Setelah 4 tahun selepas merilis “Hari Untuk Amanda” pada
tahun 2010, sutradara Angga Dwimas Sasongko kini kembali hadir dengan film
terbarunya yang berjudul “Cahaya Dari Timur : Beta Maluku”. Ni Beta Maluku merupakan film pertama dari
rangkaian seri Cahaya Dari Timur yang mengangkat kisah-kisah inspiratif dari
Indonesia Timur.
Cahaya Dari Timur : Beta Maluku mengangkat kisah nyata dari
kehidupan Sani Tawainella (Chicco Jericho) seorang mantan pemain sepak bola
asal Tulehu, Ambon yang sempat mewakili Indonesia pada Piala Pelajar Asia tahun
2016 namun gagal dalam seleksi PSSI Baretti. Kegagalan menjadi pemain sepakbola
professional membuatnya pulang kampung dan menjadi tukang ojek untuk menghidupi
keluarganya. Pada saat konflik Maluku pecah awal tahun 2000-an, Sani
mengumpulkan anak-anak Tulehu untuk berlatih sepak bola dengan tujuan
menghindari anak-anak tersebut dari konflik. Ditengah segala kekurangan serta
problematika ekonomi dan keluarga yang dialami Sani, Sani berhasil membangun
tim yang menjadi kebanggan Tulehu dengan
mampu mewakili Maluku dalam kejuaran Nasional U-15 2006 di Jakarta.
Cahaya Dari Timur : Beta Maluku sepintas memang film
bertemakan sepakbola, namun ditelisik lebih kedalam, film ini mengangkat isu
sosial dan budaya yang terjadi di Negri Maluku. Seperti halnya sisa-sisa
konflik Maluku yang secara tidak langsung mempengaruhi psikologi anak Tulehu
yang menjadi Rasis terhadap agama lain hingga akhirnya dipersatukan dengan
sepakbola. Film ini melampirkan pesan perdamaian antar umat beragama, tidak
hanya untuk di Tulehu, tapi untuk semua manusia.
Cahaya Dari Timur : Beta Maluku tidak terperangkap pada
kebiasaan film-film sejenis yang pemeran utamanya datang bak pahlawan lalu
mengubah nasib beberapa orang dan ditampilkan sempurna tanpa cacat layaknya
dewa. Dalam film ini penonton akan disuguhkan sosok Sani Tawainella yang
seperti manusia biasa yang sesekali mengalami kegagalan. Penonton akan ikut
merasakan kegetiran Sani yang telah sayang terhadap anak-anak didiknya namun
terus ditekan oleh himpitan ekonomi dan keluarganya. Sosok Sani tidak terjebak
dalam heroisme berlebihan. Penuturan tahap demi tahap perjuangan Sani
mengajarkan penonton bahwa siapapun bisa membawa perubahan baik bagi
lingkungannya.
Pengalaman adalah guru terbaik, pepatah tersebut tepat
disematkan kepada M. Irfan Ramli, scriptwriter dari Cahaya Dari Timur.
Merasakan sendiri masa-masa konflik Maluku membuat naskah skenario yang dibuat
bersama Swastika Nohara begitu dekat dengan kejadian nyata serta setting
tempatnya. Detail-detail adegan seperti kebiasaan-kebiasaan orang Tulehu serta
logat aslinya terasa sepanjang film. Yang paling terasa adalah sepanjang film
hampir mayoritas menggunakan bahasa Melayu Tulehu asli beserta logat khasnya.
Tentu saja hal ini merupakan nilai plus untuk film ini. Lebih baik menggunakan
bahasa asli dan menggunakan subtitle agar terasa lebih natural disbanding harus
meninggalkan bahasa setting tempatnya dengan menggunakan bahasa Indonesia agar
(niatnya) menambah nilai komersial yang malah menurunkan kualitas dari film
tersebut.
Penampilan seluruh pemain dalam film ini patut diberikan
apresiasi baik. Baik artis ibukota yang diboyong dari Jakarta sampai “Rising
Star” anak-anak asli Maluku melakukan penampilan yang baik sehingga terasa
seperti orang Tulehu sesungguhnya. Penampilan Chicco Jericho sebagai Sani Tawainella
mampu menarik perhatian penonton. Lupakan Chicco yang selalu terlihat mulus dan
selalu bersih dengan pakaian necis wara-wiri di televisi, melalui debut
pertamanya didunia film, Chicco mampu menunjukan bahwa dia memang aktor yang
layak untuk bermain film. Penonton tidak akan merasa melihat Chicco, namun
Sani. Chicco mampu memberikan kenangan manis didebut nya didunia film.
Penampilan pemain lain seperti Shafira Umn, Jajang C. Noer, Glenn Fredly, Serta
Ridho “Slank” semuanya bermain baik sesuai dengan posisinya. Terlebih Ridho
“Slank” yang aktingnya mampu diatas rata-rata, aktingnya sama baiknya seperti
saat sedang bermain gitar di Slank, terasa hidup dan menjiwai. Dan jangan
lupakan penampilan anak-anak asli Maluku yang mampu mencuri perhatian dalam
debut mereka. Berpenampilan baik sebagai anak-anak Tulehu dengan tidak merasa
minder dengan actor-aktor senior yang beradu acting dengan mereka.
Melalui Cahaya Dari Timur, Angga Dwimas Sasongko sebagai
sutradara menjadikan sebagai batu loncatan ke level baru dalam pengalaman
berkaryanya. Apabila dalam “Hari Untuk Amanda” hanya men-direct dengan cast
yang tak begitu banyak, dalam film ini Angga harus menangani film yang lebih
besar dan tentu saja lebih complex. Menangani film ini sebagai sutradara dan
produser tentu saja membuat Angga harus menangani film ini dari A sampai Z
sehingga film ini lebih emosional untuknya. Hasilnya, sebuah sajian yang terasa
sepenuhnya dari hati untuk para penonton. Sinematografi yang patut diacungi
jempol terutama moment-moment penting saat pertandingan sepak bola yang begitu
menarik dan begitu dramatisir. Serta tak lupa untuk meng-capture pemandangan
indah Tulehu. Apabila “Laskar Pelangi” mampu mempromosikan Belitong dan “5cm”
dengan Mahameru-nya, Cahaya dari Timur mampu menampilkan pesona Tulehu dengan
bauk. Terutama Pantai-nya yang bersih dan begitu biru.
Secara keseluruhan, Cahaya Dari Timur merupakan tontonan
bergizi bagi masyarakat Indonesia yang selama ini “terpaksa” disuguhkan oleh
film dengan muatan “polusi”. Memberikan kisah inspiratif yang dengan
membumi serta didukung dengan sisi
teknis seperti directing, penampilan para cast, serta cerita yang mumpuni
membuat Cahay Dari Timur seperti film dengan komposisi yang hampir sempurna.
Tidak melebihkan, namun saat menonton film ini banyak moment yang begitu
menggetarkan bahkan membuat campur aduk perasaan. Tak percaya? Rasakan
moment-moment akhir dalam film ini. Bisa saya katakan bahwa moment terakhir
dalam film ini adalah salah satu moment terakhir terbaik selama saya menonton
film dibioskop. Film yang begitu berkesan dan inspiratif. Dengan harga tiket
bioskop yang dibeli penonton mendapat tontonan menghibur sekaligus inspiratif. Menandakan
awal dari seri Cahay Dari Timur, sangat diharapkan agar seri selanjutnya
memiliki kualitas yang sama atau bahkan lebih baik. Indonesia butuh film
seperti ini. Punya muatan Edukatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar