Jumat, 28 Februari 2014
Kamis, 27 Februari 2014
Minggu, 09 Februari 2014
Flappy "Fuckin" Bird !
Ini efek kebanyakan main Flappy Bird bagi Pria, ketika mau mandi dipagi hari setelah bermain Fluppy Birds sebelum tidur dalam waktu yang lama, pria yang tidak dikenal ini mendapati tititnya berubah menyerupai si burung penyeruduk pipa ini. Sungguh naas nasib beliau
Ini efek yang lebih "sedikit" beruntung, tititnya berubah jadi pipa yang menjadi musuhnya ketika bermain Flappy Birds. Itulah kenapa Tuhan melarang kita untuk saling membenci karena imbasnya akan terasa dikemudian hari. Kenapa dibilang sedikit beruntung, ya karena ukurannya bertambah besar dan panjang tanpa harus repot-repot ke mak erot apalagi ukuran titit sebelumnya hanya sebesar cacing tanah anorexia pastti akan terasa perubahannya. Ya walau bentuknya akan sedikit lebih lucu dari sebelumya.
Tidak hanya Pria, perempuan pun bisa terkena imbas dari Flappy Bird. sebut saja Esmerandos seorang wanita latin ini payudaranya berubah seperti bentuk burung lucu ngeselin ini. coba bayangkan bagaimana nasib anaknya yang masih bayi ketika nete. sungguh kasihan
BAKARRR...BAKAAAARRRR...BAAAAKKKKAAAARRRRR....
Rabu, 05 Februari 2014
Senin, 03 Februari 2014
Jumat, 31 Januari 2014
REVIEW : Snowpiercer (2013)
Sekitar seminggu setelah terhibur dengan film Horror asal Korea
Selatan, “Killer Toon”,, kini saya kembali “dihadapkan” dengan satu lagi film
“Box Office” asal negara “Super Junior” tersebut. Ya akhir-akhir ini memang
“Invasi” Korea pada negara ini tidak hanya melalui muka mulus boyband-girlband
serta cerita Melodrama yang hampir tiap sore “nangkring” di televisi lokal
melainkan juga dengan film-film yang tayang dibioskop lokal. Tentu hal ini
bukan berarti sebagai hal yang negatif, sisi baiknya adalah penonton mempunyai
pilihan lain dalam menonton film dibioskop selain film-film lokal serta tentu
saja Hollywood yang merajai pasar. Film Korea yang rilis di Indonesia-pun
mayoritas mampu dikategorikan “memuaskan” penonton. Tahun ini saja setidaknya
ada “Miracle in Cell No.7”, “Mr.Go”, “The Flu” dan tentu saja “Snowpiercer”
karya Bong Joon-Ho. Bong Joon-Ho adalah sutradara Korea yang namanya cukup
“Wangi” di perfilman dunia. Bagaimana tidak, film-film karyanya bisa dibilang
mengesankan . “The Host” contohnya yang rilis pada tahun 2005 mampu berdiri
kokoh dipuncak “Box Office” Korea Selatan hingga saat ini. Bong Joon-Ho bisa
dibilang sutradara asal Korea Selatan favorite saya selain kreator dari
“Oldboy” yang juga memiliki nama besar di Korea Selatan, Park Chan- Wook.
“Snowpiercer” menawarkan kisah “Post Apocalypse” dimana bumi
kembali mengalami “Ice Age” setelah sebuah percobaan meluncurkan sebuah zat ke
lapisan ozon yang bertujuan untuk menekan pemanasan global pada tahun 2014 berakhir
gagal dan membuat bumi mengalami zaman es sehingga kehidupan dibumi pun
berangsur-angsur punah. Para “Survivor” yang selamat dari keganasan dinginnya
bumi mencoba bertahan hidup di sebuah kereta lokomotif yang sangat panjang dan
bergerbong banyak bernama “Snowpiercer”. Mereka yang selamat hidup dengan kesenjangan sosial
yang sangat terasa didalam kereta. Terjadi “pembatas” antara si miskin yang
tinggal di ekor dan si Kaya yang tinggal dibagian depan gerbong. Merasa tidak diperlakukan adil dan keji,
Curtis Everett (Chris Evans) bersama “Kaum Ekor” seperti Edgar (Jamie Bell) dan
sosok yang dituakan serta dihormati Gilliam (John Hurt) merancanakan sebuah
revolusi. Sebuah gerakan menuntut keadilan serta menjatuhkan kekuasaan sosok
yang dianggap bak dewa bagi beberapa penghuni
“Snowpiercer”, Wilford (Ed Harris) karena Wilford-lah sang pembuat
kereta “Snowpiercer” dan dianggap bak sosok yang suci karena menyelamatkan dari
“kiamat” bagi orang-orang di gerbong depan. Namun bagi orang-orang digerbong
ekor, Wilford-lah dalang dibalik kesengsaraan hidup mereka selama 17tahun di
Kereta.
Awalnya saya berpikir bahwa “Snowpiercer” adalah film khas “Musim
Panas” dengan balutan efek yang menawan serta bertujuan “hanya” sebagai
penghibur penonton. Namun, Bong Joon-Ho membawa kisah yang diangkat dari novel
grafis berbahasa Prancis dengan judul
asli “Le Transperceneige” ini kedalam cerita yang cukup berat dan penuh
makna. Dengan tema yang dewasa berbalut beberapa intrik politik didalamnya
membuat film ini tidak begitu saja “menyuapi” cerita dan makna dalam film
kepada penonton. Penonton akan diperlihatkan sebuah miniatur kehidupan disetiap
gerbong yang dilalui oleh gerombolan Curtis. Bong Joon-Ho mampu menyimbolkan
dengan baik kereta dengan keadaan sosial dibumi sesungguhnya. Mengenal system
kelas. Manusia dibatasi oleh “Gerbong-gerbong” berkedok kekayaan, jabatan, atau
hal lain sehingga manusia yang miskin punya tempat sendiri, di ekor dengan fasilitas sesuai dengan “kelas”nya. Si kaya
yang mampu membayar lebih mempunyai tempat sendiri yang tidak mau diusik oleh
kelas dibawahnya. Seperti layaknya ketika menaiki kereta. Kita akan dituntut
memilih untuk menggunakan kelas mana. Ekonomi atau eksekutif? Dan kita akan
menerima sesuai apa yang kita bayar.
“Snowpiercer” jelas tidak seperti film Bong Joon-Ho sebelumnya.
Ada rasa Hollywood didalamnya. Ya memang ini adalah kesempatan emas bagi Bong
Joon-Ho untuk mengharumkan namanya dikancah perfilman dunia serta mengikuti
jejak teman senegaranya, Park Chon-Wook
yang telah lebih dulu menggarap film Hollywood “Stoker”. Bong Joon-Ho
tentu saja tidak menyia-nyiakan “fasilitas” khas Hollywood yang dia dapatkan.
Cast yang sudah terkenal dan mendunia, Special Effect yang menawan khas
film-film blockbuster dan tentu saja kucuran dana besar mengiringi pembuatan
“Snowpiercer”. Segala “kenikmatan” itu tidak lantas membuat Bong Joon-Ho
“termakan”. Sentuhan sineas yang juga
terkenal dengan “Memories of Murder” tetap menunjukan ciri khas nya. Bong
Joon-Ho tetap mampu meramu sisi estetis dan tematis menjadi sebuah tontonan
yang berkualitas. Segala fasilitas Hollywood tetap tidak membuat Bong Joon-Ho
lupa akan kualitas dan menjaga orisinalitas dalam berkarya.
Dikaruniai beberapa cast yang telah dikenal luas tak membuat
“Snowpiercer” hanya sebagai tontonan menjual tampang semata. Penampilan sosok
“Captain America” Chris Evans bisa dikatakan beda dari penampilannya di film
lain. Di tangan Bong Joon-Ho sosok “Superhero” bersifat “Baik-baik” ini dibuat
menjadi sosok lelaki 30-an pemimpin revolusi kaum bawah yang keras dan agak
ambisius. Chris Evans mampu memancarkan begitu menderitanya dan begitu keras
upayanya untuk menuntuk keadilan dari sosok di gerbong depan yaitu Wilford. Usaha
keras Chris Evans untuk membangkitkan sosok Curtis bisa dibilang berhasil
dengan mampu melepas bayang-bayang karakter “superhero” yang biasa dia perankan
di film-film Hollywood. Bong Joon-Ho
juga mampu menempatkan Jamie Bell dan John Hurt pada pos-pos yang tepat. Yang
sekali lagi sang sineas tidak menyia-nyiakan nama terkenal di Hollywood ini
hanya sebagai pengait penonton namun juga memaksimalkan kontribusi mereka dalam
film ini. Namun yang paling mencuri perhatian adalah sosok Mason yang
diperankan Tilda Swinton yang mengesalkan namun beberapa perilakunya dapat
menggelitik dan mengundang tawa. Saya masih ingat betul Tilda sebagai Eva,
sosok ibu yang penuh beban hidup dalam “We Need To Talk About Kevin” dan saya
melihat “sosok Lain” Tilda Swanson pada film ini. Dengan penampilan khas
ningrat dan perilaku yang mampu membuat penonton gemas, Tilda mampu meghidupkan
sosok mason yang keji dan mengesalkan. Tilda sukses memerankan tokoh antagonis
yang menyebalkan namun mengesankan ini. Diantara nama-nama Hollywood, Bong
Joon-Ho tetap menggunakan talenta lokal asal Korea Selatan. Song Kang-ho dan Go
Ah-sung adalah dua artis asal Korea Selatan yang berperan sebagai Bapak dan
Anak yang sama-sama pecandu batu bernama Kromol. Song Kang-Ho yang pernah
bekerjasama dengan Bong Joon-Ho sebelumnya pada film “Memories of Murder” ini memerankan
mantan kepala keamanan yang turut membantu kelompok Curtis melewati lorong demi
lorong. Bisa dibilang penampilan bapak – dan anak ini adalah pemeran penting
dalam menunjukkan salah satu ciri khas dari Bong Joon-Ho, Black Comedy. Komedi
yang dilontarkan melalui gimmick atau ucapan mereka mampu mengundang tawa
penonton.
Snowpiercer merupakan debut film berbahasa Inggris pertama Bong
Joon-Ho yang sekali lagi saya tekankan tidak disia-siakan oleh sang sineas.
Bong Joon-Ho mampu meramu segala elemen baik tema cerita, cast yang telah
dikenal luas, sisi estetis serta visual effect khas Hollywood yang mampu
memanjakan mata menjadi sebuah kesatuan yang membuat “Snowpiercer” menjadi film
Bong Joon-Ho rasa Hollywood yang masih layak untuk ditonton. Walau Snowpiercer
ber-setting hanya dikereta, namun Snowpiercer mampu memberikan pengalaman
menonton yang megah. Tema Snowpiercer tentang batasan kelas dalam kehidupan
sosial yang disampaikan oleh Bong Joon-Ho menyentil kepada seluruh aspek
kehidupan masyarakat yang memandang manusia dan membatasi manusia dengan sistem
kelas. Sistem kelas yang membatasi lini kehidupan manusia dijadikan alasan
sebagai salah satu cara mempertahankan keseimbangan kehidupan dibumi. Dilain
sisi pembatasan antara si kaya dengan si miskin secara luas dapat menghasilkan
kesenjangan sosial serta mungkin saja dapat menimbulkan pemberontakan di
salahsatu kubu atau terjadi perpecahan. Seperti yang tergambar pada Snowpiercer
dimana sistem kelas mampu menyulut pemberontakan antara kaum yang tinggal di
gerbong ekor terhadap orang-orang yang tinggal di bagian depan kereta sedangkan
Wilford menganggap batasan itu harus ada untuk menjaga keseimbangan dalam
kehidupan. Lantas apakah batasan menggunakan sistem kelas dibutuhkan untuk
kehidupan?
Rabu, 29 Januari 2014
REVIEW : Isyarat (2013)
“Indie Movie Goes To Cinema”, sebuah semangat yang
digembar-gemborkan kepada khalayak luas mengiringi rilisnya “Isyarat” di
Bioskop. Memang “Isyarat” Lahir dari “Rahim” komunitas Lingkar Alumni Indie
Movie, sebuah komunitas para alumni dari peserta LA Light Indie Movies yang
selama 7 tahun konsisten melakukan workshop dan serangkaian pelatihan lain
untuk para calon moviemakers muda yang
mempunyai passion didunia film. “Isyarat” merupakan gebrakan bagi penggiat film
Indie yang memiliki tujuan agar film-film pendek mereka bisa turut serta
meramaikan bioskop nasional. Ya sebagaimana kita tahu bahwa kebanyakan film
pendek Indie sangat sulit memiliki tempat di bioskop lokal dan
festival-festival Film lah tempat para sineas film Indie menunjukan karya
mereka.
“Isyarat” merupakan film omnibus yang terdiri dari lima film
pendek yang mengangkat tema yang sama, manusia dengan “kemampuan lebih”nya atau
pada umumnya disebut “Indra keenam”. “Teman Bayangan” garapan Asmirandah mengisahkan
Dewi (Asmirandah) gadis muda yang memiliki kemampuan psikokinesis. Dewi
memiliki teman khayalan bernama Fly (Jonas Rivanno) yang selalu mengikuti
kemanapun Dewi pergi. Hingga akhirnya Dewi menyadarai bahwa kekuatannya dapat
melukai orang yang dicintainya. Komedi situasional karya Monty Tiwa “Lost and
Found” mengisahkan Oki (Poppy Sovia) yang kehilangan dompetnya dan bertemu Sisi
(Prisia Nasution), seorang janitor yang mempunyai kemampuan menerawang kejadian
masa lampau. Reza Rahardian menyutradarai segmen “Gadis Indigo” yang berkisah
mengenai Maya (Revalina S Temat) yang mampu membaca sifat seseorang dengan
menggambar wajahnya hingga akhirnya bertemu dengan Ganda, pria yang sulit dia
baca kepribadiaannya. Adhyatmika, sutradara muda alumni Indie Movies 2009
menyutradarai segmen “Flora” yang berkisah mengenai gadis bernama Flora (Taskia Namiya) yang dapat
bersinggungan dengan hal-hal dari dunia astral dan kisah cintanya dengan Danel
(Abimana Arya). Dan terakhir “Tanda Bahaya” garapan Donny Alamsyah yang ingin
menggambarkan bahwa dalam keadaan terdesak manusia bisa lebih kejam dari
binatang yang lebih kejam.
Mengangkat tema “Indra Keenam”, “Isyarat” terlihat kurang
eksplorasi dalam menggali hal unik yang ada pada kemampuan yang jarang dimiliki
ini. Dengan mengangkat tema yang cukup menarik dengan menyajikan beberapa jenis
Indra keenam baik mampu melihat masa lalu hingga melihat makhluk dunia astral,
namun “Isyarat” hanya terlihat sekedar memberi tahu bahwa indera keenam itu
ada. Walaupun begitu, “Teman Bayangan” garapan Asmirandah mampu memberikan
sebuah kisah menarik mengenai psikokinesis dan sosok Fly sebenarnya yang akan
membuat penonton menduga-duga siapa sebenarnya Fly tersebut. Dibalut dengan
nuansa surealis membuat segmen ini yang paling menonjol dibanding segmen yang lain. “Lost and Found” tampil
sebagai segmen yang paling menghibur dan mampu mengundak tawa. “Lost and Found”
menyajikan komedi situasional dibalut percakapan dan gerak-gerik konyol dari
kedua tokoh utama Oki dan Sisi. Paruh awal hingga tengah film ini dibangun
dengan cukup meyakinkan dan memberikan ketegangan disetiap adegannya namun dari
segi cerita bisa dikatakan cukup klise. Paruh akhir segmen terlihat tidak fokus
dan akhirnya akan mengundang ucapan “ceritanya udahan?” dari penonton. Namun
penampilan menawan dan total terlihat ditampilkan oleh kedua aktris utama
segmen ini, Poppy Sovia dan Prisia Nasution yang membuat “Lost and Found” tetap
menarik dan membuat penonton terbawa “pertualangan” mereka.
“Gadis Indigo” menyuguhkan kisah cinta Maya dan Ganda yang klise. Reza Rahardian yang sebelumnya juga pernah menangani salah satu segmen dalam “Wanita Tetap Wanita” berjudul “With or Without” ini terlihat kurang maksimal dalam menggarap “Gadis Indigo”, akhirnya timbul pertanyaan, “Mau dibawa kemana film ini?”. Reza seperti kehilangan kendalinya dalam film ini. Hasilnya “Gadis Indigo” tampil ya seadanya. “Gadis Indigo” seperti kehilangan daya tariknya. Mengambang begitu saja. Amat disayangkan transisi antara segmen “Gadis Indigo” dan “Flora” tidak begitu terlihat sehingga terasa seperti kedua segmen ini seperti satu segmen panjang. Hal ini diperkuat sosok Maya yang merupakan teman dekat dari Flora dan Flora pun tampil cukup banyak di segmen “Gadis Indigo”. Apabila pada segmen sebelumnya pergantian segmen ditandai dengan ilustrasi komik bergaya pop art, namun pada perpindahan segmen “Gadis Indigo” dan “Flora” tidak ada. Entah memang sengaja ingin agar terlihat “satu” antara “Gadis Indigo” dan “Flora”, namun cara ini membuat segmen “Gadis Indigo” jadi terlihat Menggantung.
Adhyatmika kurang dapat mengeksplor sosok Flora yang
memiliki kemampuan lebih dapat melihat sosok ghaib. Flora terlihat seperti
perempuan biasa walau ada adegan dimana Flora diperlihatkan dengan penampakan,
namun untuk beberapa orang tanpa kemampuan indra keenam-pun terkadang dapat
diberi wujud penampakan. Flora kurang terlihat memiliki kemampuan itu walau
sepanjang segmen banyak pernyataan bahwa Flora itu aneh dan sebagainya. Editing
yang bisa dibilang cukup unik terutam dibagian akhir film yang menampilkan alur
maju mundur memang mampu membuat penonton sedikit berpikir. Namun membuat
beberapa adegan yang niatnya membuat penonton bertanya-tanya terkesan gagal
karena terlalu lama dan mengulur-ngulur waktu
. Namun penampilan Abimana Arya sangat total dalam film ini. Abimana
Arya membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik saat ini dan
nominasi aktor terbaik FFI 2013 memang layak untuk dia. “Tanda Bahaya” hadir
sebagai segmen tersingkat dan paling klise dari semua segmen. Tidak seperti
film utuh, entah apa alasannya menampilkan “Tanda Bahaya” hanya “sekedar” ini.
Padahal sosok Evan yang diperankan oleh Dion Wiyoko adalah tokoh kunci yang
menyatukan sosok Indigo di emapt segmen . “Tanda Bahaya” dan Evan-nya bermaksud
sebagai “penghubung” film “Isyarat” namun gagal dan menjadi kisah yang agak
janggal.
Terlepas dari semua, Omnibus ini didukung dengan
sinematografi yang menawan dan indah. “Isyarat” memiliki tema yang sangat menarik
untuk diangkat dan dikembangkan walau hasilnya masih kurang memuaskan.Walaupun
begitu, “Isyarat” masih layak untuk disaksikan untuk semangat untuk belajar
dari beberapa moviemaker muda yang tergabung dalam komunitas Indie Movie.
Mereka-merekalah penerus perfilman nasional. Semangat untuk mewujudkan Film
Indie mampu menembus bioskop nasional patut diapresiasikan. Mudah-mudahan
produksi selanjutnya dari komunitas ini akan lebih baik dan mampu berbicara
lebih banyak lagi.
REVIEW : Soekarno (2013)
Membuat film tentang seorang kepala
negara atau Presiden yang pernah memimpin suatu Negara, bisa dikatakan sebagai
bentuk penghormatan atas jasanya terhadap negara dan sebagai media memperkenalkan
sosok memiliki peran penting, dalam bentuk karya audio visual agar lebih mudah
dinikmati oleh orang banyak. Tahun lalu Steven Spielberg menyuguhkan kisah Presiden
Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln, yang diperankan dengan sangat luar
biasa oleh Daniel Day-Lewis, dalam film yang berjudul “Lincoln”. Atau film
peraih Best Picture 2011, The King’s
Speech, yang menceritakan tentang George
VI, Raja Inggris yang gagap dan berusaha keras untuk melakukan pidato yang
baik. Di Indonesia, kisah mantan presiden Indonesia ke-3, B.J. Habibie, difilmkan
tahun lalu dengan judul “Habibie Ainun”. Kisahnya sendiri mengisahkan
perjalanan Habibie bersama sang istri, Ainun Habibie, dalam menjalani kehidupan
bersama. Kisahnya yang romantis membuat film ini disukai oleh masyarakat dan sukses
meraih lebih dari 4 juta penonton.
Setelah Habibie ditahun lalu,
pengujung tahun 2013 ini, kisah tentang Presiden pertama Indonesia, Ir.
Soekarno diangkat ke layar lebar oleh Hanung Bramantyo dengan Judul “Soekarno”.
Film ini mengisahkan perjuangan sang “Proklamator” dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Film dimulai dengan adegan penggerebekan terhadap
kediaman Dr. Soejoedi oleh tentara Belanda yang berakhir pada penangkapan
Sukarno pada tahun 1929. Kemudian alur cerita bergerak mundur ke tahun 1912,
dimana Kusno, seorang anak berusia 11 tahun yang sering sakit-sakitan, oleh
bapaknya diganti namanya menjadi Sukarno, dengan harapan kelak menjadi ksatria
layaknya tokoh pewayangan Adipati Karno dengan ritual khas Jawa.
Film “Soekarno” secara umum
menyuguhkan kisah pada masa Bung Karno memperjuangkan kemerdekaan, kegiatan
berpolitik serta strateginya dalam pergerakan meraih kemerdekaan. Film in
berusaha keras menceritakan situasi mulai dari jaman penjajahan Belanda, dimana
Sukarno dianggap menghasut dan memberontak sehingga diasingkan ke Bengkulu,
hingga Jepang datang menggantikan Belanda menduduki tanah air. Pada zaman
kedudukan Jepangpun, yang dianggap tidak kalah bengisnya dengan Belanda,
Sukarno bersama Hatta dan Sjahrir tetap berjuang merebut kemerdekaan Indonesia.
Usaha keras Ario Bayu, yang memerankan
sosok Sukarno, terlihat jelas untuk mewujudkan sosok yang sangat penting bagi
lahirnya negeri ini. Ario Bayu terlihat cukup mampu menghidupkan peran Sukarno
dengan baik. Gerak-gerik Ario Bayu sebagai Bung Karno, mampu menggambarkan
kesan bijaksana dan karismatik. Pada adegan berpidato didepan rakyat, Suara
lantang Ario serta gaya yang berkarisma membuktikan bahwa memang dia layak
untuk memperankan sosok bung Karno.
Aktor yang pernah bermain sebagai
Satrio dalam Catatan Harian Si Boy menyingkirkan banyak aktor lain yang ikut casting untuk peran Sukarno ini, termasuk
Agus Kuncoro yang akhirnya menjadi Gatot Mangkuprojo dalam film ini. Walau dianggap
tidak cocok dalam memerankan Sukarno oleh salah satu anak dari Bung Karno,
Rachmawaty, Namun Hanung Bramantyo tetap kekeh menggunakan Ario Bayu sebagai
Bung Karno. Dan Hanung bisa dianggap tidak salah pilih.
Selain menceritakan kisah perjuangan
Bung Karno mewujudkan kemerdekaan. Kisah “rumah tangga” Bung Karno pun ikut
diceritakan di sini. Hubungan Bung Karno dengan istrinya Inggit Garnasih, yang
diperankan oleh Maudy Kusnaedi, yang terpaut lebih tua 12 tahun dari Bung Karno
yang selalu menemani Bung Karno dalam perjuangannya hingga masuk penjara dan
diasingkan. Diceritakan juga bahwa Inggit harus rela hati ketika suaminya
kembali jatuh cinta kepada gadis muda bernama Fatmawati yang diperankan oleh
Tika Bravani. Kemelut Kisah cinta Bung Karno dalam “Soekarno” turut menghiasi
kisah perjuangan ini. Hal ini sebagai bukti bahwa film Soekarno berusaha untuk
menutup celah detail dalam mengekspos kisah hidup bung Karno ini, baik
kehidupan pribadinya maupun kehidupan berpolitiknya, baik kecintaan terhadap
rakyatnya atau kecintaan terhadap “perempuannya”.
Tim Artistik dalam film “Soekarno” ini
terlihat serius menghidupkan setting
Indonesia sebelum merdeka pada film ini. Demi mendapatkan kediaman Soekarno di
Pesanggrahan Timur semirip mungkin, mereka membangun rumah yang sesuai dengan yang ditinggali oleh
Bung Karno sesungguhnya, dalam skala 1:1. Selain itu penggunaan alat
transportasi seperti mobil klasik dan kereta jadul pun mampu menambah nilai
estertis dalam film ini. Penggunaan property
memang terlihat dicoba untuk disesuaikan dengan jaman tersebut. Film “Soekarno”
juga menggunakan Footage dari
arsip-arsip nasional yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia pada
masa penjajahan, serta video-video bung Karno yang asli saat melakukan pidato
serta kegiatan beliau yang lain. Dan penggunaan suara asli Bung Karno pada saat
adegan pembacaan teks Proklamasi akan mampu membuat penonton merinding. Suara pembacaan
teks Proklamasi yang sama apabila kita mendengarkannya di salah satu bagian di
Monas.
Namun begitu, film “Soekarno” hadir
bukan tanpa kekurangan, film ini terlihat kurang
berhasil men-deliver dengan baik
penokohan Sukarno. Ini terlihat dari
alur penceritaan yang sangat standar, yang diketahui secara umum saja. Entah
buku referensi apa yg dipake sang penulis skenario (Ben Sihombing dan Hanung
Bramantyo) ketika membuat skenario, tapi penceritaan dalam film ini, terasa
seperti membaca buku wajib sekolah dasar dalam mata pelajaran sejarah.
Sebetulnya, banyak buku referensi yg menulis kisah tentang Sukarno, dan
rata-rata isi buku tersebut sangat menarik. Misalnya saja, “Kuantar Kau Ke Gerbang”
(buku yang bercerita tentang Inggit Ganarsih),
“Fatmawati” (buku yg berkisah tentang ibu Fatmawati), Sukarno My Friend karya Cindy adams. Dan sayang sekali bahwa cerita
tentang Sukarno yang diangkat di film ini hanya sebatas Sukarno 'dipermukaan'
seperti yg ada di buku2 sejarah anak Sekolah Dasar.
Cukup jelas terlihat
bahwa film “Soekarno” ini seperti film yang “cari aman”. Dengan materi yang
komersil dan hanya mencapai kata “Pas”, sehingga Hanung Bramantyo kurang
terlihat mengeksplor karakter Soekarno, yang sebetulnya sangat dinamis dan
memiliki sisi-sisi yang penting dalam perjalanan dirinya sebagai individu atau
sebagai seorang tokoh sejarah besar di Republik ini. Kembali lagi, apakah ini
terjadi, entah mungkin dari referensi yang didapat atau hanya mencari aman demi
kepentingan komersil?
Walau terdengar ada
wacana bahwa Hanung Bramantyo akan membuat “Soekarno” versi lain dengan sudut
pandang berbeda yang diperuntukan untuk Festival Internasional atau rencana
akan dibuat Trilogi Bung Karno, tapi bukan berarti harus melupakan kedalaman penokohan
cerita yang akhirnya hanya menawarkan fakta yang telah biasa diketahui oleh
orang banyak dan tidak menawarkan sesuatu yang bisa dijadikan pegangan lebih
untuk publik.
Lalu, kehilangan fokus,
jelas terjadi di pertengahan film. Beberapa adegan yang seharusnya menjadi
konflik yang lumayan dapat menarik perhatian penonton, jadi terlihat biasa saja,
bahkan datar. Adegan ketika Inggit berbincang dengan Sukarno mengenai masa
depan hubungan mereka, misalnya. Jelas ini adalah adegan yang harusnya memiliki
nilai emosi yang dalam bagi penonton. Namun apa yang ditampilkan hanya seperti
dua orang yang sedang berbicara sesuatu yang biasa dan seolah tak memiliki
makna penting dalam hidup yang dilakukan di malam hari. Perasaan kemelutnya tak
sampai.
Lalu, terlihat juga beberapa
konflik tidak mencapai klimaks yang pas dan terkesan hanya sekedar
menceritakan. Penonton tidak dibuat terikat dalam kisah Bung Karno malahan
untuk sebagaian penonton yang tak terbiasa dengan film drama seperti ini,
mungkin akan menguap dan mengeluh mengantuk saat menonton film ini
dipertengahan alurnya.
Terlalu banyak aspek
yg mau 'diceritakan' di film ini, terlalu banyak peristiwa yang mau dirangkum
hingga cerita cenderung 'hilang fokus', mau bicara kisah cinta? heroisme? Atau
history kah? Entahlah. Yang jelas semua aspek itu campur aduk, tumpang tindih,
bolak balik dalam sebuah film berdurasi 2 jam lebih. Jangan berharap film biopik ini akan seperti film
Keneddy, Mandela atau Thatcher. Sang penulis skenario tidak berani mengambil
sudut pandang yang berbeda dari yang sekedar orang awam telah ketahui tentang
Sukarno.
Namun begitu, terlepas dari kekurangan
serta segala konflik serta perseteruan yang ikut “meramaikan” dalam produksi
“Soekarno”, film ini diprediksi akan mampu untuk meraih jumlah penonton yang
banyak. Promosi dan pemasaran film ini sangat baik, dan mungkin memang memiliki
anggaran yang cukup untuk itu. Lalu juga, film “Soekarno” diberkahi dengan cast yang sudah mumpuni, seperti Ario
Bayu, Lukman Sardi yang piawai menghidupkan karakter Moh. Hatta, Tanta Ginting
yang mampu menampilkan sifat keras dan tegasnya namun sangat cinta pada Tanah
Air dalam memerankan Sjahrir, dan jangan lupakan penampilan AA’ Jimmy, walaupun
perannya sebagai anak buah Sjahrir dan perannya sedikit, namun mampu menarik
perhatian penonton diparuh akhir film.
Dengan mengangkat kisah sosok yang
dicintai bangsa dan cukup “Komersil” bila difilmkan, mungkin saja rakyat
Indonesia berbondong-bondong menyaksikan “Soekarno” di bioskop seperti layaknya
ketika menyerbu film “Habibie dan Ainun”. Dan film “Soekarno” ini cukup layak
untuk ditonton oleh bangsa Indonesia yang ingin lebih mengenal sosok
proklamator negeri ini, walaupun pada akhirnya, pemahaman yang bisa didapat
dari film ini hanya sosok Soekarno yang biasa-biasa saja, seperti yang tertulis
di buku-buku sejarah sekolah. Namun, tetap saja ini bisa menambah referensi
edukatif dalam sejarah, karena memang sesungguhnya film adalah sarana edukasi
yang cukup efektif, bagi yang memikirkannya.
Nb : Review ini dibuat oleh Saya bersama (Suhu Saya) Mas Reiza Patters
KOMUNITAS : GudangFilm
“Untuk apa nonton film Indonesia? Gak berkualitas. Tiket
bioskop kan mahal mending nonton film Hollywood”. Yang barusan adalah salah
satu contoh pernyataan cukup “menyakitkan” dari beberapa penonton bioskop di
Indonesia dikala diajak nonton film
Indonesia. Kini calon penonton ketika menghampiri tempat penjualan tiket di
Bioskop kebanyakan lebih memilih film-film “blockbuster” khas Hollywood
dibanding film lokal yang saat itu juga tayang. Film Lokal seperti diacuhkan
dinegeri sendiri. Daripada harus menonton dibioskop, beberapa penonton pun
lebih memilih menunggu di televisi atau mendownload di Internet film-film
Indonesia. Dampaknya, jumlah penonton Indonesia yang memperihatinkan. Jangankan
untuk menembus 1 juta penonton, 100ribu-pun Film Indonesia sudah kembang-kempis
untuk menembusnya. Suatu fakta yang cukup memprihatinkan terhadap kondisi
penonton bioskop film Indonesia.
Atas keprihatinan akan kondisi tersebut serta diiringi rasa
cinta dan keinginan mendukung film lokal, beberapa anak muda yang berdomisili
di Jakarta membentuk komunitas Gudangfim. Komunitas yang terbentuk pada 1
januari 2013 ini terbentuk akan kesadaran bahwa Film Indonesia tak berarti
apa-apa tanpa penontonnya. Dengan mengusung Jargon “Gerakan Nonton di Bioskop”,
Gudangfilm mengajak masyarakat Indonesia secara luas untuk menonton film-film
Indonesia di Bioskop. Tentu dengan harapan perfilman Indonesia mampu terus
“eksis” di negerinya sendiri.
Dalam Pergerakannya, Gudangfilm mengajak orang-orang untuk
menonton film Indonesia melalui kegiatan “Nobar” singkatan dari “Nonton Bareng”
yang merupakan kegiatan inti dari komunitas ini. Kegiatan Nobar yang dilakukan
oleh Gudangfilm bersifat terbuka sehingga bisa diikuti oleh siapapun tanpa
terkecuali. Karena bisa diikuti oleh siapapun, tak sedikit GFers (sebutan bagi
penonton yang mengikuti nobar bersama Gudangfilm)bisa saling kenal dengan
teman-teman baru sesama penyuka film Indonesia dan tentu saja bisa bertukar
pikiran sesama penonton film mengenai film yang baru saja ditonton.
Dalam kegiatan Nobar, Gudangfilm juga mengundang Cast dan
Crew film yang akan di-Nobar-kan agar
penonton dapat dekat dengan sosok yang selama ini mungkin hanya bisa mereka
temui di televisi atau di layar bioskop.
Cast dan Crew akan “menemani” para penonton menikmati film yang mereka
buat sehingga para pembuat film-pun dapat mengetahui respon langsung dari
penonton filmnya dan disisi penonton mereka dapat merasakan “atmosfer” menonton
dengan cast dan crew film yang mungkin saja adalah artis atau idola mereka
sehingga ada rasa kesenangan tersendiri dan pengalaman lain saat menonton.
Setelah menonton, penonton pun bisa melakukan sharing kepada cast dan crew film
terhadap film yang baru saja ditonton. Interaksi antara pembuat dan penikmat film ini
pun mungkin saja akan memperluas rasa cinta terhadap film lokal sehingga tidak
akan ada lagi rasa enggan untuk menonton film Indonesia di bioskop.
Selama hampir satu tahun ini Gudangfilm terus konsisten
dalam mengadakan Nobar. Setidaknya ada 1 hingga 3 film yangdibuatkan Nobar tiap
bulannya. Nobar pertama Gudangfilm adalah ketika mereka membuat nobar “Mika”
pada tanggal 15 Januari 2013. Nobar yang cukup mendebarkan bagi mereka karena
selain merupakan pengalaman pertama, pendaftaran dan pendataan dilakukan dalam
waktu yang singkat yaitu 3 hari. Total Gudangfilm telah membuat 15 Nobar sejak
terbentuk. Beberapa film yang pernah dibuatkan nobar antara lain Belenggu,
Tampan tailor, Finding Srimulat, Cinta Dalam Kardus, Coboy Junior the Movie Dan
La Tahzan. Selain di Jakarta, Gudangfilm juga pernah melangsungkan Nobar di
Kota lain seperti di Bandung saat Gudangfilm
melangsungkan Nobar Air Mata Terakhir Bunda.
Selain Nobar, kegiatan lain yang dilakukan Gudangfilm adalah
Diskusi Film. Diskusi Film pertama yang dilakukan oleh Gudangfilm adalah
Diskusi film serta Screening film karya Anggy Umbara di SAE Institute Agustus
2013. Film karya Anggy Umbara yang diputar dan menjadi bahan diskusi adalah
Coboy Junior the Movie dan Mama Cake. Pada 29 Oktober 2012, Gudangfilm bersama
majalah Kinescope melangsungkan nobar film klasik nan legendaris Indonesia
‘Tjoet Nja’ Dien” (1988). Tjoet Nja’ Dien merupakan film karya sutradara Eros
Djarot yang memiliki banyak prestasi diantaranya menyandang Best International
Film pada Festival Film Cannes pada tahun 1989. Nobar Tjoet Nja’ Die merupakan langkah
sangat positif yang memiliki tujuan mulia sebagai bentuk apresiasi terhadap
warisan budaya bangsa berupa film agar terus lestari dan dikenal oleh generasi
sekarang. Gudangfilm juga turut serta
dalam “Pasar Seni Jakarta” yang berlangsung pada 3-5 Desember 2013 di Parkir
Timur Senayan. Dengan kembali bekerjasama dengan Majalah Kinescope, Mereka
membuat sebuah “Bioskop Mini” di tengah hiruk-pikuk keramaian Pasar Seni
Jakarta. “Bioskop Mini” menayangkan
beberapa film Indonesia yang terkenal seperti Tjoet Nja’ Dien, Rumah Dara, Mama
Cake, Coboy Junior The Movie dll. Hasilnya, “Bioskop Mini” Gudang Film dan
Majalah Kinescope mendapat apresiasi yang baik dari pengunjung dengan lumayan
banyak pengunjung yang mampir dan terhibur dengan film-film yang disajikan.
Melalui akun twitter, @_Gudangfilm, Komunitas ini secara
konsisten memberikan info-info mengenai film. Baik Film yang sedang tayang,
akan tayang hingga film-film yang telah tayang beberapa tahun lalu namun masih
menarik untuk dibahas. Tidak hanya film lokal, mereka juga menginfokan mengenai
berita berita film mancanegara. Melalui akun twitternya, Gudangfilm juga sering
menginformasikan kegiatan yang akan atau telah dilakukan. Sehingga bila ingin
mengetahui mengenai kegiatan seperti Nobar, bisa dicek timeline twitter mereka.
Selain Twitter, Gudangfilm memiliki blog Gudanggfilm.blogspot.com. Dalam blog
ini pengunjung bisa mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang akan di
lakukan, report serta foto-foto kegiatan yang telah berlangsung, dan review
film-film yang ditulis oleh para anggota dari Gudangfilm.
Kini anggota Gudangfilm semakin hari semakin bertambah
seiring dengan kegiatan yang mereka jalani. GFers terdiri dari beragam profesi
dan latar belakang seperti Mahasiswa dari berbagai jurusan seperti akuntansi,
IT, Jurnalistik dan sebagainya , pelajar, karyawan, baik muda hingga tua,
mereka terhimpun dalam komunitas yang memiliki jargon “Gerakan Nonton di
Bioskop”. Harapan mereka sederhana, dengan rasa cinta dan semangat mendukung
film Indonesia, mereka ingin Film Indonesia menjadi Primadona di negeri sendiri
dan menyadarkan bahwa tidak rugi untuk menonton film Indonesia di bioskop
malahan turut serta membangun industri kreatif bernama Film dinegeri ini. Mari
nonton film Indonesia di Bioskop!
REVIEW : Killer Toon (2013)
Genre film horror di Korea mungkin masih kalah pamornya
dengan genre Thriller yang lebih sering
diproduksi oleh “negeri gingseng”. Genre thriller Korea bisa dibilang lebih
banyak memiliki cerita yang menarik dan variatif dibanding horror Korea. Sebut
saja film thriller mengenai balas dendam “I Saw The Devil” yang mampu membuat
saya beberapa kali menahan napas dan “kegirangan” melihat adegan “keras” yang
ditampilkan di film tersebut atau “Oldboy” yang mampu bicara banyak di kancah dunia
hingga Hollywood me-remake film masterpiece karya Park Chan Wook ini. Apalagi
bila harus membandingkan film horror Korea dengan tetangganya “Jepang” yang
terkenal memiliki segudang cara jitu membuat penonton ketakutan hingga loncat
dari kursi ketika menonton film- film horror produksi “negeri matahari terbit” ini. Bukan berarti Korea tidak punya film
horror yang menyeramkan, sebut saja “A Tale of Two Sisters” namun film horror
Korea kebanyakan memiliki “formula” yang sama dan cenderung repetitif dalam film-filmnya.
Sehingga bisa dibilang genre horror Korea kurang diminati bahkan dinegaranya
sendiri.
Ditengah kurang bergairahnya film horror Korea, “Killer Toon”
muncul memberikan sebuah “gebrakan”. Secara tidak diduga, “Killer Toon” mampu
merajai Box Office Korea dan mampu menembus 1 juta penonton dalam penayangannya
di Korea. Tentu saja ini merupakan prestasi bagi “Killer Toon” yang merupakan
film horror pertama yang mampu menembus 1 juta penonton setelah sebelumnya
“Death Bell” pada tahun 2008. Lalu apa yang membedakan “Killer Toon” dengan
film horror Korea yang lain? Apa kunci suksesnya?
Dibawah rumah produksi CJ Entertaiment,” Killer Toon” menyuguhkan
hal menarik dengan menggabungkan film “Live Action” yang tersaji dengan visual
yang baik dan cantik dengan animasi dan ilustrasi komik yang berkarakter
membuat film ini memiliki ciri khas berbeda dengan film horror Korea yang lain.
Hal ini tidak lepas dari sang sutradara, Kim Yong-Gyun yang mampu merealisikan
dengan baik naskah hasil Lee Sang-hak
yang mampu melihat dengan jeli fenomena webcomic yang sedang digandrungi di
Korea menjadi sebuah cerita yang mampu membuat penonton berjerit ketakutan.
“Killer Toon” berkisah tentang Kang Ji-yoon (Lee Si-young) seorang
komikus terkenal yang harus terkait terhadap kasus kematian misterius yang
ternyata berhubungan dengan karya-karya webcomic-nya. Beberapa kasus kematian
mengerikan yang terjadi dikehidupan nyata terlihat persis seperti yang
tergambar pada ilustrasi webcomic yang
dirilis oleh Kang ji-yoon. Hal ini tentu saja membuat Lee Ki-cheol (Um
Ki-joon), seorang dektektif berhasrat untuk memecahkan misteri ini. Lee
Ki-Cheol menelusuri keterkaitan antara komik-komik karya Kang ji-yoon dengan
serangkaian kematian mengerikan yang akhirnya akan membawa sang detektif kepada
kenyataan yang mengerikan serta menunjukan sisi gelap manusia.
Film yang memiliki judul Korea “Deo Web-tun: Yeo-go-sal-in” ini
jelas merupakan horror misteri berbalut supranatural hantu-hantu-an dengan kutukan
web-comic sebagai premise yang menjadi andalan dalam film ini. Film dibuka
dengan adegan pembunuhan sadis nan mengerikan serta misterius terhadap seorang
editor yang tersaji dengan apik dengan balutan visual yang cantik serta penambahan
efek komikal membuat film ini enak dilihat serta meninggalkan misteri dan rasa
penasaran disetiap adegannya. Hal ini membuat saya “duduk cantik” dibangku
bioskop dan sangat siap mengikuti misteri yang ada pada film ini.
Atmosfir
menyeramkan terbangun baik dalam film ini. Ya memang bisa dibilang cara
sutradara yang pernah menggarap Red Shoes pada tahun 2005 ini dengan membangun
atmosfir mengerikan menjadi “Jualan” utamanya. Ya memang hakikatnya film horror
dibuat untuk membuat penontonnya menjerit ketakutan. Penampakan hantu yang
cukup variatif tidak itu-itu saja menjadi nilai plus pada film ini. Sesekali
saya pun kaget dan mendengar jerit penonton (lebih banyak wanita) saat hantu
menampakan diri. Namun yang menjadi perhatian saya adalah berbagai twist yang
ada dalam film ini. Kim Yong-Gyun mampu meramu twist dengan sangat
baik dan cukup membuat film ini jadi makin misterius. Namun, perubahan karakter
tokoh dalam film ini terasa agak dipaksakan seiring berjalannya film. Paruh
akhir film saya mendapatkan cirri khas dari film Korea, iya melodrama khas
Korea terasa dibagian akhir. Korea yang terkenal dengan film drama yang mampu
menyentuh hati pun mampu “meng-invasi” hingga ke film horrornya. Tidak masalah
memang, mungkin ini maksud dari Killer Toon untuk memberikan rasa lain dalam
filmnya.
Terlepas dari semuanya, Killer Toon merupakan film horror Korea
yang dari cukup mengerikan dan mampu menakut-nakuti penonton. Bisa dibilang ini
adalah film horror Korea yang memuaskan ditengah lesunya film horror disana.
Misteri yang terdapat dalam film ini juga mampu membuat rasa penasaran untuk
terus mengikut setiap kasus serta fakta yang ditampilkan pada setiap adegannya.
Twist-twist yang terdapat dalam film ini juga terasa ampuh. Selain kisah yang
berbalut misteri yang baik, tentu saja pengaruh web-comic yang booming disana
menjadi hal pendukung keberhasilan film ini dalam meraih jumlah penonton yang
banyak.
Tokoh : Charlie Chaplin
“My pain may be the reason for somebody's laugh.
But my laugh must never be the reason for somebody's pain.” – Charlie Chaplin
Ketika sedang bernyanyi dipanggung sebuah teater, Seorang
penyanyi wanita yang telah habis masa jaya-nya tiba-tiba kehilangan suaranya.
Kejadian tersebut sontak membuat penonton mengejek sang penyanyi. Namun seorang
anak kecil sekitar umur 5tahun tiba-tiba naik keatas panggung dan bernyanyi
dengan ekspresi dan tingkah yang lucu. Suasana yang tadinya penuh dengan rasa
kekecewaan penonton berubah menjadi tawa bahagia. Anak kecil tersebut adalah
anak dari si penyanyi perempuan. Anak tersebut adalah Charlie Chaplin.
Charlie Spencer Chaplin lahir di East Street, Walworth,
London, Inggris pada 16 April 1889. Mengawali karier sebagai “Artis Panggung”
dalam kelompok komedi slaptik “Fun Factory” dibawah asuhan Fred Karno. Bersama
kelompok Fred Karno, Charlie menjajahkan kaki ke Amerika dengan mengikuti
pertunjukan keliling pada tahun 1910-1912. Pada tahun 1913, Charlie bertemu
Mark Senneth, seorang produser serta sutradara yang terkenal dengan karya-karya
film komedi pada masanya. Mark Senneth terkesan dengan penampilan Charlie dan
mengontraknya untuk bermain dalam film “Making a Living” yang rilis pada tahun
1914. “Making a Living” merupakan
penampilan pertama Charlie Chaplin di layar perak.
Charlie Chaplin dikenal dengan perannya yang ikonik dan
melegenda sebagai “The Tramp”. “The Tramp” digambarkan sebagai sosok pria
gelandangan memakai topi bowler, celana longgar, sepatu kebesaran, selalu memegang
tongkat kayu serta kumis petak yang sangat khas. Gaya Charlie yang khas
membawakan “The Tramp” yang seperti badut dengan mimik muka yang ekspresif serta
gerakan akrobatik yang indah membuat ‘The Tramp” dengan mudah mencuri
perhatian orang banyak. Karakter “The Tramp” pertama kali dikenalkan pada film
kedua Charlie “Kid Auto Races at Vinice (1994). Lebih dari 70 film dari
keseluruhan film Charlie Chaplin yang menggunakan karakter “The Tramp”.
Tidak hanya dikenal sebagai komedian yang kreatif, Charlie
Chaplin juga dikenal sebagai produser, sutradara, penulis naskah hingga mengaransemen
musik. Sebagian besar film Charlie Chaplin disutradarai olehnya sendiri. Kesuksesan
Charlie Chaplin tentu menghasilkan pundi-pundi uang untuk dirinya, dengan
pendapatan $10.000 per minggu, Charlie Chaplin bisa dikatakan aktor dengan
pendapatan tertinggi pada masanya. Dengan kekayaannya, Charlie Chaplin mampu
membangun studionya sendiri di Hollywood
pada tahun 1918 dan pada tahun 1919 mendirikan sebuah distributor film bernama
“United Artists” bersama Mary Pickford, Douglas Fairbanks, dan D.W. Griffith.
“City Light” yang rilis pada tahun 1931 merupakan salah satu
karya masterpiece dari sang komedian legendaris ini. “City Light” merupakan
sebuah pembuktian Charlie Chaplin bahwa film bisu masih mempunyai tempat bagi
penonton film ditengah film bisu mulai ditinggalkan karena dunia telah mengenal
film bersuara. Namun kehebatan Chaplin membuat “City Light” menjadi film
terlaris Chaplin dengan raihan yang luar biasa besar pada zamannya sebesar
$5,019,181.
Kisah The Tramp yang jatuh cinta dengan gadis buta penjual
bunga dalam “The Tramp” tidak hanya mampu menghasilkan banyak uang bagi
Chaplin. Namun, dari segi kualitas film ini menyuguhkan performa akting yang
menawan serta menampilkan sisi romantis dalam diri Charlie Chaplin. Penonton
akan dibuat tertawa dengan tingkah laku The Tramp dan dibuat terenyuh dengan
perilaku romantis karakter dengan kumis petak ini. Tak heran banyak kalangan
menyebut “City Light” adalah film yang mempunyai pengaruh kuat dalam perfilman
dunia serta sering dimasukkan sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa oleh
versi manapun. Dengan ending yang manis di film ini, Kritikus majalah Life,
James Agee pada tahun 1949 menyebutnya sebagai “Potongan akting yang paling
hebat yang pernah direkam seluloid”.
Charlie Chaplin cukup jeli terhadap isu-isu sosial disekitarnya dan menuangkannya sebagai sebuah
karya Film. “Modern Times” yang rilis pada tahun 1936 “Menyentil” manusia yang
mulai tergantung dengan kecanggihan mesin. Keterpurukan Wall Street pada tahun
30an dan banyaknya pengangguran di Amerika karena pengusaha merumahkan beberapa
pekerjanya dan memilih menggunakan tenaga mesin dijadikan bahan inspirasi
Chaplin dalam berkarya. “Modern Times” merupakan film Charlie Chaplin pertama
yang menggunakan dialog yang keluar dari benda mati seperti radio dan pesawat
televisi. Sebuah inovasi terbaru dalam film Bisu. Pada “Modern Times” lah
Charlie Chaplin “mengeluarkan suaranya” dalam film dengan sebuah lagu di akhir
film.
Charlie Chaplin pun mengkritik ranah politik dengan
mengangkatnya dalam sebuah film. Melalui “The Great Dictator” menyindir gaya
diktator dari pemimpin Nazi Adolf Hitler. Charlie Chaplin menampilkan seorang diktator
yang semena-mena namun dibalut dengan komedi. Terlihat Charlie Chaplin berusaha
keras menghidupkan sosok sang diktator dengan mempelajari cara Hitler berbicara
dan gerak-geriknya. Walau dalam pembuatannya Charlie ditentang oleh beberapa
pihak seperti kakaknya sendiri, namun Charlie tetap memproduksi film ini walau
beberapa orang menghujatnya sebagai komunis. “The Great Dictator” merupakan
awal transisi Charlie Chaplin kedalam film bersuara dan meninggalkan karakter
The Tramp.
Walau selalu gagal apabila dinominasikan dalam kategori Best
Actor dan Best Director Oscar, dunia mengakui bahwa Charles Chaplin adalah
sosok berpengaruh dalam perkembangan film didunia. Hingga pada tahun 1972 pada
Academy Awards ke 44, diusianya yang telah menginjak 83tahun, Charlie Chaplin
mendapat penghargaan “Honorary Awards” atas pengaruh tak terhingganya yang
dibuatnya dan menjadikan film sebagai bentuk seni abad ini. Sebuah momen
mengharukan yang manis bagi Charlie Chaplin. Saat Chaplin menerima penghargaan,
Chaplin mendapatkan Standing Ovation selam 5 menit penuh dan menjadikan
Standing Ovation terlama sepanjang dan tentu saja mengharukan sejarah Oscar. Pada
usianya yang ke 86, Charlie Chaplin mendapatkan gelar Knight Commander of the
British Empire (KBE) oleh Ratu Elizabeth II pada Maret 1975.
Charlie Chaplin menutup usia pada 25 Desember 1977 disaat
umurnya 88 tahun di Vevey, Swiss. Selama hidup, Charlie Chaplin telah membuat
81 film dan menjadikan dirinya sebagai salah satu aktor terbesar dan
berpengaruh sepanjang masa. Charlie sempat menulis kisah hidupnya dalam sebuah
buku berjudul “My Autobiography” pada tahun 1964. Kisah hidup Charlie Chaplin
juga dibuat dalam bentuk film berjudul “Chaplin” pada tahun 1992 yang
disutradarai oleh Richard Attenborough dan “Sang Ironman” Robert Downey Jr.
yang memerankan sosok komedian legendaries ini.
Selasa, 14 Januari 2014
Video singkat untuk publikasi Pameran "Sok A Six"
"Sok A Six"
Rohman Sulistiono
Durasi : 0 : 26
2014
Terimakasih kepada : Dhado Wacky, Muchlis "Daftpig" Fahri, Dheeka Dagu, Nurhadi GMBL, MKSP, Bang Kidol, Eci, Fira, Rizky Ponga Alfa Rifky Jamal, dan Nanda Wheelys.
Langganan:
Postingan (Atom)