Senin, 18 Mei 2015

Review : Epen Cupen The Movie (2015)



Pasca keberhasilan luar biasa baik secara komersil maupun kualitas yang ditorehkan Comic 8 pada awal tahun 2014 lalu, para comic (Sebutan dari pelaku Stand Up Comedy) yang terlibat dalam film komedi-aksi tersebut perlahan menunjukkan eksitensi di dunia perfilman Indonesia. Para comic kini laris manis menghiasi beberapa judul film dari berbagai genre baik sebagai pemeran utama maupun sebagai pemain pendamping. Tak dipungkiri, para comic punya pesona komedi yang dianggap fresh dan mampu menggaet penonton khusunya para penonton muda. Salah satu dari mereka adalah Babe Cabita dimana dampak dari penampilannya di Comic 8 pria berambut kribo ini mulai malang melintang menghiasi layar lebar. Dan yang terbaru adalah film komedi-aksi berjudul, Epen Cupen The Movie.

Epen Cupen The Movie berkisah tentang Celo (Klemen Awi), pemuda asal Papua yang mendapat mandat dari ayahnya untuk mencari saudara kembarnya yang terpisah sejak kecil. Dalam perjalanan mencari saudara kembarnya, Celo bertemu Babe (Babe Cabita) seorang pengusaha bangkrut asal Medan dan Celo pun meminta bantuan kepada Babe untuk membantu mencari saudara kembarnya yang hilang. Pertemuan antara mereka berdua menyeret mereka dalam beberapa masalah hingga akhirnya tanpa disengaja terdampar di Jakarta dan terlibat diantara dua kelompok gangster  yang sedang berseteru.

Melalui Epen Cupen The Movie, Irham Acho Bachtiar kembali mencoba mengeksplorasi potensi dari tanah kelahirannya Papua kedalam format film. Bila melihat rekam jejaknya di dunia perfilman, Irham Acho Bachtiar selalu konsisten melibatkan wilayah paling timur Indonesia ini kedalam karya-karyanya. Film pertamanya yang berjudul Melodi Kota Rusa pada tahun 2010 dapat dikatakan sebagai kebanggaan Papua karena seluruhnya digarap oleh anak asli Papua. Walaupun tayang terbatas, namun antusias terhadap film ini cukup besar melihat 1000 keping DVD terjual hanya dalam waktu 2 minggu di Papua. Setahun kemudian, Irham merilis film adventure yang masih melibatkan Papua didalamnya berjudul “Lost in Papua”. Dan 4 tahun setelahnya, Irham mencoba mengangkat budaya lokal bidang komedi di Papua bernama mop Papua. Epen Cupen The Movie sendiri diadaptasi dari webseries yang cukup terkenal berjudul Epen Cupen yang berarti “emang penting cukup penting”. Dalam webseriesnya, Epen Cupen menyuguhkan sebuah lawakan yang terkesan lugu namun cerdas yang diangkat dari interaksi kehidupan sehari-hari dalam bentuk sketsa-sketsa singkat. Dalam  filmnya, Epen Cupen selain tetap bertahan dengan ciri khasnya juga diperkaya dengan elemen-elemen lain seperti deretan adegan action dibeberapa adegan serta lawakan khas Stand-up Comedy sebagai variasi komedi yang disuguhkan ke penonton.

Awal film sangat menjanjikan bagaimana pembangunan karakter Celo dengan latar belakang keluarga serta atmosfer kampung halamannya mampu memberikan harapan jikalau film ini bergulir dengan sangat menyenangkan serta menghibur sepanjang film. Hal tersebut diperkuat dengan kemunculan karakter Babe dan pertemuannya dengan Celo yang akhirnya membentuk sebuah chemistry kuat dengan karakternya masing-masing. Celo dengan kekuatan dialek Papua-nya serta keluguannya dan Babe dengan ceplas-ceplosnya. Konsistensi karakter inilah membuat setiap Celo-Babe saling tektok  melempar dialog dan becandaan dengan mudah mampu mengundang tawa dari penonton.

Dengan performa menawan dari duet Celo-Babe serta cerita yang punya potensi mengundang tawa di paruh awal film, membuat film ini diharapkan menyuguhkan hiburan yang fresh dan mengundang tawa penonton terus menerus sepanjang film. Namun, harapan tinggallah harapan. Menginjak paruh kedua film, tepatnya saat petualangan Celo-Babe bersetting di Jakarta, tensi humor-pun menurun dan film terasa menjemukan. Hal ini dikarenakan penceritaan film yang melebar serta banyaknya karakter pendamping turut ambil peran namun tidak dibarengi dengan skrip yang kuat. Hasilnya, hampir berantakan. Walau diakui masih dapat terhibur dibeberapa bagian, namun kegaringan yang disuguhkan dalam Epen Cupen The Movie memang tak bisa dipungkiri. Para karakter yang muncul di paruh kedua film pun tampil seadanya dan hanya sedikit memberikan hiburan. Mereka tak lebih dari fasilitator kelucuan Celo-Babe dan siap dilupakan begitu saja oleh penonton. Film ini masih beruntung memiliki duet Celo-Babe dimana mereka tampil konsisten dalam melucu dan punya chemistry kuat sehingga film ini tak jadi film komedi yang tidak komedi sama sekali.

Klemens Awi dan Babe Cabita sukses menjadi bintang di film ini serta menjawab tanggung jawab mereka sebagai aktor utama. Yang unik dari mereka adalah bagaimana mereka terasa sepenuh hati melakoni karakter mereka masing-masing dengan gaya komedinya masing-masing. Walau jauh berbeda gayanya, keduanya tak saling timpang-tindih apalagi menonjol sendiri, keduanya saling bersinergi dan menghasilkan sebuah dialog serta adegan yang sangat menghibur. Duet Celo-Babe yang dibangun sangat baik membuat setiap tingkah laku mereka menjadi lucu, bahkan setiap adegan yang melibatkan mereka berpotensi untuk lucu dan seakan penonton sudah siap-siap untuk dibuat tertawa tiap kali mereka ada dilayar. Bahkan mereka diam dan memasang wajah datar pun penonton tetap bisa tertawa. Namun apa yang diberikan Klemens Awi-Babe Cabita terhadap film ini tidak sebanding dengan apa yang karakter lain perbuat kepada Epen Cupen The Movie. Sebenarnya tak perlu diragukan lagi potensi yang dimiliki oleh Edward Gunawan serta Marissa Nasution melihat jam terbang mereka di perfilman Indonesia. Tapi apa yang disuguhkan mereka adalah sebuah akting yang kaku, canggung dan seadanya saja. Karakter yang mereka mainkan jadi tak berkesan apa-apa, ketika dilibatkan untuk memainkan adegan berkonten komedipun hasilnya malah garing dan basi. Sepertinya mereka siap hanya sebagai pelengkap cerita dalam Epen Cupen The Movie lalu dilupakan begitu saja. Dan yang paling disesalkan adalah beberapa komedian yang terlibat tapi tidak dimaksimalkan dengan baik untuk mengundang tawa penonton. Penampilan Temon dan Fico tak lebih seperti figuran biasa yang sebenarnya bukan komedian-pun bisa memerankan karakter mereka. Terlebih Fico, comic seangkatan dengan Babe Cabita dalam Stand Up Comedy tak berdaya dalam film ini. Penampilannya kelewat serius dan menyia-nyiakan potensi yang dimilikinya. Ada adegan dimana Fico punya ruang cukup lama untuk melontarkan lawakannya serta ajang untuk unjuk kebolehan namun tidak dimaksimalkan dengan baik dan hasilnya sebuah lawakan yang garing dan sudah basi untuk sebuah film komedi.

Rentetan adegan aksi dalam film ini tak bisa dibilang mengecewakan namun tak juga istimewa. Efek serta tone warna saat adegan aksi berlangsung mengingatkan penonton akan film Comic 8. Beberapa adegan aksi sukses memamerkan spesial efek mereka serta tentu saja menghibur. Dan yang paling juara adalah aksi kejar-kejaran menggunakan bajaj yang tidak hanya seru namun juga mudah mengundang tawa penonton. Namun, beberapa adegan aksi bukannya semakin menguatkan sisi komedi dalam film ini malah jatuhnya jadi lebay. Adegan petarungan akbar antara dua geng besar menjelang akhir film seharusnya menjadi adengan aksi pamungkas dan klimaks dari film ini malah terlihat seperti anak-anak bocah main perang-perangan di lapangan kosong. Komedinya garing dan tidak ada gregetnya. Malah terkesan dalam penggarapan adegan ini dilakukan main-main karena sudah terlanjur terjebak dalam suasana komedi di lokasi syuting. Adegan yang semestinya punya potensi bagus sebagai adegan paling pamungkas dimana ada lawakan super gila dan rentetan aksi yang intense disia-siakan begitu saja. Amat disayangkan padahal sudah didukung dengan spesial efek yang lumayan baik.


Namun begitu, melalui Epen Cupen The Movie bisa dikatakan Irham Acho Bachtiar naik level dari segi kualitas dibanding film sebelumnya. Niat untuk mengangkat budaya daerah bernama mop Papua didampingi dengan lawakan yang sedang naik daun bernama stand up comedy bisa dikatakan berhasil dan menyuguhkan tontonan yang menghibur. Epen Cupen The Movie memberikan sebuah kolaborasi unik dari duet menawan bernama Celo dan Babe yang mampu memberikan nyawa sepanjang film dan menjadi juru selamat film ini dari kegaringan dan becandaan basi. Terlepas dari konsistensi penceritaan dan karakter pendukung yang tampil seadanya. Epen Cupen The Movie mampu memberikan tontonan yang cukup menghibur serta memberikan nuansa baru dalam genre film komedi Indonesia. Duet Celo-Babe masih sangat potensial untuk diberi kesempatan lanjut ke film selanjutnya dan bisa jadi seri film dengan duet komedian yang besar. Dengan catatan penggarapannya lebih maksimal dan harus jauh lebih baik dari yang sekarang. Agar film yang disuguhkan tak seperti hubungan cinta anak ABG, awalnya terlihat baik dan menjanjikan, namun kelamaan jadi membosankan dan mudah dilupakan. 

Jumat, 08 Mei 2015

(Review Short Film) How To Make A Perfect X’Mas Eve : A Perfect Traumatic To Make a Perfect X’Mas Eve





Dengan judul yang mengandung kalimat A Perfect X’mas Eve, How To Make A Perfect X’Mas Eve (HTMAPXE) jauh dari bayangan malam Natal sempurna yang ada dibenak penonton. Film ini tidak menggambarkan sebuah perayaan malam Natal selayaknya manusia normal yang penuh cinta kasih dan aroma kekeluargaan yang hangat.  Namun disitulah menariknya, HTMAPXE layaknya sebuah tutorial bagaimana membuat malam Natal yang tidak biasa dan lebih “berkesan”. Sebuah malam Natal sempurna dengan perspektif berbeda dari single lady bernama Gella Kuncoro.

HTMAPXE berkisah tentang Gella Kuncoro (Aimee Saras), perempuan muda yang membuat sebuah video tutorial tentang cara membuat malam Natal yang sempurna (dan beda dari biasanya tentu saja). Diawali dengan sosok Gella yang penuh semangat bersiap untuk memaparkan step demi step cara menghidangkan santapan malam Natal didepan kamera dan kemudian adeganpun berpindah dimana Gella merayakan malam Natal “romantis” berdua dengan seorang pria. Siapa sangka, dibalik penampilan manis berbalut dengan dress merah yang membuatnya terlihat anggun nan ayu, Gella memberikan kejutan istimewa untuk sang pria berupa adegan ranjang ala bondage yang tentu saja panas. Sudah dipastikan, ini menjadi malam Natal yang sempurna bagi Gella dan tentu saja tak terlupakan serta penuh surprise bagi si pria “beruntung” tersebut. Saat adegan demi adegan dimana Gella dan pria-nya berinteraksi, memori-memori kelam Gella saat perayaan malam Natal dengan keluarganya di masa kecil pun muncul dan memberikan sebuah trauma psikologis bagi Gella yang mana pengalaman pahit ini sangat berkontribusi membentuk karakter Gella seperti sekarang dan arah pandangnya untuk menikmati malam Natal.

Menurut plot dan latar pengisahannya, ada tiga plot cerita yang membangun HTMAPXE. Pertama, kisah cinta satu malam antara Gella dan pria bule beserta adengan ranjangnya. Kedua, masa kecil Gella yang kelam saat malam Natal bersama keluarganya dimana perlakuan KDRT ayah Gella yang keras terhadap istrinya dan apa yang terjadi malam tersebut memberikan trauma tersendiri dan mengubah arah pandang Gella terhadap malam Natal dan lelaki. Plot pertama dan kedua disuguhkan secara cut to cut bergantian, seakan bertabrakan namun di-blend dengan rapih dan mudah dinikmati. Dan hasil dari plot pertama dan kedua sukses membangun plot ketiga yang berupa tutorial memasak dengan sangat baik walau agak distrubing. Tanpa kontruksi menarik dari plot pertama dan kedua, plot tutorial ini akan terasa biasa saja. Dampak nyata dari gabungan baik plot pertama dan kedua adalah plot ketiga dalam film ini menjadi klimaks yang pas dan elegan serta punya rasa lebih yang akan membuat penonton terganggu (In a good way) karena latar kisahnya. Dan yang menarik adalah bagaimana ketiga plot yang ada di HTMAPXE disuguhkan dalam durasi 11 menit. Sebuah film yang efektif, padat, dan tahu bagaimana durasi yang singkat dapat dimanfaatkan dengan baik.

Monica Vanesa Tedja, sutradara dari HTMAPXE tahu betul bagaimana bermain-main dengan malam Natal dan menuangkannya dalam bentuk visual. Beberapa orang pasti masih teringat dengan adegan makan malam keluarga saat malam Natal di film Pintu Terlarang. Dengan tema yang sama, HTMAPXE memberikan kisah yang berbeda namun rasa yang sama, ngeri dan nyeri. HTMAPXE adalah film thriller yang mampu memanfaatkan atmosfer dan kekuatan naskah dengan baik. Walau tak ada adegan slasher berdarah-darah yang terlihat dengan frontal (namun ada adegan anggota tubuh yang dipotong dan diperlihatkan secara gamblang), HTMAPXE punya atmosfer yang mampu membuat penonton tetap merasakan kengerian. Penggunaan musik latar yang membuat aroma-aroma thriller semakin terasa dan mencekam. Sebagai contoh adegan awal yang secara visual terlihat seorang gadis cantik bergaya depan kamera membuka sebuah tutorial namun dengan iringan musik yang terdengar thriller sekali membuat penonton bergumam, “pasti ada yang ga beres abis ini!”. Penggunaan lagu-lagu khas Natal pun dalam film ini dimanfaatkan dengan baik sebagai pendukung atmosfer dalam film ini. Terutama gubahan lagu Natal saat credit title bergulir, lagu Natal yang populer pun jadi sekelam Glommy Sunday.

Selain disokong dengan skenario yang baik, HTMAPXE juga terfasilitasi dengan teknis yang baik pula. Dari sisi sinematografi, kerja keras sang DOP, Hizkia Christian mampu menghasilkan gambar-gambar cantik dalam HTMAPXE. Beberapa adegan memang diambil dengan pergerakan kamera yang statis seakan hasil rekaman dari karakter Gella. Namun, gambar yang dihasilkan memiliki komposisi yang cantik dan mampu mewakili keseluruhan adegan sehingga tidak ada gambar yang miss atau atau sekedar footage seadanya. Hasil eksplorasi berupa shot dan angle dari sang DOP bisa dikatakan sukses dan membuat film ini terasa unggul dari segi teknis. Bidikan kamera yang dihasilkan pun terasa lezat, selezat masakan Gella (Bagi teman setipenya tentu saja). Editing dari Gamaliel Tapiheru pun bekerja dengan baik terutama pada paruh pertama film. Sang editor mampu mencampurkan adengan masa lalu dan masa kini dengan baik dan tidak terasa memusingkan walau dengan pace yang cenderung cepat. Yang membedakan scene masa lalu dan masa kini Gella adalah penggunaan tone warna. Pada masa kini warnanya tegas dan pada masa lalu warnanya agak senja. Tak ada tumpang tindih antara dua scene berbeda waktu tersebut walau kesannya saling bertabrakan.

Dan ada yang salah bila tak membahas penampilan sang primadona dalam film ini, Gella Kuncoro yang diperankan oleh Aimee Saras. Dalam ajang XXI Short Film Festival 2013, selain HTMAPXE ada satu film lain yang pemeran utamanya Aimee Saras yaitu Merindu Mantan karya Andri Cung dan Aimee Saras sama-sama tampil bagus dikedua film tersebut. Perempuan yang memiliki suara merdu kala menyanyikan lagu It’s Was June ini apabila dalam Merindu Mantan memerankan sosok wanita galau nan kelabu yang dirudung sedih , di HTMAPXE tampil sebagai wanita yang aktif, talkactive, dan gahar dibalik sikapnya yang anggun didepan pria incarannya. Kesamaan dua karakter Aimee Saras di film HTMAPXE dan Merindu Mantan adalah sama-sama korban disakiti hatinya oleh pria dan menggunakan cara tak wajar dalam pelampiasannya. Dalam merindu mantan sosok Aimee Saras merupakan korban sakit hati dari playboy kampung, di HTMAPXE wanita cantik ini korban dari KDRT yang dilakukan oleh ayahnya. Kesimpulannya adalah jangan pernah menyakiti hati perempuan, apalagi Aimee Saras. Aimee Saras mampu memerankan sosok Gella yang seperti sangat menikmati hidup dan friendly di balik sosok mengerikan yang ada didalam dirinya. Puncak performanya bukan saat adegan ranjang, melainkan saat adegan tutorial diparuh terakhir. Mampu menyelaraskan gesture tubuh dan akting menawan dengan intonasi suara yang jelas dan tegas serat dibumbui dark comedy sebagai bumbu adegan tutorial dengan bahan-bahan hasil buruan sendiri ini. Hasilnya, sebuah tontonan campur –aduk dimana penonton sebenarnya dibuat ngilu namun tidak lupa untuk terhibur. HTMAPXE semakin membuktikan bahwa Aimee Saras punya kualitas acting yang baik bahkan cenderung diatas rata-rata.

Dapat disimpulkan bahwa HTMAPXE adalah sebuah film pendek thriller yang mampu menyuguhkan keseluruhan cerita dengan efektif dan tepat sasaran. Didukung dengan naskah yang baik,kepiawaian dari  segi penyutradaraan, dan segi teknis seperti sinematografi, editing, hingga art department yang bekerja dengan maksimal membuat HTMAPXE terasa lezat selezat masakan yang dinikmati oleh Gella da kawan-kawannya di malam Natal sempurnanya. Tak berlebihan bila HTMAPXE terpilih menjadi film pendek terpilih versi IDFC (Indonesian Film Director Club) pada ajang XXI Short Film Festival 2013.




Catatan : Perlu diingat, jangan lukai perasaan Aimee Saras…