Sekitar seminggu setelah terhibur dengan film Horror asal Korea
Selatan, “Killer Toon”,, kini saya kembali “dihadapkan” dengan satu lagi film
“Box Office” asal negara “Super Junior” tersebut. Ya akhir-akhir ini memang
“Invasi” Korea pada negara ini tidak hanya melalui muka mulus boyband-girlband
serta cerita Melodrama yang hampir tiap sore “nangkring” di televisi lokal
melainkan juga dengan film-film yang tayang dibioskop lokal. Tentu hal ini
bukan berarti sebagai hal yang negatif, sisi baiknya adalah penonton mempunyai
pilihan lain dalam menonton film dibioskop selain film-film lokal serta tentu
saja Hollywood yang merajai pasar. Film Korea yang rilis di Indonesia-pun
mayoritas mampu dikategorikan “memuaskan” penonton. Tahun ini saja setidaknya
ada “Miracle in Cell No.7”, “Mr.Go”, “The Flu” dan tentu saja “Snowpiercer”
karya Bong Joon-Ho. Bong Joon-Ho adalah sutradara Korea yang namanya cukup
“Wangi” di perfilman dunia. Bagaimana tidak, film-film karyanya bisa dibilang
mengesankan . “The Host” contohnya yang rilis pada tahun 2005 mampu berdiri
kokoh dipuncak “Box Office” Korea Selatan hingga saat ini. Bong Joon-Ho bisa
dibilang sutradara asal Korea Selatan favorite saya selain kreator dari
“Oldboy” yang juga memiliki nama besar di Korea Selatan, Park Chan- Wook.
“Snowpiercer” menawarkan kisah “Post Apocalypse” dimana bumi
kembali mengalami “Ice Age” setelah sebuah percobaan meluncurkan sebuah zat ke
lapisan ozon yang bertujuan untuk menekan pemanasan global pada tahun 2014 berakhir
gagal dan membuat bumi mengalami zaman es sehingga kehidupan dibumi pun
berangsur-angsur punah. Para “Survivor” yang selamat dari keganasan dinginnya
bumi mencoba bertahan hidup di sebuah kereta lokomotif yang sangat panjang dan
bergerbong banyak bernama “Snowpiercer”. Mereka yang selamat hidup dengan kesenjangan sosial
yang sangat terasa didalam kereta. Terjadi “pembatas” antara si miskin yang
tinggal di ekor dan si Kaya yang tinggal dibagian depan gerbong. Merasa tidak diperlakukan adil dan keji,
Curtis Everett (Chris Evans) bersama “Kaum Ekor” seperti Edgar (Jamie Bell) dan
sosok yang dituakan serta dihormati Gilliam (John Hurt) merancanakan sebuah
revolusi. Sebuah gerakan menuntut keadilan serta menjatuhkan kekuasaan sosok
yang dianggap bak dewa bagi beberapa penghuni
“Snowpiercer”, Wilford (Ed Harris) karena Wilford-lah sang pembuat
kereta “Snowpiercer” dan dianggap bak sosok yang suci karena menyelamatkan dari
“kiamat” bagi orang-orang di gerbong depan. Namun bagi orang-orang digerbong
ekor, Wilford-lah dalang dibalik kesengsaraan hidup mereka selama 17tahun di
Kereta.
Awalnya saya berpikir bahwa “Snowpiercer” adalah film khas “Musim
Panas” dengan balutan efek yang menawan serta bertujuan “hanya” sebagai
penghibur penonton. Namun, Bong Joon-Ho membawa kisah yang diangkat dari novel
grafis berbahasa Prancis dengan judul
asli “Le Transperceneige” ini kedalam cerita yang cukup berat dan penuh
makna. Dengan tema yang dewasa berbalut beberapa intrik politik didalamnya
membuat film ini tidak begitu saja “menyuapi” cerita dan makna dalam film
kepada penonton. Penonton akan diperlihatkan sebuah miniatur kehidupan disetiap
gerbong yang dilalui oleh gerombolan Curtis. Bong Joon-Ho mampu menyimbolkan
dengan baik kereta dengan keadaan sosial dibumi sesungguhnya. Mengenal system
kelas. Manusia dibatasi oleh “Gerbong-gerbong” berkedok kekayaan, jabatan, atau
hal lain sehingga manusia yang miskin punya tempat sendiri, di ekor dengan fasilitas sesuai dengan “kelas”nya. Si kaya
yang mampu membayar lebih mempunyai tempat sendiri yang tidak mau diusik oleh
kelas dibawahnya. Seperti layaknya ketika menaiki kereta. Kita akan dituntut
memilih untuk menggunakan kelas mana. Ekonomi atau eksekutif? Dan kita akan
menerima sesuai apa yang kita bayar.
“Snowpiercer” jelas tidak seperti film Bong Joon-Ho sebelumnya.
Ada rasa Hollywood didalamnya. Ya memang ini adalah kesempatan emas bagi Bong
Joon-Ho untuk mengharumkan namanya dikancah perfilman dunia serta mengikuti
jejak teman senegaranya, Park Chon-Wook
yang telah lebih dulu menggarap film Hollywood “Stoker”. Bong Joon-Ho
tentu saja tidak menyia-nyiakan “fasilitas” khas Hollywood yang dia dapatkan.
Cast yang sudah terkenal dan mendunia, Special Effect yang menawan khas
film-film blockbuster dan tentu saja kucuran dana besar mengiringi pembuatan
“Snowpiercer”. Segala “kenikmatan” itu tidak lantas membuat Bong Joon-Ho
“termakan”. Sentuhan sineas yang juga
terkenal dengan “Memories of Murder” tetap menunjukan ciri khas nya. Bong
Joon-Ho tetap mampu meramu sisi estetis dan tematis menjadi sebuah tontonan
yang berkualitas. Segala fasilitas Hollywood tetap tidak membuat Bong Joon-Ho
lupa akan kualitas dan menjaga orisinalitas dalam berkarya.
Dikaruniai beberapa cast yang telah dikenal luas tak membuat
“Snowpiercer” hanya sebagai tontonan menjual tampang semata. Penampilan sosok
“Captain America” Chris Evans bisa dikatakan beda dari penampilannya di film
lain. Di tangan Bong Joon-Ho sosok “Superhero” bersifat “Baik-baik” ini dibuat
menjadi sosok lelaki 30-an pemimpin revolusi kaum bawah yang keras dan agak
ambisius. Chris Evans mampu memancarkan begitu menderitanya dan begitu keras
upayanya untuk menuntuk keadilan dari sosok di gerbong depan yaitu Wilford. Usaha
keras Chris Evans untuk membangkitkan sosok Curtis bisa dibilang berhasil
dengan mampu melepas bayang-bayang karakter “superhero” yang biasa dia perankan
di film-film Hollywood. Bong Joon-Ho
juga mampu menempatkan Jamie Bell dan John Hurt pada pos-pos yang tepat. Yang
sekali lagi sang sineas tidak menyia-nyiakan nama terkenal di Hollywood ini
hanya sebagai pengait penonton namun juga memaksimalkan kontribusi mereka dalam
film ini. Namun yang paling mencuri perhatian adalah sosok Mason yang
diperankan Tilda Swinton yang mengesalkan namun beberapa perilakunya dapat
menggelitik dan mengundang tawa. Saya masih ingat betul Tilda sebagai Eva,
sosok ibu yang penuh beban hidup dalam “We Need To Talk About Kevin” dan saya
melihat “sosok Lain” Tilda Swanson pada film ini. Dengan penampilan khas
ningrat dan perilaku yang mampu membuat penonton gemas, Tilda mampu meghidupkan
sosok mason yang keji dan mengesalkan. Tilda sukses memerankan tokoh antagonis
yang menyebalkan namun mengesankan ini. Diantara nama-nama Hollywood, Bong
Joon-Ho tetap menggunakan talenta lokal asal Korea Selatan. Song Kang-ho dan Go
Ah-sung adalah dua artis asal Korea Selatan yang berperan sebagai Bapak dan
Anak yang sama-sama pecandu batu bernama Kromol. Song Kang-Ho yang pernah
bekerjasama dengan Bong Joon-Ho sebelumnya pada film “Memories of Murder” ini memerankan
mantan kepala keamanan yang turut membantu kelompok Curtis melewati lorong demi
lorong. Bisa dibilang penampilan bapak – dan anak ini adalah pemeran penting
dalam menunjukkan salah satu ciri khas dari Bong Joon-Ho, Black Comedy. Komedi
yang dilontarkan melalui gimmick atau ucapan mereka mampu mengundang tawa
penonton.
Snowpiercer merupakan debut film berbahasa Inggris pertama Bong
Joon-Ho yang sekali lagi saya tekankan tidak disia-siakan oleh sang sineas.
Bong Joon-Ho mampu meramu segala elemen baik tema cerita, cast yang telah
dikenal luas, sisi estetis serta visual effect khas Hollywood yang mampu
memanjakan mata menjadi sebuah kesatuan yang membuat “Snowpiercer” menjadi film
Bong Joon-Ho rasa Hollywood yang masih layak untuk ditonton. Walau Snowpiercer
ber-setting hanya dikereta, namun Snowpiercer mampu memberikan pengalaman
menonton yang megah. Tema Snowpiercer tentang batasan kelas dalam kehidupan
sosial yang disampaikan oleh Bong Joon-Ho menyentil kepada seluruh aspek
kehidupan masyarakat yang memandang manusia dan membatasi manusia dengan sistem
kelas. Sistem kelas yang membatasi lini kehidupan manusia dijadikan alasan
sebagai salah satu cara mempertahankan keseimbangan kehidupan dibumi. Dilain
sisi pembatasan antara si kaya dengan si miskin secara luas dapat menghasilkan
kesenjangan sosial serta mungkin saja dapat menimbulkan pemberontakan di
salahsatu kubu atau terjadi perpecahan. Seperti yang tergambar pada Snowpiercer
dimana sistem kelas mampu menyulut pemberontakan antara kaum yang tinggal di
gerbong ekor terhadap orang-orang yang tinggal di bagian depan kereta sedangkan
Wilford menganggap batasan itu harus ada untuk menjaga keseimbangan dalam
kehidupan. Lantas apakah batasan menggunakan sistem kelas dibutuhkan untuk
kehidupan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar