Selasa, 03 Maret 2015

Review Short Film "Power/ Ranger" : Sebuah Tribute Kelam Jagoan Idola Anak 90'an



Bagi mereka yang besar tahun 90’an pasti pernah mengenal atau bahkan mengidolakan group hero (bukan group idol) bernama Power Ranger. Bahkan saat kecil kita (terutama saya) sesekali terlibat pertengkaran kecil sesama teman sebaya dikarenakan hal yang sepele, berebut untuk jadi Power Ranger merah. Power Ranger digambarkan sekumpulan remaja terpilih yang menggunakan kostum keren dengan warna-warna yang berbeda (Biasanya merah, biru, hijau, kuning, dan pink) dilengkapi dengan senjata yang super keren dan memiliki masing-masing robot atau kendaraan raksasa yang nantinya bisa bergabung menjadi satu untuk melawan monster yang biasanya menggunakan jurus atau ramuan di ambang-ambang kekalahannya untuk menjadi raksasa. Power Ranger pun banyak serinay mulai dari Power Ranger Mighty Morphin, Power Ranger in Space, Power Ranger SPD, dan sebagainya. Di Indonesia, anak-anak penggemar Power Ranger disuguhkan kisah-kisah jagoan mereka setiap minggu pagi di salah satu TV swasta, namun kini Power Ranger sudah lama tak muncul di layar TV digantikan acara musik lalalayeyeye atau FTV cinta-cintaan dengan judul aneh seperti kepincut cinta supir UFO atau Cintaku di kandang Godzilla.

Seperti mengobati kerinduan, film pendek bertajuk Power/Ranger muncul di Internet melalui Youtube dan Vimeo. Adalah Joseph Khan, seorang videographer yang sering menggarap video klip dari artis ternama seperti Taylor Swift, Britney Spears, dan 50 Cent  yang menjadi otak dalam penggarapan film pendek tribute untuk Power Ranger bersama kawannya yang berlaku sebagai produser, Adi Shankar. Film pendek yang rilis pertama kali tanggal 23 Februari ini telah ditonton lebih dari 12 juta penonton di Youtube yang merupakan bukti jika Power Ranger masih sangat dirindukan oleh penggemarnya, apalagi yang sudah tidak sabar menunggu Power Ranger the Movie yang rencananya akan rilis tahun 2016.



Power/Ranger tak seperti seri-seri Power Ranger yang cocok untuk anak-anak. Joseph Khan membawa film pendek ini kedalam penceritaan yang lebih kelam dan dewasa disertai beberapa adegan kekerasan dan nude yang tidak cocok untuk anak-anak. Film berdurasi sekitar 15 menit ini, diawali dengan adegan peperangan antara Power Ranger dengan musuhnya yang terlihat seperti megazord atau Alien. Peperangan ini terlihat habis-habisan terlihat dari topeng Ranger merah yang sudah hancur dan tergeletak ditanah. Cerita berlanjut jauh setelah peperangan tersebut dan para Ranger beranjak dari remaja menjadi dewasa. Terlihat sang Ranger Pink, Kimberly sedang diintrogasi oleh Rocky, Ranger merah yang menggantikan posisi Jason. Rocky yang kini ada dipihak alien serta salah satu kakinya harus digantikan dengan kaki robot ini menanyakan keberadaan Tommy, Ranger hijau kepada Kimberly. Setelahnya penonton disuguhkan kehidupan pribadi para Ranger serta rentetan kematian misterius yang menimpa mereka. Seperti ada yang memburu para jagoan kita ini.

Perlu diingat, Power/Ranger adalah film pendek Fan Made hasil ciptaan Joseph Khan yang didasari dari imajinasi penciptanya. Mengingat film pendek ini sebuah tribute buatan fans, jadi sah-sah saja apabila terasa melenceng dari originalnya dan dibuat lebih kelam serta menimbulkan pro dan kontra, senang tidak senang bagi penonton terlebih bagi penggemar berat Power Ranger. Joseph Khan menyuguhkan sebuah kisah mengenai kemana dan bagaimana pahlawan kita setelah cukup lama menghilang. Bagaimana para Ranger saat dewasa didunia yang dibuat oleh Joseph Khan. Sah-sah saja apabila Jason sang Ranger merah menikah dengan Kimberly si Ranger Pink lalu tewas dibunuh didalam mobil 8 jam setelah menikah. Kisah ini adalah versi Joseph Khan sebagai creator dibalik Power/Ranger.

Joseph Khan menyuguhkan visual yang sangat cantik disertai efek yang sangat memanjakan mata. Digarap dengan budget yang tak besar tak membuat film pendek ini terasa murahan. Efek yang ditampilkan tak kalah dengan film-film superhero layar lebar seperti film-film keluaran Marvel Studio. Bahkan film pendek ini bisa dijadikan standar untuk film layar lebar official dari Power Ranger pada tahun 2016 nanti baik dari segi efek maupun penceritaan. Power/Ranger disuguhkan dengan sisi  dark dalam penceritaan didukung visual yang kelam dan alur Thriller yang cukup mencekam serta menimbulkan tanda tanya besar apa yang sebenarnya terjadi didunia Power Ranger ini, dan tentu saja ada twist yang cukup memorable bagi kalangan penonton seri Power Ranger terdahulu.


Film pendek Power/Ranger pun tak lolos dari pro kontra. Saban Entertaiment yang merupakan pemegang lisensi dari Power Ranger murka terhadap film pendek besutan Joseph dan Adi ini hingga mengancam untuk memblokir film pendek ini di Youtube dan Vimeo. Ketidaksukaan juga keluar dari mulut Jason David Frank, pemeran Ranger hijau di seri Power Ranger dikarenakan Power/Ranger mengandung kekerasan, kata-kata kotor, serta obat-obatan yang tak layak untuk anak-anak. Terlepas dari itu semua, kita masih patut mengapresiasikan apa yang telah dibuat oleh Joseph dan teman-temannya sebagai bukti kecintaannya terhadap Power Ranger. Joseph menganggap ini adalah salah satu bentuk kebebasan berkarya dan tidak mencopot satu materipun milik Saban Entertaiment. Kembali lagi Fan made itu sah sah saja sebagai bentuk kecintaan terhadap suatu hal namun memang harus dipertanggungjawabkan semua yang terkandung didalam karya fan made yang dibuatnya.


Minggu, 01 Maret 2015

My Childhood vol. 1






Review Cahaya Dari Timur : Beta Maluku


Setelah 4 tahun selepas merilis “Hari Untuk Amanda” pada tahun 2010, sutradara Angga Dwimas Sasongko kini kembali hadir dengan film terbarunya yang berjudul “Cahaya Dari Timur : Beta Maluku”.  Ni Beta Maluku merupakan film pertama dari rangkaian seri Cahaya Dari Timur yang mengangkat kisah-kisah inspiratif dari Indonesia Timur.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku mengangkat kisah nyata dari kehidupan Sani Tawainella (Chicco Jericho) seorang mantan pemain sepak bola asal Tulehu, Ambon yang sempat mewakili Indonesia pada Piala Pelajar Asia tahun 2016 namun gagal dalam seleksi PSSI Baretti. Kegagalan menjadi pemain sepakbola professional membuatnya pulang kampung dan menjadi tukang ojek untuk menghidupi keluarganya. Pada saat konflik Maluku pecah awal tahun 2000-an, Sani mengumpulkan anak-anak Tulehu untuk berlatih sepak bola dengan tujuan menghindari anak-anak tersebut dari konflik. Ditengah segala kekurangan serta problematika ekonomi dan keluarga yang dialami Sani, Sani berhasil membangun tim yang  menjadi kebanggan Tulehu dengan mampu mewakili Maluku dalam kejuaran Nasional U-15 2006 di Jakarta.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku sepintas memang film bertemakan sepakbola, namun ditelisik lebih kedalam, film ini mengangkat isu sosial dan budaya yang terjadi di Negri Maluku. Seperti halnya sisa-sisa konflik Maluku yang secara tidak langsung mempengaruhi psikologi anak Tulehu yang menjadi Rasis terhadap agama lain hingga akhirnya dipersatukan dengan sepakbola. Film ini melampirkan pesan perdamaian antar umat beragama, tidak hanya untuk di Tulehu, tapi untuk semua manusia.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku tidak terperangkap pada kebiasaan film-film sejenis yang pemeran utamanya datang bak pahlawan lalu mengubah nasib beberapa orang dan ditampilkan sempurna tanpa cacat layaknya dewa. Dalam film ini penonton akan disuguhkan sosok Sani Tawainella yang seperti manusia biasa yang sesekali mengalami kegagalan. Penonton akan ikut merasakan kegetiran Sani yang telah sayang terhadap anak-anak didiknya namun terus ditekan oleh himpitan ekonomi dan keluarganya. Sosok Sani tidak terjebak dalam heroisme berlebihan. Penuturan tahap demi tahap perjuangan Sani mengajarkan penonton bahwa siapapun bisa membawa perubahan baik bagi lingkungannya.

Pengalaman adalah guru terbaik, pepatah tersebut tepat disematkan kepada M. Irfan Ramli, scriptwriter dari Cahaya Dari Timur. Merasakan sendiri masa-masa konflik Maluku membuat naskah skenario yang dibuat bersama Swastika Nohara begitu dekat dengan kejadian nyata serta setting tempatnya. Detail-detail adegan seperti kebiasaan-kebiasaan orang Tulehu serta logat aslinya terasa sepanjang film. Yang paling terasa adalah sepanjang film hampir mayoritas menggunakan bahasa Melayu Tulehu asli beserta logat khasnya. Tentu saja hal ini merupakan nilai plus untuk film ini. Lebih baik menggunakan bahasa asli dan menggunakan subtitle agar terasa lebih natural disbanding harus meninggalkan bahasa setting tempatnya dengan menggunakan bahasa Indonesia agar (niatnya) menambah nilai komersial yang malah menurunkan kualitas dari film tersebut.


Penampilan seluruh pemain dalam film ini patut diberikan apresiasi baik. Baik artis ibukota yang diboyong dari Jakarta sampai “Rising Star” anak-anak asli Maluku melakukan penampilan yang baik sehingga terasa seperti orang Tulehu sesungguhnya. Penampilan Chicco Jericho sebagai Sani Tawainella mampu menarik perhatian penonton. Lupakan Chicco yang selalu terlihat mulus dan selalu bersih dengan pakaian necis wara-wiri di televisi, melalui debut pertamanya didunia film, Chicco mampu menunjukan bahwa dia memang aktor yang layak untuk bermain film. Penonton tidak akan merasa melihat Chicco, namun Sani. Chicco mampu memberikan kenangan manis didebut nya didunia film. Penampilan pemain lain seperti Shafira Umn, Jajang C. Noer, Glenn Fredly, Serta Ridho “Slank” semuanya bermain baik sesuai dengan posisinya. Terlebih Ridho “Slank” yang aktingnya mampu diatas rata-rata, aktingnya sama baiknya seperti saat sedang bermain gitar di Slank, terasa hidup dan menjiwai. Dan jangan lupakan penampilan anak-anak asli Maluku yang mampu mencuri perhatian dalam debut mereka. Berpenampilan baik sebagai anak-anak Tulehu dengan tidak merasa minder dengan actor-aktor senior yang beradu acting dengan mereka.

Melalui Cahaya Dari Timur, Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara menjadikan sebagai batu loncatan ke level baru dalam pengalaman berkaryanya. Apabila dalam “Hari Untuk Amanda” hanya men-direct dengan cast yang tak begitu banyak, dalam film ini Angga harus menangani film yang lebih besar dan tentu saja lebih complex. Menangani film ini sebagai sutradara dan produser tentu saja membuat Angga harus menangani film ini dari A sampai Z sehingga film ini lebih emosional untuknya. Hasilnya, sebuah sajian yang terasa sepenuhnya dari hati untuk para penonton. Sinematografi yang patut diacungi jempol terutama moment-moment penting saat pertandingan sepak bola yang begitu menarik dan begitu dramatisir. Serta tak lupa untuk meng-capture pemandangan indah Tulehu. Apabila “Laskar Pelangi” mampu mempromosikan Belitong dan “5cm” dengan Mahameru-nya, Cahaya dari Timur mampu menampilkan pesona Tulehu dengan bauk. Terutama Pantai-nya yang bersih dan begitu biru.


Secara keseluruhan, Cahaya Dari Timur merupakan tontonan bergizi bagi masyarakat Indonesia yang selama ini “terpaksa” disuguhkan oleh film dengan muatan “polusi”. Memberikan kisah inspiratif yang dengan membumi  serta didukung dengan sisi teknis seperti directing, penampilan para cast, serta cerita yang mumpuni membuat Cahay Dari Timur seperti film dengan komposisi yang hampir sempurna. Tidak melebihkan, namun saat menonton film ini banyak moment yang begitu menggetarkan bahkan membuat campur aduk perasaan. Tak percaya? Rasakan moment-moment akhir dalam film ini. Bisa saya katakan bahwa moment terakhir dalam film ini adalah salah satu moment terakhir terbaik selama saya menonton film dibioskop. Film yang begitu berkesan dan inspiratif. Dengan harga tiket bioskop yang dibeli penonton mendapat tontonan menghibur sekaligus inspiratif. Menandakan awal dari seri Cahay Dari Timur, sangat diharapkan agar seri selanjutnya memiliki kualitas yang sama atau bahkan lebih baik. Indonesia butuh film seperti ini. Punya muatan Edukatif.

Review : Malam Minggu Miko Movie (2014)


Dalam dua tahun terakhir, Setidaknya Raditya Dika, sosok fenomenal dikalangan anak muda, telah menelurkan 5 film yang berdasarkan ide-ide kreatifnya baik dari adaptasi novel atau web-series yang dia buat. Belum lama rasanya penonton film Indonesia disuguhi dengan karya penyutradaraan perdananya dalam “Marmut Merah Jambu”, bulan September ini, kisah Miko kembali diangkat ke layar lebar dengan judul “Malam Minggu Miko Movie”
Malam Minggu Miko Movie merupakan film yang diangkat dari Webseries dan TV series berjudul Malam Minggu Miko yang disutradari, ditulis, dan diperankan sendiri oleh Raditya Dika. Webseries Malam Minggu Miko sendiri meraih “The Most Popular Show” dalam ajang “Internet Video Stars 2013” dan sudah mencapai 52 episode yang ditonton oleh lebih dari 1 juta penonton. Raihan yang baik tersebut sudah menjadi modal bagus untuk mengangkat kisah Miko dan malam minggu “nestapanya” tersebut kedalam medium film. Terlebih film pertama “Miko” yang rilis tahun lalu, “Cinta Dalam Kardus” bisa dikatakan berhasil baik dari segi kualitas film maupun dari raihan jumlah penonton.

Malam Minggu Miko Movie bercerita mengenai tiga tokoh utama dalam film ini, Miko (Raditya Dika), Dovi (Andovi DaLopez), serta Anca (Hadian Saputra). Miko kembali bertemu dengan sahabatnya, Ryan (Ryan Adriandhy) yang mengabarkan kalo dia mendapat mimpi bahwa Miko  dikutuk oleh seseorang saat masih SMP melalui tulisan misterius di bagian belakang jas laboratorium miliknya yang membuat dia selalu gagal dalam mendapatkan pasangan. Bersama Ryan, Miko menelusuri beberapa teman SMPnya guna menghapus kutukan yang selama ini menimpanya. Dovi, mahasiswa senior yang sok pintar harus mengemban tugas khusus agar bisa lulus dari mata kuliah yang membuatnya mengulang hingga 5kali. Tugas khusus tersebut adalah mendampingi tiga mahasiswa tamu dari luar negeri yaitu Alexandra dari Polandia, Suzuki dari Jepang, dan Mamadi dari Gambia berkeliling Jakarta dan membuktikan bahwa dia mampu mengerjakan tugas ini dengn baik. Dan ada Anca, pembantu rumah tangga Miko harus melewati ujian demi ujian yang diberikan oleh kedua orangtua Anca agar dapat menikahi kekasihnya, Atik.

Bila dilihat dari raihan jumlah penonton, nama Raditya Dika bisa dikatakan laris dan mampu menarik jumlah penonton (terutama ABG dan fans-nya) yang cukup banyak. Hal ini tentu saja tak disia-siakan oleh Dika. Memanfaatkan aji mumpung, dalam waktu berdekatan Dika merilis film-filmnya yang hampir semuanya memiliki garis cerita yang sama, kisah tokoh yang diperankan Dika dengan lika-liku kehidupan cintanya. Dika menyadari betul pasar anak muda Indonesia, sebuah komedi ringan dibumbui kisah cinta ala remaja. Hasilnya, film-film Dika selalu Laris dipasaran.
Dalam Malam Minggu Miko Movie, Dika berperan penuh dalam penggarapan filmnya. Mungkin sebagai pemeran utama tak cukup baginya, dia juga duduk di kursi sutradara dan penulis skenario Malam Minggu Miko. Tentu saja Dika punya kuasa penuh dalam Malam Minggu Miko Movie dan paling bertanggung jawab dengan mau dibawa kemana film ini. Malam Minggu Miko merupakan film kedua Dika duduk di kursi penyutradaraan. Bila melihat karya penyutradaraan perdananya, Marmut Merah Jambu, Dika bisa dikatakan cukup berbakat dalam menggarap kisah yang diangkat dari novel buatannya sendiri ini. Mungkin, dalam Marmut Merah Jambu, Dika tak mengambil banyak porsi bermain dalam filmnya. Dalam Malam Minggu Miko, Dika lebih banyak berakting dibanding saat di Marmut Merah Jambu, hasilnya beberapa adegan terasa tidak fokus dan ada beberapa plot hole. Ditambah humor yang disajikan dalam Malam Minggu Miko Movie terasa monoton dan kurang ada inovasi baru dari Dika. Mungkin selera humor saya yang buruk atau gimana, namun setelah mengikuti semua film Raditya Dika, humor yang ditawarkan ya berputar pada itu-itu saja dan kurang berkembang. Dari segi ceritanya pun ada beberapa yang terasa lebay dan dipaksakan. Apa mungkin ke-lebay-an yang ada dalam Malam Minggu Miko Movie memang kesengajaan dari Raditya Dika. Tapi jelas bukannya memancing tawa, malah membuat penonton mengernyitkan dahi.
Malam Minggu Miko Movie cukup setia dengan webseriesnya. Selain tentu saja jajaran karakter yang diboyong ke dalam filmnya baik dari season pertama maupun season kedua, setting waktu yang melatar-belakangi Malam Minggu Miko Movie berlangsung dalam waktu satu hari satu malam (yang tentu saja terjadi saat hari sabtu dan malam minggu). Ketiga karakter utama “berpetualang” dalam urusannya masing-masing dalam kurun waktu yang bersamaan dan dalam beberapa moment mereka dipertemukan.Gaya editing cut-to-cut dengan pace yang cepat serta gaya pengambilan gambarnya pun hampir mirip dengan webseriesnya.

Ya harus diakui, kisah Miko kali ini kualitasnya dibawah dari Cinta Dalam Kardus (mungkin karena tidak ada campur tangan Salman Aristo kali ini). Film berdurasi 90 menit ini diawali dengan cukup menarik namun semakin film bergulir, Malam Minggu Miko Movie terasa flat dan pelan-pelan melepas perhatian penonton. Beberapa “penyegaran” yang diselipkan dari munculnya cameo serta lawakannya pun ya hanya berlalu begitu saja. Hanya Arie Kiting yang mampu mencuri perhatian sebagai dukun pribadi dari beberapa cameo yang kebanyakan selebtweet atau comic (stand-up comedian) seperti Liongky Tan dan Bayang becabita. Peran mereka sayang sekali kurang di explore lagi padahal masih mereka punya potensi lebih. Hal menarik perhatian dari Malam Minggu Miko Movie adalah Penempatan dan penyampaian sponsor yang terbilang unik walau sedikit maksa, namun menarik dan cukup mengundang tawa.


Selebihnya Malam Minggu Miko membuktikan eksistensi Raditya Dika dalam dunia komedi modern melalui media film, namun Raditya Dika harus melakukan evaluasi lagi untuk karyanya kedepan dan tidak terlena dengan raihan jumlah penonton yang tidak dipungkiri karya-karya Dika sudah berlabel “Pasti Laku”. Jadi ingat sebuah pernyataan salah satu sutradara Indonesia dalam suatu obrolan dengan saya belum lama ini, “kalo filmnya sudah pasti laku, kenapa pas buat ngga ngeluarin duit “lebih” lalu buat film yang lebih niat dan besar?”  mungkin pernyataan ini bisa direnungkan oleh rumah produksi yang menggarap film Raditya Dika selanjutnya , untuk memberikan perhatian lebih dari segi kualitas filmnya, tidak hanya memikirkan uang. Ya walaupun tak dipungkiri keuntungan besar dari film adalah hal yang dibutuhkan agar industri terus berjalan.