Sejak awal film pendek “Barbie” bergulir, penonton akan
disuguhkan dengan penampilan seorang gadis kecil kira-kira masih duduk di
bangku kelas 1 SD bersama dua orang teman sebayanya dimana mereka berdandan ala
perempuan socialita ibukota. Selebihnya penonton akan menyaksikan bagaimana
pola tingkah ketika gadis belia tersebut berlaku layaknya sudah dewasa mulai
dari cara berpakaian, make-up, cara dan kosakata berbicara hingga melakukan
hal-hal “hebring” khas ibu-ibu muda gaul seperti makan cocktail, pamer baju
mewahnya hingga tentu saja gosip dengan teman sejawatnya. Melalui ketiga pola
tingkah “bocah tua” inilah ada pesan yang ingin disampaikan “Barbie” kepada
penontonnya.
Selama 8 menit durasi film “Barbie”, jujur saya merasa film
ini “annoying”. Merasa terganggu disini bukan karena kualitas film, segi
teknis, akting atau apalah namun lebih kepada kenyataan yang dipaparkan dalam
“Barbie”.Penonton disuguhkan penampilan gadis belia dengan cara berpakaian,
cara bicara, hingga perilaku yang belum pantas mengingat umur mereka yang masih
amat sangat muda. Hal ini terjadi karena si anak mulai mencontohkan apa yang
dilakukan oleh orangtua mereka dan menjadikannya sebagai pedoman atau bahkan
pencapaian hidup. “Barbie”
memperlihatkan bagaimana anak-anak akan menjadi korban dari gaya hidup (atau
pilihan jalan hidup)orangtuanya. Ada pepatah terkenal “Like father like son”
atau pada film ini bisa disesuaikan dengan “Like mother like daughter”. Pepatah
tersebut pas untuk mendeskripsikan apa yang coba diangkat oleh “Barbie”,
perilaku orang tua yang secara tidak langsung mengilhami anaknya yang masih
lugu dan menumbuhkan obsesi untuk mengikuti jejak langkah orangtuanya. Kalau
itu hal yang baik tentu sangat baik untuk anak kedepannya, namun bila hal ini
hal yang buruk?. “Barbie” coba mengkritisi bagaimana pendidikan moral berawal
dari lingkungan keluarga dan setiap orangtua harus sadar betul apa yang mereka
lakukan demi menjaga perkembangan moral anak kejalur yang benar.
Saya kira bukan hanya saya yang merasa “terganggu” akan
visualisasi penampilan karakter anak-anak dalam “Barbie”. Penampilan menor
dengan make-up serta berpakaian yang cenderung “sexy” dan cara bicara yang
belum pantas diutarakan anak seusianya cukup membuat saya mengelus dada. Walau
tidak ditonjolkan dengan vulgar namun “Barbie” coba menyindir bagaimana
orangtua modern ini memakaikan anak-anak mereka pakaian-pakaian yang sebenernya
tidak terlalu pantas untuk anak seumuran mereka. Bagaimana kalian melihat
anak-anak kecil dengan pakaian-pakaian layaknya yang ditampilkan dalam “Barbie”
? melihatnya wajar karena terlihat lucu atau miris?. Ada makna tersirat yang
penonton dapat sebagai orang tua agar lebih bijak lagi terhadap apa-apa yang
berurusan dengan anak mereka agar tak terjadi hal yang tidak diinginkan
kedepannya.
Rembulan Sekarjati, sutradara yang menyutradarai film “Barbie”
mampu memvisualisasikan kehidupan kaum sosialita yang dibawakan oleh anak-anak
dengan penuh warna layaknya menonton film kartun Barbie. Didukung dengan skenario
yang kuat serta dialog yang mengalir dan khas dengan gaya hidup kaum ibu-ibu
sosialita membuat “Barbie” begitu renyah dinikmati. Plot yang disuguhkan pun menarik
dan mampu mengecoh penonton dengan twist dipertengahan film. Dengan durasi yang
terhitung pendek, “Barbie” mampu dengan efektif menyampaikan pesan yang
terkandung dalam filmnya. Cerita yang menarik ini didukung dengan tata sinematografi
yang cantik dari Sesarina Puspita. Sesarina mampu mengcapture segala bentuk
keglamoran dan hedonitas yang ingin ditunjukkan dalam “Barbie” dengan ciamik dengan
tatanan warna-warna mencolok seperti yang ditemui dalam film-film Barbie.
Film “Barbie” tak lepas dari penampilan menawan dari tiga
anak perempuan yang tampil sebagai tokoh utama dalam film ini. Mereka sukses
memerankan tokoh yang perilakunya jauh diatas umur mereka. Celotehannya, gaya
bicara, hingga gesture tubuh menyerupai ibu-ibu muda sosialita yang sedang asik
dengan teman sejawatnya. Didukung dengan make-up dan property yang ada semakin
memperkuat karakter yang sedang dibawakan. Walau ada beberapa bagian dimana
mereka terlihat kaku dan ada dialog yang terasa dipaksakan dan diulang-ulang
sepeti “wahh.. bagus banget” tapi semua itu tertutupi dengan penampilan baik
mereka. Credit lebih diberikan kepada production design dalam film “Barbie”
terutama tim artistik dan make-up. Tim artistik mampu menghidupkan setting yang
glamour khas ibu-ibu sosialita seperti saat cocktail party, atau deretan barang
mewah dan parfume sehingga menghidupkan suasana dan mendukung cerita yang
disajikan. Make-up dalam film ini juga bisa dibilang total dilihat dari apa
yang telah mereka lakukan terhadap karakter ketiga anak kecil tersebut.
Karakter Gladys dkk yang masih bocah disulap layaknya kaum hedon berumur
20tahunan. Make-up yang juara didukung denga pemilihan dress yang sesuai dan
semakin memperkuat karakter dalam film “Barbie”. Mungkin karena sutradaranya
perempuan jadi punya taste yang tepat dalam penggarapan film yang
visualisasinya perempuan banget ini.
Overall, “Barbie” menyuguhkan tontonan yang menarik sarat
dengan sindirian dalam kehidupan modern. Menyinggung tentang sosialita dan
hedonitas yang menjangkit para orangtua dimana mungkin saja anak-anak mereka
ikut mencontoh bahkan mengganggap itu sebagai panutan. “Barbie” menampar
realita yang ada agar para orang tua lebih bijak dalam berperilaku.
Anapoker Satu-satu nya situs poker online terpercaya yang menyediakan cara deposit via PULSA, DANA, GOPAY, LINKaja, OVO, dan banyak cara deposit lainnya
BalasHapusAnapoker Juga mempermudah permainan Via Komputer, PC & Android Di manapun dan kapanpun..
Contact Untuk Info & Pendaftaran Anapoker
Whatsapp : 0852 2255 5128
Line ID : agenS1288
Telegram : agenS128
Kunjungi Situs Games Online Uang Asli Terpercaya Lainnya :
link alternatif sbobet
sbobet alternatif
login sbobet
link sbobet
sabung ayam online
adu ayam
casino online
sabung ayam bangkok
ayam laga birma
poker deposit pulsa
deposit pulsa poker
deposit pulsa
deposit pulsa
deposit pulsa