layaknya yang ditampilkan dalam “Barbie” ? melihatnya wajar karena terlihat lucu atau miris?. Ada makna tersirat yang penonton dapat sebagai orang tua agar lebih bijak lagi terhadap apa-apa yang berurusan dengan anak mereka agar tak terjadi hal yang tidak diinginkan kedepannya.

Rembulan Sekarjati, sutradara yang menyutradarai film “Barbie” mampu memvisualisasikan kehidupan kaum sosialita yang dibawakan oleh anak-anak dengan penuh warna layaknya menonton film kartun Barbie. Didukung dengan skenario yang kuat serta dialog yang mengalir dan khas dengan gaya hidup kaum ibu-ibu sosialita membuat “Barbie” begitu renyah dinikmati. Plot yang disuguhkan pun menarik dan mampu mengecoh penonton dengan twist dipertengahan film. Dengan durasi yang terhitung pendek, “Barbie” mampu dengan efektif menyampaikan pesan yang terkandung dalam filmnya. Cerita yang menarik ini didukung dengan tata sinematografi yang cantik dari Sesarina Puspita. Sesarina mampu mengcapture segala bentuk keglamoran dan hedonitas yang ingin ditunjukkan dalam “Barbie” dengan ciamik dengan tatanan warna-warna mencolok seperti yang ditemui dalam film-film Barbie.

Film “Barbie” tak lepas dari penampilan menawan dari tiga anak perempuan yang tampil sebagai tokoh utama dalam film ini. Mereka sukses memerankan tokoh yang perilakunya jauh diatas umur mereka. Celotehannya, gaya bicara, hingga gesture tubuh menyerupai ibu-ibu muda sosialita yang sedang asik dengan teman sejawatnya. Didukung dengan make-up dan property yang ada semakin memperkuat karakter yang sedang dibawakan. Walau ada beberapa bagian dimana mereka terlihat kaku dan ada dialog yang terasa dipaksakan dan diulang-ulang sepeti “wahh.. bagus banget” tapi semua itu tertutupi dengan penampilan baik mereka. Credit lebih diberikan kepada production design dalam film “Barbie” terutama tim artistik dan make-up. Tim artistik mampu menghidupkan setting yang glamour khas ibu-ibu sosialita seperti saat cocktail party, atau deretan barang mewah dan parfume sehingga menghidupkan suasana dan mendukung cerita yang disajikan. Make-up dalam film ini juga bisa dibilang total dilihat dari apa yang telah mereka lakukan terhadap karakter ketiga anak kecil tersebut. Karakter Gladys dkk yang masih bocah disulap layaknya kaum hedon berumur 20tahunan. Make-up yang juara didukung denga pemilihan dress yang sesuai dan semakin memperkuat karakter dalam film “Barbie”. Mungkin karena sutradaranya perempuan jadi punya taste yang tepat dalam penggarapan film yang visualisasinya perempuan banget ini.


Overall, “Barbie” menyuguhkan tontonan yang menarik sarat dengan sindirian dalam kehidupan modern. Menyinggung tentang sosialita dan hedonitas yang menjangkit para orangtua dimana mungkin saja anak-anak mereka ikut mencontoh bahkan mengganggap itu sebagai panutan. “Barbie” menampar realita yang ada agar para orang tua lebih bijak dalam berperilaku.