Jumat, 24 April 2015

(Review Short Film) Love Paper : Lika Liku percintaan dalam karya Eksperimental



Semua manusia pasti pernah merasakan cinta dan punya cerita serta pengalaman cinta masing-masing. Dari sekian banyak ekspresi serta cerita yang diciptakan dari segala keserbamungkinan yang bida dibuat oleh cinta, tak sedikit yang merasakan pengalaman “Manis diawal, asam dibelakang”. Awalnya menjalin cinta, sepasang sejoli saling memahami satu sama lain baik dan buruknya, plus dan minusnya. Bahkan penggalan lirik “All of me love all of you” yang dikutip dari lagu “All of Me” milik John Legend sangat mewakili apa yang mereka rasakan, apa yang mereka sebenarnya sedang toleransikan. Namun seiring berjalannya waktu dan seringnya bertemu, manis itupun perlahan memudar. Tingkat toleransi dan saling memahami-pun perlahan luntur. Dan segala janji pada awal hubungan tinggallah janji. Demikian sedikit yang setidaknya ingin dituturkan oleh “Love Paper”. Sebuah film pendek yang menggunakan cara yang cukup unik dalam menuturkan maknanya.

“LovePaper” berkisah tentang sepasang suami istri yang menjalani hubungan mereka dimana masa-masa manisnya cinta sudah mulai memudar. Diperlihatkan bagaimana mereka sudah mulai tak saling memahami serta tak saling toleransi lagi satu sama lain. Kepekaan antara mereka-pun meluntur terlihat dari tidak memahami keadaan pasangan masing-masing dan mulai hilangnya respect antara mereka. “Love Paper” merupakan love story dimana Kisahnya terasa umum namun cukup menyentil kehidupan dalam hubungan dewasa. Menyindir bahwa hubungan yang tidak lagi dilandaskan kepedulian satu sama lain akan berujung sebagai bencana.

Apabila “Love Paper” digarap dengan konsep film fiksi naratif seperti film pendek pada umunya, mungkin dengan tema yang seperti demikian akan terlihat biasa saja dan tidak begitu istimewa, namun film yang disutradarai Bambang “Ipoenk” KM  menjadi beda karena disajikan dengan cara yang unik serta beraroma eksperimental. “Love Paper” dihidangkan dengan menggunakan tehnik “Stop Motion” dimana setiap adegannya yang terasa patah-patah merupakan jahitan antara setiap frame yang membuat film ini jadi lebih artistik. Setiap pergerakan gambar satu ke gambar lain dimana stop motion bekerja semakin menekankan ekspresi serta gimmick yang terbentuk dari dua pelakon dalam “Love Paper”. Hasilnya setiap gerakan dan adegan jadi lebih terasa mendalam dan penontonpun lebih merasakan setiap gerakan dan detil yang disuguhkan dalam film ini.

Selain teknik yang digunakan yang mana bisa dibilang unik tentu saja yang paling terlihat mencolok dalam “Love Paper” adalah bagaimana production design bekerja dengan baik untuk mendukung setting dalam film ini. Penonton akan disuguhkan bagaimana niatnya kerja Art Director bernama Deki “Peyank” Yudhanto serta tim artistiknya menghidupkan setting yang mayoritas dibuat dari kertas koran. Semua properti hingga kostum dalam “Love Paper” dibuat (atau beberapa dilapisi) oleh kertas koran mulai dari kursi, televisi, peralatan dapur dan sebagainya. Tak hanya berupa benda, hal-hal mendetil seperti air dan api dalam film ini pun menggunakan kertas yang membuat film ini terasa konsistensinya.

Tentu saja penggunaan kertas yang menjadi mayoritas dalam film ini bukan tanpa maksud dan hanya gaya-gayaan biar terlihat “artsy”namun memiliki makna yang mendukung cerita dalam “Love Paper”. Filosofi kertas yang digunakan dalam “Love Paper” merupakan semiotika dari tempat segala mimpi dan harapan dituangkan. Pada awal menjalin hubungan banyak mimpi hingga gombalan tertulis disana. Hingga berjalannya waktu segala harapan itupun memenuhi kehidupan kita dan perlahanan harapan itupun dikhianati oleh sang pembuatnya. Ketika sumpah cinta itupun dilanggar dan tak semanis kala membuatnya, akan ada cat hitam “memblok” pernyataan mereka dan menutup segala impian serta cita-cita mereka, bahkan cinta mereka pun bisa ikut tertutupi oleh cat hitam tersebut. Kurang lebih begitu. Cukup menarik bagaimana cara “Love Story” memaparkan salah satu kenyataan dalam cinta.

“Love Paper” mampu menampilkan suguhan yang menarik tak lepas dari sinergi yang baik dari sutradara dan kedua pemainnya, yang diperankan oleh Nindya Paramitha dan Riva Aulia Rais. “Love Paper” mampu mengekspresikan setiap gimmick, ekspresi wajah, gesture tubuh dengan sangat baik setiap part-part adegannya. Dengan didukung dengan setting tempat yang unik, menjadikan setiap adegan dalam “Love Paper” begitu memikat. Satu hal lagi yang menarik dalam “Love Paper” ialah penggunaan gumaman sebagai bahasa. Hal ini tentu saja pilihan yang tepat dikarenakan menjadikan bahasa dalam “Love Paper” menjadi universal dan mudah dimengerti oleh penontonnya yang bukan hanya dari negera alanya yaitu Indonesia, tentu saja memudahkan untuk penonton dari negara lain. Kembali lagi ekspresi yang ditunjukkan oleh para pemain “Love Paper” mendukung setiap gumaman yang mereka lontarkan.


Selebihnya dengan durasi yang cenderung pendek sekitar 9 menit, “Love Paper” menyuguhkan tontonan menarik serta mampu menyinggung sebuah hubungan dewasa. Dalam satu sisi penonton akan terpukau bagaimana tehnik yang unik didukung dengan setting dan production design yang terbilang niat, disisi lain ada kenyataan cinta yang kadang sering ditemukan di kehidupan sehari-hari. Unik dan Kreatif mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang tersaji dalam “Love Paper”.

Senin, 20 April 2015

(Review Short Film) Barbie : Like Mother Like Daughter


Sejak awal film pendek “Barbie” bergulir, penonton akan disuguhkan dengan penampilan seorang gadis kecil kira-kira masih duduk di bangku kelas 1 SD bersama dua orang teman sebayanya dimana mereka berdandan ala perempuan socialita ibukota. Selebihnya penonton akan menyaksikan bagaimana pola tingkah ketika gadis belia tersebut berlaku layaknya sudah dewasa mulai dari cara berpakaian, make-up, cara dan kosakata berbicara hingga melakukan hal-hal “hebring” khas ibu-ibu muda gaul seperti makan cocktail, pamer baju mewahnya hingga tentu saja gosip dengan teman sejawatnya. Melalui ketiga pola tingkah “bocah tua” inilah ada pesan yang ingin disampaikan “Barbie” kepada penontonnya.

Selama 8 menit durasi film “Barbie”, jujur saya merasa film ini “annoying”. Merasa terganggu disini bukan karena kualitas film, segi teknis, akting atau apalah namun lebih kepada kenyataan yang dipaparkan dalam “Barbie”.Penonton disuguhkan penampilan gadis belia dengan cara berpakaian, cara bicara, hingga perilaku yang belum pantas mengingat umur mereka yang masih amat sangat muda. Hal ini terjadi karena si anak mulai mencontohkan apa yang dilakukan oleh orangtua mereka dan menjadikannya sebagai pedoman atau bahkan pencapaian hidup.  “Barbie” memperlihatkan bagaimana anak-anak akan menjadi korban dari gaya hidup (atau pilihan jalan hidup)orangtuanya. Ada pepatah terkenal “Like father like son” atau pada film ini bisa disesuaikan dengan “Like mother like daughter”. Pepatah tersebut pas untuk mendeskripsikan apa yang coba diangkat oleh “Barbie”, perilaku orang tua yang secara tidak langsung mengilhami anaknya yang masih lugu dan menumbuhkan obsesi untuk mengikuti jejak langkah orangtuanya. Kalau itu hal yang baik tentu sangat baik untuk anak kedepannya, namun bila hal ini hal yang buruk?. “Barbie” coba mengkritisi bagaimana pendidikan moral berawal dari lingkungan keluarga dan setiap orangtua harus sadar betul apa yang mereka lakukan demi menjaga perkembangan moral anak kejalur yang benar.
Saya kira bukan hanya saya yang merasa “terganggu” akan visualisasi penampilan karakter anak-anak dalam “Barbie”. Penampilan menor dengan make-up serta berpakaian yang cenderung “sexy” dan cara bicara yang belum pantas diutarakan anak seusianya cukup membuat saya mengelus dada. Walau tidak ditonjolkan dengan vulgar namun “Barbie” coba menyindir bagaimana orangtua modern ini memakaikan anak-anak mereka pakaian-pakaian yang sebenernya tidak terlalu pantas untuk anak seumuran mereka. Bagaimana kalian melihat anak-anak kecil dengan pakaian-pakaian layaknya yang ditampilkan dalam “Barbie” ? melihatnya wajar karena terlihat lucu atau miris?. Ada makna tersirat yang penonton dapat sebagai orang tua agar lebih bijak lagi terhadap apa-apa yang berurusan dengan anak mereka agar tak terjadi hal yang tidak diinginkan kedepannya.

Rembulan Sekarjati, sutradara yang menyutradarai film “Barbie” mampu memvisualisasikan kehidupan kaum sosialita yang dibawakan oleh anak-anak dengan penuh warna layaknya menonton film kartun Barbie. Didukung dengan skenario yang kuat serta dialog yang mengalir dan khas dengan gaya hidup kaum ibu-ibu sosialita membuat “Barbie” begitu renyah dinikmati. Plot yang disuguhkan pun menarik dan mampu mengecoh penonton dengan twist dipertengahan film. Dengan durasi yang terhitung pendek, “Barbie” mampu dengan efektif menyampaikan pesan yang terkandung dalam filmnya. Cerita yang menarik ini didukung dengan tata sinematografi yang cantik dari Sesarina Puspita. Sesarina mampu mengcapture segala bentuk keglamoran dan hedonitas yang ingin ditunjukkan dalam “Barbie” dengan ciamik dengan tatanan warna-warna mencolok seperti yang ditemui dalam film-film Barbie.

Film “Barbie” tak lepas dari penampilan menawan dari tiga anak perempuan yang tampil sebagai tokoh utama dalam film ini. Mereka sukses memerankan tokoh yang perilakunya jauh diatas umur mereka. Celotehannya, gaya bicara, hingga gesture tubuh menyerupai ibu-ibu muda sosialita yang sedang asik dengan teman sejawatnya. Didukung dengan make-up dan property yang ada semakin memperkuat karakter yang sedang dibawakan. Walau ada beberapa bagian dimana mereka terlihat kaku dan ada dialog yang terasa dipaksakan dan diulang-ulang sepeti “wahh.. bagus banget” tapi semua itu tertutupi dengan penampilan baik mereka. Credit lebih diberikan kepada production design dalam film “Barbie” terutama tim artistik dan make-up. Tim artistik mampu menghidupkan setting yang glamour khas ibu-ibu sosialita seperti saat cocktail party, atau deretan barang mewah dan parfume sehingga menghidupkan suasana dan mendukung cerita yang disajikan. Make-up dalam film ini juga bisa dibilang total dilihat dari apa yang telah mereka lakukan terhadap karakter ketiga anak kecil tersebut. Karakter Gladys dkk yang masih bocah disulap layaknya kaum hedon berumur 20tahunan. Make-up yang juara didukung denga pemilihan dress yang sesuai dan semakin memperkuat karakter dalam film “Barbie”. Mungkin karena sutradaranya perempuan jadi punya taste yang tepat dalam penggarapan film yang visualisasinya perempuan banget ini.


Overall, “Barbie” menyuguhkan tontonan yang menarik sarat dengan sindirian dalam kehidupan modern. Menyinggung tentang sosialita dan hedonitas yang menjangkit para orangtua dimana mungkin saja anak-anak mereka ikut mencontoh bahkan mengganggap itu sebagai panutan. “Barbie” menampar realita yang ada agar para orang tua lebih bijak dalam berperilaku.


Rabu, 15 April 2015

(Review Short Film) Merindu Mantan : The Scariest Effect of Broken Heart





Apabila mendengar kata “merindu mantan” sontak yang terlintas adalah kegalauan yang sekarang seakan menjadi “musim” dikalangan remaja. Perasaan dimana hati terasa perih dan tentu saja menyakitkan ini di ekspresikan secara beragam dan yang lagi hits saat ini adalah dalam bentuk meme. Banyak sekali meme-meme lucu yang mengangkat isu tentang kegalauan atas mantan kekasih seakan tak ada habisnya bahan untuk mengeksploitasi kegalauan akan mantan. Hasilnya selalu menghibur dan ada saja hal yang baru dan lucu muncul seakan menyindir dengan cara yang menghibur pembacanya dan terasa dekat dengan yang pernah dialami. Dan bila berpikiran bahwa film pendek “Merindu Mantan” akan sama lucu dan menghibur layaknya meme-meme tentang mantan, buang jauh pikiran tersebut karena kalian salah besar.

“Merindu Mantan” berkisah tentang Asih (Aimee Saras) seorang gadis desa yang hatinya rapuh karena dikhianati oleh mantan kekasihnya, Joni (Rangga Djoned) yang divisualisasikan sebagai playboy kampung. Perlahan namun pasti, Asih menyuguhkan kegalauan yang begitu besar yang menuntunnya ke sisi gelap dan mistis dalam dirinya dan memutuskan untuk menyantet mantan kekasihnya sebagai “kenang-kenangan” perpisahan mereka.

 Adalah Andri Cung, sutradara muda dibalik film pendek “Merindu Mantan”. Setelah sukses dengan film pendek “Payung Merah” yang diganjar sebagai Best  Asian Short Film, Screen Singapore pada tahun 2010, Andri Cung kembali menggarap film pendek bergenre thriller namun kali ini ada bumbu-bumbu mistis yang sangat Indonesia sekali didalamnya. “Merindu Mantan”  dipondasi dengan skenario yang ditulis oleh Ve Handojo yang sebelumnya pernah bekerja sama dengan Andri Cung dalam film “Payung Merah”. Berkat pengalaman menulis skenario-skenario film yang mampu membangkitkan bulu kuduk penonton contohnya pada trilogy Kuntilanak, Ve Handojo sudah punya modal kuat dalam mengangkat salah satu “warisan budaya” di dunia mistis kedalam format film pendek. Pengalaman dan “taste” yang dimiliki oleh Andri Cung ditambah dengan skenario kuat dari Ve Handojo serta didukung dengan aspek teknis lainnya menghasilkan sebuah suguhan yang berbobot dan tentu saja sukses membuat penonton merinding ngeri dibuatnya.

Tak diragukan, dunia persantetan haruslah bangga diadaptasi dalam format film pendek sekelas “Merindu Mantan”. Dengan durasi 10 menit, “Merindu Mantan” mampu membuat atmosfer mengerikan sejak awal film bergulir. Didukung dengan skenario matang dari Ve Handojo, Andri Cung mampu memvisualisasikan “Merindu Mantan” dengan baik. Segi teknis seperti sinematografi yang menawan dan tentu saja production design yang sangat mendukung atmosfer gelap dalam film ini. Penggunaan wadrobe kebaya yang digunakan karakter Asih serta setelan norak mas Joni dan biduannya menguatkan karakter yang ada dalam “Merindu Mantan”. Acungan jempol untuk penata artistiknya karena ketepatan properti seperti seperangkat alat santet (menyan , kembang, dsb) hingga kipas jadul yang sangat mendukung setting dalam film pendek ini. Dan tentu saja, penggunaan tembang Jawa klasik pada awal film membuat merinding penonton. Walau mungkin beberapa penonton tidak mengerti artinya, namun lagu yang memiliki makna jangan pernah membanggakan keindahan diri ini mampu membuat atmosfer menjadi gelap. Bisa dikatakan penggunaan tembang Jawa ini sangat efektif dan tentu saja menambah “tekanan psikologis” untuk penonton.


Apa yang disuguhkan “Merindu Mantan” tak lepas dari performa Aimee Saras yang berperan sebagai Asih. Aimee Saras yang awalnya saya kenal dengan suara merdunya kala menyanyikan lagu “It Was June” dan penampilannya sebagai reporter bawel nan annoying di Melancholy is a Movement (2015) ternyata punya potensi besar sebagai aktris dengan kualitas yang diatas rata-rata. Terlihat bagaimana dia sukses besar memerankan seorang wanita rapuh namun psikopat. Aimee Saras mampu menggunakan potensi dalam tubuhnya untuk membentuk gesture tubuh yang pas, perlahan namun mengerikan. Tentu saja salah satu yang diingat bagaimana cara dia memegang buah pisang dan mengelus-ngelusnya, membuka, lalu menggulirkan ke tubuhnya sebelum melakukan hal mengerikan setelah. Adegan tersebut terlihat sangat seksi sekaligus mendebarkan. Tentu saja pisang tersebut merupakan semiotika dari alat kelamin mantan kekasihnya dan saat itu juga saya punya firasat buruk bahwa “Hamtaro” mantannya dalam ancaman dan firasat saya benar. Adegan ini merupakan salah satu adegan terbaik dalam film ini.

Ada dua kata yang saya sematkan usai menonton “Merindu Mantan”, ngeri dan ngilu. Ngeri tentu saja banyak sekali aspek-aspek thriller yang terdapat dalam film ini. Semua aspek mulai dari pemeran hingga aspek teknis menampilkan performa serta atmosfer yang kuat. “Merindu Mantan” sukses menyuguhkan sebuah tontonan thriller yang mendebarkan dan membuat penonton “tertekan” adalah kesuksesan dari misi film ini. Ngilu yang disuguhkan dalam film ini akan sangat terasa bagi penonton laki-laki. Walau tak diperlihatkan secara frontal, namun adegan demi adegan “penyiksaan” terhadap “hamtaro” Mas Joni cukup menekan psikologis penonton terutama kaum Adam. Setidaknya film ini meninggalkan pesan moral untuk tidak menyakiti perasaan perempuan, atau tidak “hamster”  lucu-mu dalam bahaya.

Melihat “Merindu Mantan” membuat saya semakin yakin akan potensi yang dimiliki oleh Andri Cung. Sebelumnya karya Andri Cung “Payung Merah” yang juga bergenre thriller, “Buang” dan salah satu segmen di “3Sum” yang berjudul “Rawa Kucing” juga mendapat apresiasi yang baik.Begitupula dengan karya  film panjangnya yang berjudul “The Sun, The Moon, The Hurricane” yang rilis 2014 kemarin juga menuai kritik positif. Kedepannya karya-karya dari Andri Cung akan terus dinanti dan tentu saja karyanya untuk membuat film panjang bergenre thriller yang paling dinanti dan rencana akan dibuatnya film panjang dari “Payung Merah” segera terlaksana.


“Merindu Mantan” sendiri sudah berkeliling dibeberapa festival baik dalam dan luar negeri seperti estival Film Pendek Jabodetabeka 2013, XXI Short Film Festival 2013, Europe On Screen 2012, Osian's Cinefan Film Festival ke-12, dan Thai Short Film & Video Festival 2013.

Minggu, 12 April 2015

(Review Short Film) Gundah Gundala : Komedi Satir Terhadap Eksistensi Superhero Lokal




Bila ditanya “Siapa superhero lokal yang anda kenal?” untuk mereka yang besar tahun 70 hingga 90an atau minimal seumuran saya mungkin dengan (agak) mudah menjawab Gundala Putra Petir, Gatot Kaca, atau Si Buta dari Goa Hantu. Namun bila ditanya kepada anak kecil era sekarang apakah mereka bisa menjawab? Kalaupun mereka bisa menjawab perbandingannya lebih sedikit dibanding yang tidak. Atau bahkan mereka akan menjawab Bima Satria Garuda, sosok superhero yang rajin menghiasi layar kaca tiap minggu pagi , memang diperankan oleh orang Indonesia dan settingnya juga Indonesia namun Bima Satria Garuda terlalu banyak Influence dari tokokatsu Jepang. Saat ini anak-anak jauh mengenal bahkan mengidolakan sosok superhero mancanegara layaknya  tokoh-tokoh karakter Marvel dan DC Comic yang jelas telah punya nama besar seperti  Ironman, Superman, Batman, dan konco-konconya. Jelas terjadi semacam fenomena budaya yang merisaukan karena salah satu warisan budaya lokal di “bidang” superhero mulai tergerus dan bahkan kalah jauh dengan produk import Hollywood. Kira-kira itulah yang ingin disampaikan dalam “Gundah Gundala”.

“Gundah Gundala” menyinggung keserbamungkinan apabila benar invasi oleh superhero “import” macam Ironman, menyingkirkan serta  merebut lahan pekerjaan superhero lokal. Sebuah kisah fiktif yang di angkat serealis mungkin namun dengan perspektif subyektif dan sederhana. Dikisahkan Syahdan, seorang superhero lokal yang pernah tenar di eranya bernama Gundala Putra Petir mengutarakan ke gudahannya sembari curhat colongan dengan seorang pria berambut gondrong di warung kopi mengenai dirinya yang harus menjadi pengangguran karena kalah saing dengan superhero luar negeri. Sepanjang film akan disuguhkan obrolan serta curahan hati Gundala dengan pria gondrong yang menyinggung tentang dunia superhero lokal saat ini mulai dari nasib superhero lokal pasca masuknya superhero import hingga pemerintah yang seakan “welcome” dengan superhero luar (Bisa dilihat dari wacana dikoran bahwa Iron Man akan dinaturalisasi).

Duduk sebagai sutradara sekaligus otak dibalik “Gundah Gundala”, Wimar Hendarto dengan cermat mengangkat nasib superhero lokal dengan simple,menghibur, namun sangat menyentil. Dengan durasi 8 menit, “Gundah Gundala” tak perlu efek gila-gilaan atau budget super untuk menjadikannya sebagai film superhero yang berkesan. Kepedulian terhadap budaya lokal yang mulai tergerus oleh budaya asing dengan kemungkinan-kemungkinan fiktif yang ditampilkan seperti nasib para superhero lokal sebagai contoh Aquanus yang menjadi Wiraswasta musiman atau Godam si manusia besi yang menjadi tukang tambal ban. Menggelitik namun sarat kritik dan tentu saja menampar realita. Dengan dialog yang renyah, mengalir, serta lucu, “Gundah Gundala” mencoba membuka mata penonton dengan cara yang menghibur namun miris hingga akhirnya membuat penonton peduli terhadap eksistensi warisan budaya lokal dibidang superhero.

Tehnik yang digunakan dalam penggarapan “Gundah Gundala”pun dapat dibilang sederhana. Mayoritas film mengandalkan dialog-dialog bernada guyon yang cerdas namun menyindir dari kedua pemeran utamanya. Penampilannya tak neko-neko, sederhana khas obrolan di warung kopi. Visualisasinya pun biasa saja, tak ada colour grading yang bermaksud membuat film ini lebih “Artsy”, eksplorasi pengambilan gambar yang khas film pendek biasanya atau tidak ada pula efek efek gila-gilaan hingga sampai penggunaan CGI layaknya mayoritas film superhero. Semua sederhana namun tepat sasaran. Makna yang disampaikan dalam film ini kena ke penonton. Ringan, sederhana, menghibur, namun mendalam pantas disematkan ke “Gundah Gundala”.



Bila disangkutpautkan antara superhero lokal dengan indutri perfilman nasional, bisa dikatakan jumlah film bertema superhero di perfilman Indonesia dalam kurun waktu tahun 90an hingga sekarang jumlahnya sangat sangat sangat tidak sebanding dengan film superhero yang masuk kesini bahkan jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Pada tahun 70-80an, genre superhero lokal mampu menelurkan beberapa karya, sebut saja “Rama Superman Indonesia” karya Frans Totok Ars pada tahun 1974 serta  “Gundala Putra Petir” besutan Lilik Sudjio pada tahun 1981. Pada awal tahun 2015, “Garuda Superhero” muncul sebagai superhero lokal baru dengan menggunakan format CGI dalam penyuguhannya. Terlepas dari beberapa kritik diantaranya cerita yang terlalu banyak influence dari superhero luar, karakter superhero yang kurang berkesan dan terasa mirip dengan Batman dicampur dengan tokokatsu Jepang hingga penggunaan CGI yang setengah hati, “Garuda” berani mengangkat kembali genre superhero dalam negeri. Namun kembali lagi, jumlah film superhero amatlah sedikit bahkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan Negeri tetangga, Malaysia yang jumlah film superhero-nya lebih banyak bahkan ada yang menjadi franchaise salah satunya Cicak Man. Kondisi ini tentu saja harus disadari oleh sineas film Indonesia untuk ambil andil dalam menjaga eksistensi film superhero Indonesia mengingat masih banyak superhero lokal yang belum terjamah dan butuh “uluran tangan” para filmaker Indonesia.

Tak dipungkiri, produser film lokal rada enggan untuk menggarap film superhero lokal. Perlu diakui bahwa film superhero punya standar sendiri agar bisa menempati ruang di hati penontonnya. Film superhero modern ini haruslah mempunyai cerita yang menarik, karakter yang mudah disukai, dan tentu saja sokongan dana besar untuk mewujudkan hal-hal gila didunia superhero dengan special effect canggih yang tentu saja tidak murah. Untuk hal yang terakhir ini bisa dikatakan sangat sulit untuk kondisi perfilman Nasional. Alasan akan sulit balik modal karena kondisi penonton film akan minat terhadap film lokal dan alasan lainnya tak dipungkiri menjadi bahan pertimbangan produser serta investor film untuk menggarap film superhero lokal. Ditengah kondisi seperti ini, secercah harapan muncul ketika “Gundala Putra Petir” direncanakan akan diproduksi kembali untuk layar lebar dengan Hanung Bramantyo yang duduk dikursi sutradara dan direncanakan rilis 2016 nanti. Semoga hal tersebut mampu membangkitkan film-film bertemakan superhero di perfilman Nasional.

Dibalik penyajian “Gundah Gundala” yang penuh guyonan nan menghibur serta ilustrasi menarik mengenai sisi lain dampak invasi superhero asing terhadap superhero lokal, ada makna serta harapan yang secara gamblang ingin disampaikan. “Gundah Gundala” mengajak penonton untuk lebih sadar akan potensi warisan budaya bernama superhero lokal dan membantu eksistensi mereka. Tak dipungkiri bahwa superhero lokalpun tak kalah menarik dan keren bila digarap dengan tepat. Perlu perhatian lebih dari setiap lapisan masyarakat mulai dari pemerintah, orang-orang di dunia kreatif, filmaker hingga masyarakat umum untuk menghidupkan kembali gairah dan membangkitkan para manusia super untuk hidup lagi dan menunjukkan kemampuan mereka di ranah superhero. Tentu saja kita mendambakan Godam atau Gatot Kaca adu kuat secara sengit dengan Superman merebut hati penggemar superhero minimal di negeri sendiri. Atau pembuktian bahwa “Petir” Gundala lebih mengkilat dibanding Thor bagi penonton film Indonesia. Semoga saja.

Jumat, 03 April 2015

Review : A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning (2011)



Diranah musik Indonesia terutama aliran indie, Nama band Mocca cukup dikenal oleh khalayak masyarakat. Memiliki sejumlah hits yang terkenal (Beberapa menjadi soundtrack film seperti Catatan Akhir Sekolah dan Untuk Rena) membuat Mocca memiliki jumlah penggemar yang banyak dan terkenal loyal. Band beraliran Pop Indie asal Bandung ini pada Juli 2011 memutuskan untuk rehat dan membuat “Konser Perpisahan” yang tentu saja membuat para Swinging Friends (Julukan untuk penggemar Mocca) merasa sedih. Dalam masa rehat Mocca, Film dokumenter berjudul “A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ serasa sebagai penawar rindu para fans akan band kesayangan mereka.

“A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ berkisah mengenai momen-momen terakhir Mocca sebelum memutuskan untuk Vacum manggung bersama dikarenakan keputusan Arina sang vokalis untuk melepas masa lajangnya dengan pria asal Amerika Serikat bernama Chris Miller yang otomatis membuat Arina mengikuti suaminya ke negeri paman Sam. Film dokumenter yang lebih terlihat seperti concert documentary atau lebih dikenal dengan istilah rockumentary ini menggabungkan footage-footage dari beberapa penampilan penampilan band yang terdiri dari Arina Ephipania (vokal dan flute), Riko Prayitno (gitar), Ahmad Pratama atau Toma (bass) dan Indra Massad (drum ) pada konser perpisahan mereka di Jakarta dan “Secret Gigs” di ITENAS BANDUNG tempat dimana awal mereka “disatukan” .

Inisiatif memfilmkan Mocca beserta momen-momen terakhir mereka sebelum rehat muncul dari dua lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Ari Rusyadi dan Nicholas Yudifar (Sutradara segmen Palasik di film Hi5teria tahun 2012). Mereka melihat bahwa rehatnya Mocca serta konser perpisahannya merupakan fenomena penting baik bagi Mocca maupun penggemarnya. Hal tersebut bisa dilihat dari antusiasme fans Mocca dalam menyerbu tiket konser dimana hanya dalam waktu 15 menit sejak dibuka semua tiket sudah ludes terjual.

Selama sekitar 80 menit durasi film, penonton akan disuguhkan penampilan-penampilan live Mocca yang mayoritas diambil dari konser di Jakarta dan ITENAS. Beberapa hits mereka seperti “Me and My Boyfriend”, “Secret Admire”, “You and Me Againts The Worlds”, “I Remember” , hingga lagu yang menginspirasi judul film ini “Life Keeps on Turning” seakan mengajak penonton untuk hanyut kedalam musik yang dibawakan Mocca. Bagi para penggemarnya, tentu hal ini dapat menjadi pelipur rindu mereka dan sesekali merasa terajak untuk ikut menyanyikan lirik-lirik dalam setiap lagu Mocca. Bagi yang baru mengenal Mocca, mungkin akan tergerak untuk mengenal lebih tentang lagu-lagu Mocca selepas menonton film ini. Sekitar 18 lagu Mocca dinyanyikan dalam film ini. Selain Footage dari dua konser tersebut, ada juga beberapa penampilan Mocca di Dahsyat RCTI serta di luar negeri. Selain itu ada sedikit wawancara terhadap beberapa personilnya serta nostalgia pada masa-masa awal mereka terbentuk.

“A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ menyuguhkan setiap footage penampilan live Mocca secara utuh dalam arti dari awal mulai lagu sampai lagu berakhir,  tidak ada lagu yang ditampilkan setengah-setengah. Ada satu lagu yang menggabungkan penampilan Mocca dibeberapa tempat namun lagu yang dibawakan sama dan proses editing membuat lagu tersebut menjadi selaras. Dokumenter ini menghargai setiap penampilan Mocca di atas panggung dan menyadari akan kekuatan yang dimiliki oleh Mocca, penampilan panggung yang sama baiknya (atau bahkan lebih baik) dari musik rekamannya. Kualitas musikalitas Mocca yang bagus dapat di capture dengan baik di dokumenter ini. Penggunaan filter warna yang agak senja terkadang membuat beberapa gambar di film ini terasa tidak fokus. Mungkin penyebabnya penggunaan kualitas kamera yang digunakan, namun hal ini tidak mengurangi keasikan dalam menonton “A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“. Didukung dengan editing yang baik membuat part-part penampilan Mocca serta hal lain seperti wawancara dan sebagainya memiliki komposisi yang baik dan tempo yang tepat. Salah satu hal unik dalam film ini adalah beberapa sudut pengambilan gambarnya seperti sudut pandang dari ujung bass Toma hingga merekam dari televisi yang menayangkan Dahsyat. Sebuah eksperimen yang cukup unik dan membuat film ini terasa lebih variatif.

Film yang melakukan premier di gelaran Jogja Asian-NETPAC Film Festival (JAFF) ke-6 pada Desember 2011 ini mampu menarik antusiasme tinggi terlihat dari jumlah penontonnya sekitar 430-an yang menjadikan “A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ menjadi film terlaris pada gelaran JAFF 2011 mengalahkan “The Raid” dan “Lovely Man”. Diluar kurang relevannya film ini dengan kondisi sekarang mengingat tak lama dari tanggal perilisannya Mocca berhenti dari masa rehatnya, terbukti dari keluarnya album baru mereka yang berjudul “Home” tahun 2014 lalu. Namun begitu, dokumenter ini tetap dicintai dan memiliki tempat di hati Swinging Friends dan punya pendekatan personal antara band yang terbentuk tahun 1999 ini dengan fans mereka. Terbukti hampir setiap tahun ada saja pemutaran film “Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ yang dilaksanakan oleh Swinging Friends.


“A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ diputar di Kineforum pada 29 Maret 2015 sebagai  salah satu rangkaian acara untuk memperingati Hari Film Nasional bertajuk FILARTC 2015 di kawasan Taman Ismail Marzuki 27-29 Maret 2015.