Bila ditanya “Siapa superhero lokal yang anda kenal?” untuk
mereka yang besar tahun 70 hingga 90an atau minimal seumuran saya mungkin
dengan (agak) mudah menjawab Gundala Putra Petir, Gatot Kaca, atau Si Buta dari
Goa Hantu. Namun bila ditanya kepada anak kecil era sekarang apakah mereka bisa
menjawab? Kalaupun mereka bisa menjawab perbandingannya lebih sedikit dibanding
yang tidak. Atau bahkan mereka akan menjawab Bima Satria Garuda, sosok
superhero yang rajin menghiasi layar kaca tiap minggu pagi , memang diperankan
oleh orang Indonesia dan settingnya juga Indonesia namun Bima Satria Garuda
terlalu banyak Influence dari tokokatsu Jepang. Saat ini anak-anak jauh
mengenal bahkan mengidolakan sosok superhero mancanegara layaknya tokoh-tokoh karakter Marvel dan DC Comic yang
jelas telah punya nama besar seperti Ironman, Superman, Batman, dan konco-konconya.
Jelas terjadi semacam fenomena budaya yang merisaukan karena salah satu warisan
budaya lokal di “bidang” superhero mulai tergerus dan bahkan kalah jauh dengan
produk import Hollywood. Kira-kira itulah yang ingin disampaikan dalam “Gundah
Gundala”.
“Gundah Gundala” menyinggung keserbamungkinan apabila benar
invasi oleh superhero “import” macam Ironman, menyingkirkan serta merebut lahan pekerjaan superhero lokal.
Sebuah kisah fiktif yang di angkat serealis mungkin namun dengan perspektif
subyektif dan sederhana. Dikisahkan Syahdan, seorang superhero lokal yang
pernah tenar di eranya bernama Gundala Putra Petir mengutarakan ke gudahannya sembari
curhat colongan dengan seorang pria berambut gondrong di warung kopi mengenai
dirinya yang harus menjadi pengangguran karena kalah saing dengan superhero
luar negeri. Sepanjang film akan disuguhkan obrolan serta curahan hati Gundala
dengan pria gondrong yang menyinggung tentang dunia superhero lokal saat ini
mulai dari nasib superhero lokal pasca masuknya superhero import hingga
pemerintah yang seakan “welcome” dengan superhero luar (Bisa dilihat dari
wacana dikoran bahwa Iron Man akan dinaturalisasi).
Duduk sebagai sutradara sekaligus otak dibalik “Gundah
Gundala”, Wimar Hendarto dengan cermat mengangkat nasib superhero lokal dengan
simple,menghibur, namun sangat menyentil. Dengan durasi 8 menit, “Gundah Gundala” tak perlu efek
gila-gilaan atau budget super untuk menjadikannya sebagai film superhero yang
berkesan. Kepedulian terhadap budaya lokal yang mulai tergerus oleh budaya
asing dengan kemungkinan-kemungkinan fiktif yang ditampilkan seperti nasib para
superhero lokal sebagai contoh Aquanus yang menjadi Wiraswasta musiman atau
Godam si manusia besi yang menjadi tukang tambal ban. Menggelitik namun sarat
kritik dan tentu saja menampar realita. Dengan dialog yang renyah, mengalir,
serta lucu, “Gundah Gundala” mencoba membuka mata penonton dengan cara yang
menghibur namun miris hingga akhirnya membuat penonton peduli terhadap
eksistensi warisan budaya lokal dibidang superhero.
Tehnik yang digunakan dalam penggarapan “Gundah Gundala”pun
dapat dibilang sederhana. Mayoritas film mengandalkan dialog-dialog bernada
guyon yang cerdas namun menyindir dari kedua pemeran utamanya. Penampilannya
tak neko-neko, sederhana khas obrolan di warung kopi. Visualisasinya pun biasa
saja, tak ada colour grading yang bermaksud membuat film ini lebih “Artsy”, eksplorasi
pengambilan gambar yang khas film pendek biasanya atau tidak ada pula efek efek
gila-gilaan hingga sampai penggunaan CGI layaknya mayoritas film superhero.
Semua sederhana namun tepat sasaran. Makna yang disampaikan dalam film ini kena
ke penonton. Ringan, sederhana, menghibur, namun mendalam pantas disematkan ke “Gundah
Gundala”.
Bila disangkutpautkan antara superhero lokal dengan indutri
perfilman nasional, bisa dikatakan jumlah film bertema superhero di perfilman Indonesia
dalam kurun waktu tahun 90an hingga sekarang jumlahnya sangat sangat sangat
tidak sebanding dengan film superhero yang masuk kesini bahkan jumlahnya dapat
dihitung dengan jari. Pada tahun 70-80an, genre superhero lokal mampu
menelurkan beberapa karya, sebut saja “Rama Superman Indonesia” karya Frans
Totok Ars pada tahun 1974 serta “Gundala
Putra Petir” besutan Lilik Sudjio pada tahun 1981. Pada awal tahun 2015, “Garuda
Superhero” muncul sebagai superhero lokal baru dengan menggunakan format CGI
dalam penyuguhannya. Terlepas dari beberapa kritik diantaranya cerita yang
terlalu banyak influence dari superhero luar, karakter superhero yang kurang
berkesan dan terasa mirip dengan Batman dicampur dengan tokokatsu Jepang hingga
penggunaan CGI yang setengah hati, “Garuda” berani mengangkat kembali genre
superhero dalam negeri. Namun kembali lagi, jumlah film superhero amatlah
sedikit bahkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan Negeri tetangga, Malaysia
yang jumlah film superhero-nya lebih banyak bahkan ada yang menjadi franchaise
salah satunya Cicak Man. Kondisi ini tentu saja harus disadari oleh sineas film
Indonesia untuk ambil andil dalam menjaga eksistensi film superhero Indonesia
mengingat masih banyak superhero lokal yang belum terjamah dan butuh “uluran
tangan” para filmaker Indonesia.
Tak dipungkiri, produser film lokal rada enggan untuk
menggarap film superhero lokal. Perlu diakui bahwa film superhero punya standar
sendiri agar bisa menempati ruang di hati penontonnya. Film superhero modern
ini haruslah mempunyai cerita yang menarik, karakter yang mudah disukai, dan
tentu saja sokongan dana besar untuk mewujudkan hal-hal gila didunia superhero
dengan special effect canggih yang tentu saja tidak murah. Untuk hal yang
terakhir ini bisa dikatakan sangat sulit untuk kondisi perfilman Nasional.
Alasan akan sulit balik modal karena kondisi penonton film akan minat terhadap
film lokal dan alasan lainnya tak dipungkiri menjadi bahan pertimbangan
produser serta investor film untuk menggarap film superhero lokal. Ditengah
kondisi seperti ini, secercah harapan muncul ketika “Gundala Putra Petir”
direncanakan akan diproduksi kembali untuk layar lebar dengan Hanung Bramantyo
yang duduk dikursi sutradara dan direncanakan rilis 2016 nanti. Semoga hal
tersebut mampu membangkitkan film-film bertemakan superhero di perfilman Nasional.
Dibalik penyajian “Gundah Gundala” yang penuh guyonan nan
menghibur serta ilustrasi menarik mengenai sisi lain dampak invasi superhero
asing terhadap superhero lokal, ada makna serta harapan yang secara gamblang
ingin disampaikan. “Gundah Gundala” mengajak penonton untuk lebih sadar akan
potensi warisan budaya bernama superhero lokal dan membantu eksistensi mereka.
Tak dipungkiri bahwa superhero lokalpun tak kalah menarik dan keren bila
digarap dengan tepat. Perlu perhatian lebih dari setiap lapisan masyarakat
mulai dari pemerintah, orang-orang di dunia kreatif, filmaker hingga masyarakat
umum untuk menghidupkan kembali gairah dan membangkitkan para manusia super
untuk hidup lagi dan menunjukkan kemampuan mereka di ranah superhero. Tentu
saja kita mendambakan Godam atau Gatot Kaca adu kuat secara sengit dengan
Superman merebut hati penggemar superhero minimal di negeri sendiri. Atau
pembuktian bahwa “Petir” Gundala lebih mengkilat dibanding Thor bagi penonton
film Indonesia. Semoga saja.
Anapoker Satu-satu nya situs poker online terpercaya yang menyediakan cara deposit via PULSA, DANA, GOPAY, LINKaja, OVO, dan banyak cara deposit lainnya
BalasHapusAnapoker Juga mempermudah permainan Via Komputer, PC & Android Di manapun dan kapanpun..
Contact Untuk Info & Pendaftaran Anapoker
Whatsapp : 0852 2255 5128
Line ID : agenS1288
Telegram : agenS128
Kunjungi Situs Games Online Uang Asli Terpercaya Lainnya :
link alternatif sbobet
sbobet alternatif
login sbobet
link sbobet
sabung ayam online
adu ayam
casino online
sabung ayam bangkok
ayam laga birma
poker deposit pulsa
deposit pulsa poker
deposit pulsa
deposit pulsa
deposit pulsa