Jumat, 31 Januari 2014

REVIEW : Snowpiercer (2013)


Sekitar seminggu setelah terhibur dengan film Horror asal Korea Selatan, “Killer Toon”,, kini saya kembali “dihadapkan” dengan satu lagi film “Box Office” asal negara “Super Junior” tersebut. Ya akhir-akhir ini memang “Invasi” Korea pada negara ini tidak hanya melalui muka mulus boyband-girlband serta cerita Melodrama yang hampir tiap sore “nangkring” di televisi lokal melainkan juga dengan film-film yang tayang dibioskop lokal. Tentu hal ini bukan berarti sebagai hal yang negatif, sisi baiknya adalah penonton mempunyai pilihan lain dalam menonton film dibioskop selain film-film lokal serta tentu saja Hollywood yang merajai pasar. Film Korea yang rilis di Indonesia-pun mayoritas mampu dikategorikan “memuaskan” penonton. Tahun ini saja setidaknya ada “Miracle in Cell No.7”, “Mr.Go”, “The Flu” dan tentu saja “Snowpiercer” karya Bong Joon-Ho. Bong Joon-Ho adalah sutradara Korea yang namanya cukup “Wangi” di perfilman dunia. Bagaimana tidak, film-film karyanya bisa dibilang mengesankan . “The Host” contohnya yang rilis pada tahun 2005 mampu berdiri kokoh dipuncak “Box Office” Korea Selatan hingga saat ini. Bong Joon-Ho bisa dibilang sutradara asal Korea Selatan favorite saya selain kreator dari “Oldboy” yang juga memiliki nama besar di Korea Selatan,  Park Chan- Wook.

“Snowpiercer” menawarkan kisah “Post Apocalypse” dimana bumi kembali mengalami “Ice Age” setelah sebuah percobaan meluncurkan sebuah zat ke lapisan ozon yang bertujuan untuk menekan pemanasan global pada tahun 2014 berakhir gagal dan membuat bumi mengalami zaman es sehingga kehidupan dibumi pun berangsur-angsur punah. Para “Survivor” yang selamat dari keganasan dinginnya bumi mencoba bertahan hidup di sebuah kereta lokomotif yang sangat panjang dan bergerbong banyak bernama “Snowpiercer”.  Mereka yang selamat hidup dengan kesenjangan sosial yang sangat terasa didalam kereta. Terjadi “pembatas” antara si miskin yang tinggal di ekor dan si Kaya yang tinggal dibagian depan gerbong.  Merasa tidak diperlakukan adil dan keji, Curtis Everett (Chris Evans) bersama “Kaum Ekor” seperti Edgar (Jamie Bell) dan sosok yang dituakan serta dihormati Gilliam (John Hurt) merancanakan sebuah revolusi. Sebuah gerakan menuntut keadilan serta menjatuhkan kekuasaan sosok yang dianggap bak dewa bagi beberapa penghuni  “Snowpiercer”, Wilford (Ed Harris) karena Wilford-lah sang pembuat kereta “Snowpiercer” dan dianggap bak sosok yang suci karena menyelamatkan dari “kiamat” bagi orang-orang di gerbong depan. Namun bagi orang-orang digerbong ekor, Wilford-lah dalang dibalik kesengsaraan hidup mereka selama 17tahun di Kereta.



Awalnya saya berpikir bahwa “Snowpiercer” adalah film khas “Musim Panas” dengan balutan efek yang menawan serta bertujuan “hanya” sebagai penghibur penonton. Namun, Bong Joon-Ho membawa kisah yang diangkat dari novel grafis berbahasa Prancis dengan judul  asli “Le Transperceneige” ini kedalam cerita yang cukup berat dan penuh makna. Dengan tema yang dewasa berbalut beberapa intrik politik didalamnya membuat film ini tidak begitu saja “menyuapi” cerita dan makna dalam film kepada penonton. Penonton akan diperlihatkan sebuah miniatur kehidupan disetiap gerbong yang dilalui oleh gerombolan Curtis. Bong Joon-Ho mampu menyimbolkan dengan baik kereta dengan keadaan sosial dibumi sesungguhnya. Mengenal system kelas. Manusia dibatasi oleh “Gerbong-gerbong” berkedok kekayaan, jabatan, atau hal lain sehingga manusia yang miskin punya tempat sendiri, di ekor dengan  fasilitas sesuai dengan “kelas”nya. Si kaya yang mampu membayar lebih mempunyai tempat sendiri yang tidak mau diusik oleh kelas dibawahnya. Seperti layaknya ketika menaiki kereta. Kita akan dituntut memilih untuk menggunakan kelas mana. Ekonomi atau eksekutif? Dan kita akan menerima sesuai apa yang kita bayar.

“Snowpiercer” jelas tidak seperti film Bong Joon-Ho sebelumnya. Ada rasa Hollywood didalamnya. Ya memang ini adalah kesempatan emas bagi Bong Joon-Ho untuk mengharumkan namanya dikancah perfilman dunia serta mengikuti jejak teman senegaranya, Park Chon-Wook  yang telah lebih dulu menggarap film Hollywood “Stoker”. Bong Joon-Ho tentu saja tidak menyia-nyiakan “fasilitas” khas Hollywood yang dia dapatkan. Cast yang sudah terkenal dan mendunia, Special Effect yang menawan khas film-film blockbuster dan tentu saja kucuran dana besar mengiringi pembuatan “Snowpiercer”. Segala “kenikmatan” itu tidak lantas membuat Bong Joon-Ho “termakan”. Sentuhan sineas  yang juga terkenal dengan “Memories of Murder” tetap menunjukan ciri khas nya. Bong Joon-Ho tetap mampu meramu sisi estetis dan tematis menjadi sebuah tontonan yang berkualitas. Segala fasilitas Hollywood tetap tidak membuat Bong Joon-Ho lupa akan kualitas dan menjaga orisinalitas dalam berkarya.


Dikaruniai beberapa cast yang telah dikenal luas tak membuat “Snowpiercer” hanya sebagai tontonan menjual tampang semata. Penampilan sosok “Captain America” Chris Evans bisa dikatakan beda dari penampilannya di film lain. Di tangan Bong Joon-Ho sosok “Superhero” bersifat “Baik-baik” ini dibuat menjadi sosok lelaki 30-an pemimpin revolusi kaum bawah yang keras dan agak ambisius. Chris Evans mampu memancarkan begitu menderitanya dan begitu keras upayanya untuk menuntuk keadilan dari sosok di gerbong depan yaitu Wilford. Usaha keras Chris Evans untuk membangkitkan sosok Curtis bisa dibilang berhasil dengan mampu melepas bayang-bayang karakter “superhero” yang biasa dia perankan di film-film Hollywood.  Bong Joon-Ho juga mampu menempatkan Jamie Bell dan John Hurt pada pos-pos yang tepat. Yang sekali lagi sang sineas tidak menyia-nyiakan nama terkenal di Hollywood ini hanya sebagai pengait penonton namun juga memaksimalkan kontribusi mereka dalam film ini. Namun yang paling mencuri perhatian adalah sosok Mason yang diperankan Tilda Swinton yang mengesalkan namun beberapa perilakunya dapat menggelitik dan mengundang tawa. Saya masih ingat betul Tilda sebagai Eva, sosok ibu yang penuh beban hidup dalam “We Need To Talk About Kevin” dan saya melihat “sosok Lain” Tilda Swanson pada film ini. Dengan penampilan khas ningrat dan perilaku yang mampu membuat penonton gemas, Tilda mampu meghidupkan sosok mason yang keji dan mengesalkan. Tilda sukses memerankan tokoh antagonis yang menyebalkan namun mengesankan ini. Diantara nama-nama Hollywood, Bong Joon-Ho tetap menggunakan talenta lokal asal Korea Selatan. Song Kang-ho dan Go Ah-sung adalah dua artis asal Korea Selatan yang berperan sebagai Bapak dan Anak yang sama-sama pecandu batu bernama Kromol. Song Kang-Ho yang pernah bekerjasama dengan Bong Joon-Ho sebelumnya pada film “Memories of Murder” ini memerankan mantan kepala keamanan yang turut membantu kelompok Curtis melewati lorong demi lorong. Bisa dibilang penampilan bapak – dan anak ini adalah pemeran penting dalam menunjukkan salah satu ciri khas dari Bong Joon-Ho, Black Comedy. Komedi yang dilontarkan melalui gimmick atau ucapan mereka mampu mengundang tawa penonton.


Snowpiercer merupakan debut film berbahasa Inggris pertama Bong Joon-Ho yang sekali lagi saya tekankan tidak disia-siakan oleh sang sineas. Bong Joon-Ho mampu meramu segala elemen baik tema cerita, cast yang telah dikenal luas, sisi estetis serta visual effect khas Hollywood yang mampu memanjakan mata menjadi sebuah kesatuan yang membuat “Snowpiercer” menjadi film Bong Joon-Ho rasa Hollywood yang masih layak untuk ditonton. Walau Snowpiercer ber-setting hanya dikereta, namun Snowpiercer mampu memberikan pengalaman menonton yang megah. Tema Snowpiercer tentang batasan kelas dalam kehidupan sosial yang disampaikan oleh Bong Joon-Ho menyentil kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat yang memandang manusia dan membatasi manusia dengan sistem kelas. Sistem kelas yang membatasi lini kehidupan manusia dijadikan alasan sebagai salah satu cara mempertahankan keseimbangan kehidupan dibumi. Dilain sisi pembatasan antara si kaya dengan si miskin secara luas dapat menghasilkan kesenjangan sosial serta mungkin saja dapat menimbulkan pemberontakan di salahsatu kubu atau terjadi perpecahan. Seperti yang tergambar pada Snowpiercer dimana sistem kelas mampu menyulut pemberontakan antara kaum yang tinggal di gerbong ekor terhadap orang-orang yang tinggal di bagian depan kereta sedangkan Wilford menganggap batasan itu harus ada untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan. Lantas apakah batasan menggunakan sistem kelas dibutuhkan untuk kehidupan?

Rabu, 29 Januari 2014

REVIEW : Isyarat (2013)


“Indie Movie Goes To Cinema”, sebuah semangat yang digembar-gemborkan kepada khalayak luas mengiringi rilisnya “Isyarat” di Bioskop. Memang “Isyarat” Lahir dari “Rahim” komunitas Lingkar Alumni Indie Movie, sebuah komunitas para alumni dari peserta LA Light Indie Movies yang selama 7 tahun konsisten melakukan workshop dan serangkaian pelatihan lain untuk  para calon moviemakers muda yang mempunyai passion didunia film. “Isyarat” merupakan gebrakan bagi penggiat film Indie yang memiliki tujuan agar film-film pendek mereka bisa turut serta meramaikan bioskop nasional. Ya sebagaimana kita tahu bahwa kebanyakan film pendek Indie sangat sulit memiliki tempat di bioskop lokal dan festival-festival Film lah tempat para sineas film Indie menunjukan karya mereka.

“Isyarat” merupakan film omnibus yang terdiri dari lima film pendek yang mengangkat tema yang sama, manusia dengan “kemampuan lebih”nya atau pada umumnya disebut “Indra keenam”. “Teman Bayangan” garapan Asmirandah mengisahkan Dewi (Asmirandah) gadis muda yang memiliki kemampuan psikokinesis. Dewi memiliki teman khayalan bernama Fly (Jonas Rivanno) yang selalu mengikuti kemanapun Dewi pergi. Hingga akhirnya Dewi menyadarai bahwa kekuatannya dapat melukai orang yang dicintainya. Komedi situasional karya Monty Tiwa “Lost and Found” mengisahkan Oki (Poppy Sovia) yang kehilangan dompetnya dan bertemu Sisi (Prisia Nasution), seorang janitor yang mempunyai kemampuan menerawang kejadian masa lampau. Reza Rahardian menyutradarai segmen “Gadis Indigo” yang berkisah mengenai Maya (Revalina S Temat) yang mampu membaca sifat seseorang dengan menggambar wajahnya hingga akhirnya bertemu dengan Ganda, pria yang sulit dia baca kepribadiaannya. Adhyatmika, sutradara muda alumni Indie Movies 2009 menyutradarai segmen “Flora” yang berkisah mengenai gadis  bernama Flora (Taskia Namiya) yang dapat bersinggungan dengan hal-hal dari dunia astral dan kisah cintanya dengan Danel (Abimana Arya). Dan terakhir “Tanda Bahaya” garapan Donny Alamsyah yang ingin menggambarkan bahwa dalam keadaan terdesak manusia bisa lebih kejam dari binatang yang lebih kejam.


Mengangkat tema “Indra Keenam”, “Isyarat” terlihat kurang eksplorasi dalam menggali hal unik yang ada pada kemampuan yang jarang dimiliki ini. Dengan mengangkat tema yang cukup menarik dengan menyajikan beberapa jenis Indra keenam baik mampu melihat masa lalu hingga melihat makhluk dunia astral, namun “Isyarat” hanya terlihat sekedar memberi tahu bahwa indera keenam itu ada. Walaupun begitu, “Teman Bayangan” garapan Asmirandah mampu memberikan sebuah kisah menarik mengenai psikokinesis dan sosok Fly sebenarnya yang akan membuat penonton menduga-duga siapa sebenarnya Fly tersebut. Dibalut dengan nuansa surealis membuat segmen ini yang paling menonjol dibanding  segmen yang lain. “Lost and Found” tampil sebagai segmen yang paling menghibur dan mampu mengundak tawa. “Lost and Found” menyajikan komedi situasional dibalut percakapan dan gerak-gerik konyol dari kedua tokoh utama Oki dan Sisi. Paruh awal hingga tengah film ini dibangun dengan cukup meyakinkan dan memberikan ketegangan disetiap adegannya namun dari segi cerita bisa dikatakan cukup klise. Paruh akhir segmen terlihat tidak fokus dan akhirnya akan mengundang ucapan “ceritanya udahan?” dari penonton. Namun penampilan menawan dan total terlihat ditampilkan oleh kedua aktris utama segmen ini, Poppy Sovia dan Prisia Nasution yang membuat “Lost and Found” tetap menarik dan membuat penonton terbawa “pertualangan” mereka.

“Gadis Indigo” menyuguhkan kisah cinta Maya dan Ganda yang klise. Reza Rahardian yang sebelumnya juga pernah menangani salah satu segmen dalam “Wanita Tetap Wanita” berjudul “With or Without” ini terlihat kurang maksimal dalam menggarap “Gadis Indigo”, akhirnya timbul pertanyaan, “Mau dibawa kemana film ini?”. Reza seperti kehilangan kendalinya dalam film ini. Hasilnya “Gadis Indigo” tampil ya seadanya. “Gadis Indigo” seperti kehilangan daya tariknya. Mengambang begitu saja. Amat disayangkan transisi antara segmen “Gadis Indigo” dan “Flora” tidak begitu terlihat sehingga terasa seperti kedua segmen ini seperti satu segmen panjang. Hal ini diperkuat sosok Maya yang merupakan teman dekat dari Flora dan Flora pun tampil cukup banyak di segmen “Gadis Indigo”. Apabila pada segmen sebelumnya pergantian segmen ditandai dengan ilustrasi komik bergaya pop art, namun pada perpindahan segmen “Gadis Indigo” dan “Flora” tidak ada. Entah memang sengaja ingin agar terlihat “satu” antara “Gadis Indigo” dan “Flora”, namun cara ini membuat segmen “Gadis Indigo” jadi terlihat Menggantung.

Adhyatmika kurang dapat mengeksplor sosok Flora yang memiliki kemampuan lebih dapat melihat sosok ghaib. Flora terlihat seperti perempuan biasa walau ada adegan dimana Flora diperlihatkan dengan penampakan, namun untuk beberapa orang tanpa kemampuan indra keenam-pun terkadang dapat diberi wujud penampakan. Flora kurang terlihat memiliki kemampuan itu walau sepanjang segmen banyak pernyataan bahwa Flora itu aneh dan sebagainya. Editing yang bisa dibilang cukup unik terutam dibagian akhir film yang menampilkan alur maju mundur memang mampu membuat penonton sedikit berpikir. Namun membuat beberapa adegan yang niatnya membuat penonton bertanya-tanya terkesan gagal karena terlalu lama dan mengulur-ngulur waktu  . Namun penampilan Abimana Arya sangat total dalam film ini. Abimana Arya membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik saat ini dan nominasi aktor terbaik FFI 2013 memang layak untuk dia. “Tanda Bahaya” hadir sebagai segmen tersingkat dan paling klise dari semua segmen. Tidak seperti film utuh, entah apa alasannya menampilkan “Tanda Bahaya” hanya “sekedar” ini. Padahal sosok Evan yang diperankan oleh Dion Wiyoko adalah tokoh kunci yang menyatukan sosok Indigo di emapt segmen . “Tanda Bahaya” dan Evan-nya bermaksud sebagai “penghubung” film “Isyarat” namun gagal dan menjadi kisah yang agak janggal.

Terlepas dari semua, Omnibus ini didukung dengan sinematografi yang menawan dan indah. “Isyarat” memiliki tema yang sangat menarik untuk diangkat dan dikembangkan walau hasilnya masih kurang memuaskan.Walaupun begitu, “Isyarat” masih layak untuk disaksikan untuk semangat untuk belajar dari beberapa moviemaker muda yang tergabung dalam komunitas Indie Movie. Mereka-merekalah penerus perfilman nasional. Semangat untuk mewujudkan Film Indie mampu menembus bioskop nasional patut diapresiasikan. Mudah-mudahan produksi selanjutnya dari komunitas ini akan lebih baik dan mampu berbicara lebih banyak lagi.

REVIEW : Soekarno (2013)


Membuat film tentang seorang kepala negara atau Presiden yang pernah memimpin suatu Negara, bisa dikatakan sebagai bentuk penghormatan atas jasanya terhadap negara dan sebagai media memperkenalkan sosok memiliki peran penting, dalam bentuk karya audio visual agar lebih mudah dinikmati oleh orang banyak. Tahun lalu Steven Spielberg menyuguhkan kisah Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln, yang diperankan dengan sangat luar biasa oleh Daniel Day-Lewis, dalam film yang berjudul “Lincoln”. Atau film peraih Best Picture 2011, The King’s Speech, yang menceritakan tentang George VI, Raja Inggris yang gagap dan berusaha keras untuk melakukan pidato yang baik. Di Indonesia, kisah mantan presiden Indonesia ke-3, B.J. Habibie, difilmkan tahun lalu dengan judul “Habibie Ainun”. Kisahnya sendiri mengisahkan perjalanan Habibie bersama sang istri, Ainun Habibie, dalam menjalani kehidupan bersama. Kisahnya yang romantis membuat film ini disukai oleh masyarakat dan sukses meraih lebih dari 4 juta penonton.

Setelah Habibie ditahun lalu, pengujung tahun 2013 ini, kisah tentang Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno diangkat ke layar lebar oleh Hanung Bramantyo dengan Judul “Soekarno”. Film ini mengisahkan perjuangan sang “Proklamator” dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Film dimulai dengan adegan penggerebekan terhadap kediaman Dr. Soejoedi oleh tentara Belanda yang berakhir pada penangkapan Sukarno pada tahun 1929. Kemudian alur cerita bergerak mundur ke tahun 1912, dimana Kusno, seorang anak berusia 11 tahun yang sering sakit-sakitan, oleh bapaknya diganti namanya menjadi Sukarno, dengan harapan kelak menjadi ksatria layaknya tokoh pewayangan Adipati Karno dengan ritual khas Jawa.



Film “Soekarno” secara umum menyuguhkan kisah pada masa Bung Karno memperjuangkan kemerdekaan, kegiatan berpolitik serta strateginya dalam pergerakan meraih kemerdekaan. Film in berusaha keras menceritakan situasi mulai dari jaman penjajahan Belanda, dimana Sukarno dianggap menghasut dan memberontak sehingga diasingkan ke Bengkulu, hingga Jepang datang menggantikan Belanda menduduki tanah air. Pada zaman kedudukan Jepangpun, yang dianggap tidak kalah bengisnya dengan Belanda, Sukarno bersama Hatta dan Sjahrir tetap berjuang merebut kemerdekaan Indonesia.

Usaha keras Ario Bayu, yang memerankan sosok Sukarno, terlihat jelas untuk mewujudkan sosok yang sangat penting bagi lahirnya negeri ini. Ario Bayu terlihat cukup mampu menghidupkan peran Sukarno dengan baik. Gerak-gerik Ario Bayu sebagai Bung Karno, mampu menggambarkan kesan bijaksana dan karismatik. Pada adegan berpidato didepan rakyat, Suara lantang Ario serta gaya yang berkarisma membuktikan bahwa memang dia layak untuk memperankan sosok bung Karno.

Aktor yang pernah bermain sebagai Satrio dalam Catatan Harian Si Boy menyingkirkan banyak aktor lain yang ikut casting untuk peran Sukarno ini, termasuk Agus Kuncoro yang akhirnya menjadi Gatot Mangkuprojo dalam film ini. Walau dianggap tidak cocok dalam memerankan Sukarno oleh salah satu anak dari Bung Karno, Rachmawaty, Namun Hanung Bramantyo tetap kekeh menggunakan Ario Bayu sebagai Bung Karno. Dan Hanung bisa dianggap tidak salah pilih.

Selain menceritakan kisah perjuangan Bung Karno mewujudkan kemerdekaan. Kisah “rumah tangga” Bung Karno pun ikut diceritakan di sini. Hubungan Bung Karno dengan istrinya Inggit Garnasih, yang diperankan oleh Maudy Kusnaedi, yang terpaut lebih tua 12 tahun dari Bung Karno yang selalu menemani Bung Karno dalam perjuangannya hingga masuk penjara dan diasingkan. Diceritakan juga bahwa Inggit harus rela hati ketika suaminya kembali jatuh cinta kepada gadis muda bernama Fatmawati yang diperankan oleh Tika Bravani. Kemelut Kisah cinta Bung Karno dalam “Soekarno” turut menghiasi kisah perjuangan ini. Hal ini sebagai bukti bahwa film Soekarno berusaha untuk menutup celah detail dalam mengekspos kisah hidup bung Karno ini, baik kehidupan pribadinya maupun kehidupan berpolitiknya, baik kecintaan terhadap rakyatnya atau kecintaan terhadap “perempuannya”.



Tim Artistik dalam film “Soekarno” ini terlihat serius menghidupkan setting Indonesia sebelum merdeka pada film ini. Demi mendapatkan kediaman Soekarno di Pesanggrahan Timur semirip mungkin, mereka membangun  rumah yang sesuai dengan yang ditinggali oleh Bung Karno sesungguhnya, dalam skala 1:1. Selain itu penggunaan alat transportasi seperti mobil klasik dan kereta jadul pun mampu menambah nilai estertis dalam film ini. Penggunaan property memang terlihat dicoba untuk disesuaikan dengan jaman tersebut. Film “Soekarno” juga menggunakan Footage dari arsip-arsip nasional yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa penjajahan, serta video-video bung Karno yang asli saat melakukan pidato serta kegiatan beliau yang lain. Dan penggunaan suara asli Bung Karno pada saat adegan pembacaan teks Proklamasi akan mampu membuat penonton merinding. Suara pembacaan teks Proklamasi yang sama apabila kita mendengarkannya di salah satu bagian di Monas.

Namun begitu, film “Soekarno” hadir bukan tanpa kekurangan, film ini terlihat kurang berhasil men-deliver dengan baik penokohan Sukarno.  Ini terlihat dari alur penceritaan yang sangat standar, yang diketahui secara umum saja. Entah buku referensi apa yg dipake sang penulis skenario (Ben Sihombing dan Hanung Bramantyo) ketika membuat skenario, tapi penceritaan dalam film ini, terasa seperti membaca buku wajib sekolah dasar dalam mata pelajaran sejarah. Sebetulnya, banyak buku referensi yg menulis kisah tentang Sukarno, dan rata-rata isi buku tersebut sangat menarik. Misalnya saja, “Kuantar Kau Ke Gerbang” (buku yang bercerita tentang  Inggit Ganarsih), “Fatmawati” (buku yg berkisah tentang ibu Fatmawati), Sukarno My Friend karya Cindy adams. Dan sayang sekali bahwa cerita tentang Sukarno yang diangkat di film ini hanya sebatas Sukarno 'dipermukaan' seperti yg ada di buku2 sejarah anak Sekolah Dasar. 

Cukup jelas terlihat bahwa film “Soekarno” ini seperti film yang “cari aman”. Dengan materi yang komersil dan hanya mencapai kata “Pas”, sehingga Hanung Bramantyo kurang terlihat mengeksplor karakter Soekarno, yang sebetulnya sangat dinamis dan memiliki sisi-sisi yang penting dalam perjalanan dirinya sebagai individu atau sebagai seorang tokoh sejarah besar di Republik ini. Kembali lagi, apakah ini terjadi, entah mungkin dari referensi yang didapat atau hanya mencari aman demi kepentingan komersil?
Walau terdengar ada wacana bahwa Hanung Bramantyo akan membuat “Soekarno” versi lain dengan sudut pandang berbeda yang diperuntukan untuk Festival Internasional atau rencana akan dibuat Trilogi Bung Karno, tapi bukan berarti harus melupakan kedalaman penokohan cerita yang akhirnya hanya menawarkan fakta yang telah biasa diketahui oleh orang banyak dan tidak menawarkan sesuatu yang bisa dijadikan pegangan lebih untuk publik.

Lalu, kehilangan fokus, jelas terjadi di pertengahan film. Beberapa adegan yang seharusnya menjadi konflik yang lumayan dapat menarik perhatian penonton, jadi terlihat biasa saja, bahkan datar. Adegan ketika Inggit berbincang dengan Sukarno mengenai masa depan hubungan mereka, misalnya. Jelas ini adalah adegan yang harusnya memiliki nilai emosi yang dalam bagi penonton. Namun apa yang ditampilkan hanya seperti dua orang yang sedang berbicara sesuatu yang biasa dan seolah tak memiliki makna penting dalam hidup yang dilakukan di malam hari. Perasaan kemelutnya tak sampai.



Lalu, terlihat juga beberapa konflik tidak mencapai klimaks yang pas dan terkesan hanya sekedar menceritakan. Penonton tidak dibuat terikat dalam kisah Bung Karno malahan untuk sebagaian penonton yang tak terbiasa dengan film drama seperti ini, mungkin akan menguap dan mengeluh mengantuk saat menonton film ini dipertengahan alurnya.

Terlalu banyak aspek yg mau 'diceritakan' di film ini, terlalu banyak peristiwa yang mau dirangkum hingga cerita cenderung 'hilang fokus', mau bicara kisah cinta? heroisme? Atau history kah? Entahlah. Yang jelas semua aspek itu campur aduk, tumpang tindih, bolak balik dalam sebuah film berdurasi 2 jam lebih. Jangan berharap film biopik ini akan seperti film Keneddy, Mandela atau Thatcher. Sang penulis skenario tidak berani mengambil sudut pandang yang berbeda dari yang sekedar orang awam telah ketahui tentang Sukarno. 

Namun begitu, terlepas dari kekurangan serta segala konflik serta perseteruan yang ikut “meramaikan” dalam produksi “Soekarno”, film ini diprediksi akan mampu untuk meraih jumlah penonton yang banyak. Promosi dan pemasaran film ini sangat baik, dan mungkin memang memiliki anggaran yang cukup untuk itu. Lalu juga, film “Soekarno” diberkahi dengan cast yang sudah mumpuni, seperti Ario Bayu, Lukman Sardi yang piawai menghidupkan karakter Moh. Hatta, Tanta Ginting yang mampu menampilkan sifat keras dan tegasnya namun sangat cinta pada Tanah Air dalam memerankan Sjahrir, dan jangan lupakan penampilan AA’ Jimmy, walaupun perannya sebagai anak buah Sjahrir dan perannya sedikit, namun mampu menarik perhatian penonton diparuh akhir film.


Dengan mengangkat kisah sosok yang dicintai bangsa dan cukup “Komersil” bila difilmkan, mungkin saja rakyat Indonesia berbondong-bondong menyaksikan “Soekarno” di bioskop seperti layaknya ketika menyerbu film “Habibie dan Ainun”. Dan film “Soekarno” ini cukup layak untuk ditonton oleh bangsa Indonesia yang ingin lebih mengenal sosok proklamator negeri ini, walaupun pada akhirnya, pemahaman yang bisa didapat dari film ini hanya sosok Soekarno yang biasa-biasa saja, seperti yang tertulis di buku-buku sejarah sekolah. Namun, tetap saja ini bisa menambah referensi edukatif dalam sejarah, karena memang sesungguhnya film adalah sarana edukasi yang cukup efektif, bagi yang memikirkannya.


Nb : Review ini dibuat oleh Saya bersama (Suhu Saya) Mas Reiza Patters

KOMUNITAS : GudangFilm



“Untuk apa nonton film Indonesia? Gak berkualitas. Tiket bioskop kan mahal mending nonton film Hollywood”. Yang barusan adalah salah satu contoh pernyataan cukup “menyakitkan” dari beberapa penonton bioskop di Indonesia  dikala diajak nonton film Indonesia. Kini calon penonton ketika menghampiri tempat penjualan tiket di Bioskop kebanyakan lebih memilih film-film “blockbuster” khas Hollywood dibanding film lokal yang saat itu juga tayang. Film Lokal seperti diacuhkan dinegeri sendiri. Daripada harus menonton dibioskop, beberapa penonton pun lebih memilih menunggu di televisi atau mendownload di Internet film-film Indonesia. Dampaknya, jumlah penonton Indonesia yang memperihatinkan. Jangankan untuk menembus 1 juta penonton, 100ribu-pun Film Indonesia sudah kembang-kempis untuk menembusnya. Suatu fakta yang cukup memprihatinkan terhadap kondisi penonton bioskop film Indonesia.

Atas keprihatinan akan kondisi tersebut serta diiringi rasa cinta dan keinginan mendukung film lokal, beberapa anak muda yang berdomisili di Jakarta membentuk komunitas Gudangfim. Komunitas yang terbentuk pada 1 januari 2013 ini terbentuk akan kesadaran bahwa Film Indonesia tak berarti apa-apa tanpa penontonnya. Dengan mengusung Jargon “Gerakan Nonton di Bioskop”, Gudangfilm mengajak masyarakat Indonesia secara luas untuk menonton film-film Indonesia di Bioskop. Tentu dengan harapan perfilman Indonesia mampu terus “eksis” di negerinya sendiri.

Dalam Pergerakannya, Gudangfilm mengajak orang-orang untuk menonton film Indonesia melalui kegiatan “Nobar” singkatan dari “Nonton Bareng” yang merupakan kegiatan inti dari komunitas ini. Kegiatan Nobar yang dilakukan oleh Gudangfilm bersifat terbuka sehingga bisa diikuti oleh siapapun tanpa terkecuali. Karena bisa diikuti oleh siapapun, tak sedikit GFers (sebutan bagi penonton yang mengikuti nobar bersama Gudangfilm)bisa saling kenal dengan teman-teman baru sesama penyuka film Indonesia dan tentu saja bisa bertukar pikiran sesama penonton film mengenai film yang baru saja ditonton.

Dalam kegiatan Nobar, Gudangfilm juga mengundang Cast dan Crew film yang akan  di-Nobar-kan agar penonton dapat dekat dengan sosok yang selama ini mungkin hanya bisa mereka temui di televisi atau di layar bioskop.  Cast dan Crew akan “menemani” para penonton menikmati film yang mereka buat sehingga para pembuat film-pun dapat mengetahui respon langsung dari penonton filmnya dan disisi penonton mereka dapat merasakan “atmosfer” menonton dengan cast dan crew film yang mungkin saja adalah artis atau idola mereka sehingga ada rasa kesenangan tersendiri dan pengalaman lain saat menonton. Setelah menonton, penonton pun bisa melakukan sharing kepada cast dan crew film terhadap film yang baru saja ditonton.  Interaksi antara pembuat dan penikmat film ini pun mungkin saja akan memperluas rasa cinta terhadap film lokal sehingga tidak akan ada lagi rasa enggan untuk menonton film Indonesia di bioskop.

Selama hampir satu tahun ini Gudangfilm terus konsisten dalam mengadakan Nobar. Setidaknya ada 1 hingga 3 film yangdibuatkan Nobar tiap bulannya. Nobar pertama Gudangfilm adalah ketika mereka membuat nobar “Mika” pada tanggal 15 Januari 2013. Nobar yang cukup mendebarkan bagi mereka karena selain merupakan pengalaman pertama, pendaftaran dan pendataan dilakukan dalam waktu yang singkat yaitu 3 hari. Total Gudangfilm telah membuat 15 Nobar sejak terbentuk. Beberapa film yang pernah dibuatkan nobar antara lain Belenggu, Tampan tailor, Finding Srimulat, Cinta Dalam Kardus, Coboy Junior the Movie Dan La Tahzan. Selain di Jakarta, Gudangfilm juga pernah melangsungkan Nobar di Kota lain seperti di Bandung saat Gudangfilm  melangsungkan Nobar Air Mata Terakhir Bunda.

Selain Nobar, kegiatan lain yang dilakukan Gudangfilm adalah Diskusi Film. Diskusi Film pertama yang dilakukan oleh Gudangfilm adalah Diskusi film serta Screening film karya Anggy Umbara di SAE Institute Agustus 2013. Film karya Anggy Umbara yang diputar dan menjadi bahan diskusi adalah Coboy Junior the Movie dan Mama Cake. Pada 29 Oktober 2012, Gudangfilm bersama majalah Kinescope melangsungkan nobar film klasik nan legendaris Indonesia ‘Tjoet Nja’ Dien” (1988). Tjoet Nja’ Dien merupakan film karya sutradara Eros Djarot yang memiliki banyak prestasi diantaranya menyandang Best International Film pada Festival Film Cannes pada tahun 1989. Nobar Tjoet Nja’ Die merupakan langkah sangat positif yang memiliki tujuan mulia sebagai bentuk apresiasi terhadap warisan budaya bangsa berupa film agar terus lestari dan dikenal oleh generasi sekarang.  Gudangfilm juga turut serta dalam “Pasar Seni Jakarta” yang berlangsung pada 3-5 Desember 2013 di Parkir Timur Senayan. Dengan kembali bekerjasama dengan Majalah Kinescope, Mereka membuat sebuah “Bioskop Mini” di tengah hiruk-pikuk keramaian Pasar Seni Jakarta.  “Bioskop Mini” menayangkan beberapa film Indonesia yang terkenal seperti Tjoet Nja’ Dien, Rumah Dara, Mama Cake, Coboy Junior The Movie dll. Hasilnya, “Bioskop Mini” Gudang Film dan Majalah Kinescope mendapat apresiasi yang baik dari pengunjung dengan lumayan banyak pengunjung yang mampir dan terhibur dengan film-film yang disajikan.

Melalui akun twitter, @_Gudangfilm, Komunitas ini secara konsisten memberikan info-info mengenai film. Baik Film yang sedang tayang, akan tayang hingga film-film yang telah tayang beberapa tahun lalu namun masih menarik untuk dibahas. Tidak hanya film lokal, mereka juga menginfokan mengenai berita berita film mancanegara. Melalui akun twitternya, Gudangfilm juga sering menginformasikan kegiatan yang akan atau telah dilakukan. Sehingga bila ingin mengetahui mengenai kegiatan seperti Nobar, bisa dicek timeline twitter mereka. Selain Twitter, Gudangfilm memiliki blog Gudanggfilm.blogspot.com. Dalam blog ini pengunjung bisa mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang akan di lakukan, report serta foto-foto kegiatan yang telah berlangsung, dan review film-film yang ditulis oleh para anggota dari Gudangfilm.

Kini anggota Gudangfilm semakin hari semakin bertambah seiring dengan kegiatan yang mereka jalani. GFers terdiri dari beragam profesi dan latar belakang seperti Mahasiswa dari berbagai jurusan seperti akuntansi, IT, Jurnalistik dan sebagainya , pelajar, karyawan, baik muda hingga tua, mereka terhimpun dalam komunitas yang memiliki jargon “Gerakan Nonton di Bioskop”. Harapan mereka sederhana, dengan rasa cinta dan semangat mendukung film Indonesia, mereka ingin Film Indonesia menjadi Primadona di negeri sendiri dan menyadarkan bahwa tidak rugi untuk menonton film Indonesia di bioskop malahan turut serta membangun industri kreatif bernama Film dinegeri ini. Mari nonton film Indonesia di Bioskop!

REVIEW : Killer Toon (2013)


Genre film horror di Korea mungkin masih kalah pamornya dengan  genre Thriller yang lebih sering diproduksi oleh “negeri gingseng”. Genre thriller Korea bisa dibilang lebih banyak memiliki cerita yang menarik dan variatif dibanding horror Korea. Sebut saja film thriller mengenai balas dendam “I Saw The Devil” yang mampu membuat saya beberapa kali menahan napas dan “kegirangan” melihat adegan “keras” yang ditampilkan di film tersebut atau “Oldboy” yang mampu bicara banyak di kancah dunia hingga Hollywood me-remake film masterpiece karya Park Chan Wook ini. Apalagi bila harus membandingkan film horror Korea dengan tetangganya “Jepang” yang terkenal memiliki segudang cara jitu membuat penonton ketakutan hingga loncat dari kursi ketika menonton film- film horror produksi “negeri matahari terbit”  ini. Bukan berarti Korea tidak punya film horror yang menyeramkan, sebut saja “A Tale of Two Sisters” namun film horror Korea kebanyakan memiliki “formula” yang sama dan cenderung repetitif dalam film-filmnya. Sehingga bisa dibilang genre horror Korea kurang diminati bahkan dinegaranya sendiri.

Ditengah kurang bergairahnya film horror Korea, “Killer Toon” muncul memberikan sebuah “gebrakan”. Secara tidak diduga, “Killer Toon” mampu merajai Box Office Korea dan mampu menembus 1 juta penonton dalam penayangannya di Korea. Tentu saja ini merupakan prestasi bagi “Killer Toon” yang merupakan film horror pertama yang mampu menembus 1 juta penonton setelah sebelumnya “Death Bell” pada tahun 2008. Lalu apa yang membedakan “Killer Toon” dengan film horror Korea yang lain? Apa kunci suksesnya?



Dibawah rumah produksi CJ Entertaiment,” Killer Toon” menyuguhkan hal menarik dengan menggabungkan film “Live Action” yang tersaji dengan visual yang baik dan cantik dengan animasi dan ilustrasi komik yang berkarakter membuat film ini memiliki ciri khas berbeda dengan film horror Korea yang lain. Hal ini tidak lepas dari sang sutradara, Kim Yong-Gyun yang mampu merealisikan dengan baik naskah hasil  Lee Sang-hak yang mampu melihat dengan jeli fenomena webcomic yang sedang digandrungi di Korea menjadi sebuah cerita yang mampu membuat penonton berjerit ketakutan.

“Killer Toon” berkisah tentang Kang Ji-yoon (Lee Si-young) seorang komikus terkenal yang harus terkait terhadap kasus kematian misterius yang ternyata berhubungan dengan karya-karya webcomic-nya. Beberapa kasus kematian mengerikan yang terjadi dikehidupan nyata terlihat persis seperti yang tergambar pada  ilustrasi webcomic yang dirilis oleh Kang ji-yoon. Hal ini tentu saja membuat Lee Ki-cheol (Um Ki-joon), seorang dektektif berhasrat untuk memecahkan misteri ini. Lee Ki-Cheol menelusuri keterkaitan antara komik-komik karya Kang ji-yoon dengan serangkaian kematian mengerikan yang akhirnya akan membawa sang detektif kepada kenyataan yang mengerikan serta menunjukan sisi gelap manusia.
Film yang memiliki judul Korea “Deo Web-tun: Yeo-go-sal-inini jelas merupakan horror misteri berbalut supranatural hantu-hantu-an dengan kutukan web-comic sebagai premise yang menjadi andalan dalam film ini. Film dibuka dengan adegan pembunuhan sadis nan mengerikan serta misterius terhadap seorang editor yang tersaji dengan apik dengan balutan visual yang cantik serta penambahan efek komikal membuat film ini enak dilihat serta meninggalkan misteri dan rasa penasaran disetiap adegannya. Hal ini membuat saya “duduk cantik” dibangku bioskop dan sangat siap mengikuti misteri yang ada pada film ini.



Atmosfir menyeramkan terbangun baik dalam film ini. Ya memang bisa dibilang cara sutradara yang pernah menggarap Red Shoes pada tahun 2005 ini dengan membangun atmosfir mengerikan menjadi “Jualan” utamanya. Ya memang hakikatnya film horror dibuat untuk membuat penontonnya menjerit ketakutan. Penampakan hantu yang cukup variatif tidak itu-itu saja menjadi nilai plus pada film ini. Sesekali saya pun kaget dan mendengar jerit penonton (lebih banyak wanita) saat hantu menampakan diri. Namun yang menjadi perhatian saya adalah berbagai twist yang ada dalam film ini. Kim Yong-Gyun mampu meramu twist dengan sangat baik dan cukup membuat film ini jadi makin misterius. Namun, perubahan karakter tokoh dalam film ini terasa agak dipaksakan seiring berjalannya film. Paruh akhir film saya mendapatkan cirri khas dari film Korea, iya melodrama khas Korea terasa dibagian akhir. Korea yang terkenal dengan film drama yang mampu menyentuh hati pun mampu “meng-invasi” hingga ke film horrornya. Tidak masalah memang, mungkin ini maksud dari Killer Toon untuk memberikan rasa lain dalam filmnya.


Terlepas dari semuanya, Killer Toon merupakan film horror Korea yang dari cukup mengerikan dan mampu menakut-nakuti penonton. Bisa dibilang ini adalah film horror Korea yang memuaskan ditengah lesunya film horror disana. Misteri yang terdapat dalam film ini juga mampu membuat rasa penasaran untuk terus mengikut setiap kasus serta fakta yang ditampilkan pada setiap adegannya. Twist-twist yang terdapat dalam film ini juga terasa ampuh. Selain kisah yang berbalut misteri yang baik, tentu saja pengaruh web-comic yang booming disana menjadi hal pendukung keberhasilan film ini dalam meraih jumlah penonton yang banyak.

Tokoh : Charlie Chaplin


“My pain may be the reason for somebody's laugh.

But my laugh must never be the reason for somebody's pain.” – Charlie Chaplin


Ketika sedang bernyanyi dipanggung sebuah teater, Seorang penyanyi wanita yang telah habis masa jaya-nya tiba-tiba kehilangan suaranya. Kejadian tersebut sontak membuat penonton mengejek sang penyanyi. Namun seorang anak kecil sekitar umur 5tahun tiba-tiba naik keatas panggung dan bernyanyi dengan ekspresi dan tingkah yang lucu. Suasana yang tadinya penuh dengan rasa kekecewaan penonton berubah menjadi tawa bahagia. Anak kecil tersebut adalah anak dari si penyanyi perempuan. Anak tersebut adalah Charlie Chaplin.

Charlie Spencer Chaplin lahir di East Street, Walworth, London, Inggris pada 16 April 1889. Mengawali karier sebagai “Artis Panggung” dalam kelompok komedi slaptik “Fun Factory” dibawah asuhan Fred Karno. Bersama kelompok Fred Karno, Charlie menjajahkan kaki ke Amerika dengan mengikuti pertunjukan keliling pada tahun 1910-1912. Pada tahun 1913, Charlie bertemu Mark Senneth, seorang produser serta sutradara yang terkenal dengan karya-karya film komedi pada masanya. Mark Senneth terkesan dengan penampilan Charlie dan mengontraknya untuk bermain dalam film “Making a Living” yang rilis pada tahun 1914.  “Making a Living” merupakan penampilan pertama Charlie Chaplin di layar perak.
Charlie Chaplin dikenal dengan perannya yang ikonik dan melegenda sebagai “The Tramp”. “The Tramp” digambarkan sebagai sosok pria gelandangan memakai topi bowler, celana longgar, sepatu kebesaran, selalu memegang tongkat kayu serta kumis petak yang sangat khas. Gaya Charlie yang khas membawakan “The Tramp” yang seperti badut dengan mimik muka yang ekspresif  serta  gerakan akrobatik yang indah membuat ‘The Tramp” dengan mudah mencuri perhatian orang banyak. Karakter “The Tramp” pertama kali dikenalkan pada film kedua Charlie “Kid Auto Races at Vinice (1994). Lebih dari 70 film dari keseluruhan film Charlie Chaplin yang menggunakan karakter “The Tramp”.


Tidak hanya dikenal sebagai komedian yang kreatif, Charlie Chaplin juga dikenal sebagai produser, sutradara, penulis naskah hingga mengaransemen musik. Sebagian besar film Charlie Chaplin disutradarai olehnya sendiri. Kesuksesan Charlie Chaplin tentu menghasilkan pundi-pundi uang untuk dirinya, dengan pendapatan $10.000 per minggu, Charlie Chaplin bisa dikatakan aktor dengan pendapatan tertinggi pada masanya. Dengan kekayaannya, Charlie Chaplin mampu membangun studionya sendiri  di Hollywood pada tahun 1918 dan pada tahun 1919 mendirikan sebuah distributor film bernama “United Artists” bersama Mary Pickford, Douglas Fairbanks, dan D.W. Griffith.

“City Light” yang rilis pada tahun 1931 merupakan salah satu karya masterpiece dari sang komedian legendaris ini. “City Light” merupakan sebuah pembuktian Charlie Chaplin bahwa film bisu masih mempunyai tempat bagi penonton film ditengah film bisu mulai ditinggalkan karena dunia telah mengenal film bersuara. Namun kehebatan Chaplin membuat “City Light” menjadi film terlaris Chaplin dengan raihan yang luar biasa besar pada zamannya sebesar $5,019,181.

Kisah The Tramp yang jatuh cinta dengan gadis buta penjual bunga dalam “The Tramp” tidak hanya mampu menghasilkan banyak uang bagi Chaplin. Namun, dari segi kualitas film ini menyuguhkan performa akting yang menawan serta menampilkan sisi romantis dalam diri Charlie Chaplin. Penonton akan dibuat tertawa dengan tingkah laku The Tramp dan dibuat terenyuh dengan perilaku romantis karakter dengan kumis petak ini. Tak heran banyak kalangan menyebut “City Light” adalah film yang mempunyai pengaruh kuat dalam perfilman dunia serta sering dimasukkan sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa oleh versi manapun. Dengan ending yang manis di film ini, Kritikus majalah Life, James Agee pada tahun 1949 menyebutnya sebagai “Potongan akting yang paling hebat yang pernah direkam seluloid”.



Charlie Chaplin cukup jeli terhadap isu-isu sosial  disekitarnya dan menuangkannya sebagai sebuah karya Film. “Modern Times” yang rilis pada tahun 1936 “Menyentil” manusia yang mulai tergantung dengan kecanggihan mesin. Keterpurukan Wall Street pada tahun 30an dan banyaknya pengangguran di Amerika karena pengusaha merumahkan beberapa pekerjanya dan memilih menggunakan tenaga mesin dijadikan bahan inspirasi Chaplin dalam berkarya. “Modern Times” merupakan film Charlie Chaplin pertama yang menggunakan dialog yang keluar dari benda mati seperti radio dan pesawat televisi. Sebuah inovasi terbaru dalam film Bisu. Pada “Modern Times” lah Charlie Chaplin “mengeluarkan suaranya” dalam film dengan sebuah lagu di akhir film.

Charlie Chaplin pun mengkritik ranah politik dengan mengangkatnya dalam sebuah film. Melalui “The Great Dictator” menyindir gaya diktator dari pemimpin Nazi Adolf Hitler. Charlie Chaplin menampilkan seorang diktator yang semena-mena namun dibalut dengan komedi. Terlihat Charlie Chaplin berusaha keras menghidupkan sosok sang diktator dengan mempelajari cara Hitler berbicara dan gerak-geriknya. Walau dalam pembuatannya Charlie ditentang oleh beberapa pihak seperti kakaknya sendiri, namun Charlie tetap memproduksi film ini walau beberapa orang menghujatnya sebagai komunis. “The Great Dictator” merupakan awal transisi Charlie Chaplin kedalam film bersuara dan meninggalkan karakter The Tramp.
Walau selalu gagal apabila dinominasikan dalam kategori Best Actor dan Best Director Oscar, dunia mengakui bahwa Charles Chaplin adalah sosok berpengaruh dalam perkembangan film didunia. Hingga pada tahun 1972 pada Academy Awards ke 44, diusianya yang telah menginjak 83tahun, Charlie Chaplin mendapat penghargaan “Honorary Awards” atas pengaruh tak terhingganya yang dibuatnya dan menjadikan film sebagai bentuk seni abad ini. Sebuah momen mengharukan yang manis bagi Charlie Chaplin. Saat Chaplin menerima penghargaan, Chaplin mendapatkan Standing Ovation selam 5 menit penuh dan menjadikan Standing Ovation terlama sepanjang dan tentu saja mengharukan sejarah Oscar. Pada usianya yang ke 86, Charlie Chaplin mendapatkan gelar Knight Commander of the British Empire (KBE) oleh Ratu Elizabeth II pada Maret 1975.



Charlie Chaplin menutup usia pada 25 Desember 1977 disaat umurnya 88 tahun di Vevey, Swiss. Selama hidup, Charlie Chaplin telah membuat 81 film dan menjadikan dirinya sebagai salah satu aktor terbesar dan berpengaruh sepanjang masa. Charlie sempat menulis kisah hidupnya dalam sebuah buku berjudul “My Autobiography” pada tahun 1964. Kisah hidup Charlie Chaplin juga dibuat dalam bentuk film berjudul “Chaplin” pada tahun 1992 yang disutradarai oleh Richard Attenborough dan “Sang Ironman” Robert Downey Jr. yang memerankan sosok komedian legendaries ini.


Selasa, 14 Januari 2014

Video singkat untuk publikasi Pameran "Sok A Six"


"Sok A Six"
Rohman Sulistiono
Durasi : 0 : 26
2014

Terimakasih kepada : Dhado Wacky, Muchlis "Daftpig" Fahri, Dheeka Dagu, Nurhadi GMBL, MKSP, Bang Kidol, Eci, Fira, Rizky Ponga Alfa Rifky Jamal, dan Nanda Wheelys.