Rabu, 29 Januari 2014

REVIEW : Soekarno (2013)


Membuat film tentang seorang kepala negara atau Presiden yang pernah memimpin suatu Negara, bisa dikatakan sebagai bentuk penghormatan atas jasanya terhadap negara dan sebagai media memperkenalkan sosok memiliki peran penting, dalam bentuk karya audio visual agar lebih mudah dinikmati oleh orang banyak. Tahun lalu Steven Spielberg menyuguhkan kisah Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln, yang diperankan dengan sangat luar biasa oleh Daniel Day-Lewis, dalam film yang berjudul “Lincoln”. Atau film peraih Best Picture 2011, The King’s Speech, yang menceritakan tentang George VI, Raja Inggris yang gagap dan berusaha keras untuk melakukan pidato yang baik. Di Indonesia, kisah mantan presiden Indonesia ke-3, B.J. Habibie, difilmkan tahun lalu dengan judul “Habibie Ainun”. Kisahnya sendiri mengisahkan perjalanan Habibie bersama sang istri, Ainun Habibie, dalam menjalani kehidupan bersama. Kisahnya yang romantis membuat film ini disukai oleh masyarakat dan sukses meraih lebih dari 4 juta penonton.

Setelah Habibie ditahun lalu, pengujung tahun 2013 ini, kisah tentang Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno diangkat ke layar lebar oleh Hanung Bramantyo dengan Judul “Soekarno”. Film ini mengisahkan perjuangan sang “Proklamator” dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Film dimulai dengan adegan penggerebekan terhadap kediaman Dr. Soejoedi oleh tentara Belanda yang berakhir pada penangkapan Sukarno pada tahun 1929. Kemudian alur cerita bergerak mundur ke tahun 1912, dimana Kusno, seorang anak berusia 11 tahun yang sering sakit-sakitan, oleh bapaknya diganti namanya menjadi Sukarno, dengan harapan kelak menjadi ksatria layaknya tokoh pewayangan Adipati Karno dengan ritual khas Jawa.



Film “Soekarno” secara umum menyuguhkan kisah pada masa Bung Karno memperjuangkan kemerdekaan, kegiatan berpolitik serta strateginya dalam pergerakan meraih kemerdekaan. Film in berusaha keras menceritakan situasi mulai dari jaman penjajahan Belanda, dimana Sukarno dianggap menghasut dan memberontak sehingga diasingkan ke Bengkulu, hingga Jepang datang menggantikan Belanda menduduki tanah air. Pada zaman kedudukan Jepangpun, yang dianggap tidak kalah bengisnya dengan Belanda, Sukarno bersama Hatta dan Sjahrir tetap berjuang merebut kemerdekaan Indonesia.

Usaha keras Ario Bayu, yang memerankan sosok Sukarno, terlihat jelas untuk mewujudkan sosok yang sangat penting bagi lahirnya negeri ini. Ario Bayu terlihat cukup mampu menghidupkan peran Sukarno dengan baik. Gerak-gerik Ario Bayu sebagai Bung Karno, mampu menggambarkan kesan bijaksana dan karismatik. Pada adegan berpidato didepan rakyat, Suara lantang Ario serta gaya yang berkarisma membuktikan bahwa memang dia layak untuk memperankan sosok bung Karno.

Aktor yang pernah bermain sebagai Satrio dalam Catatan Harian Si Boy menyingkirkan banyak aktor lain yang ikut casting untuk peran Sukarno ini, termasuk Agus Kuncoro yang akhirnya menjadi Gatot Mangkuprojo dalam film ini. Walau dianggap tidak cocok dalam memerankan Sukarno oleh salah satu anak dari Bung Karno, Rachmawaty, Namun Hanung Bramantyo tetap kekeh menggunakan Ario Bayu sebagai Bung Karno. Dan Hanung bisa dianggap tidak salah pilih.

Selain menceritakan kisah perjuangan Bung Karno mewujudkan kemerdekaan. Kisah “rumah tangga” Bung Karno pun ikut diceritakan di sini. Hubungan Bung Karno dengan istrinya Inggit Garnasih, yang diperankan oleh Maudy Kusnaedi, yang terpaut lebih tua 12 tahun dari Bung Karno yang selalu menemani Bung Karno dalam perjuangannya hingga masuk penjara dan diasingkan. Diceritakan juga bahwa Inggit harus rela hati ketika suaminya kembali jatuh cinta kepada gadis muda bernama Fatmawati yang diperankan oleh Tika Bravani. Kemelut Kisah cinta Bung Karno dalam “Soekarno” turut menghiasi kisah perjuangan ini. Hal ini sebagai bukti bahwa film Soekarno berusaha untuk menutup celah detail dalam mengekspos kisah hidup bung Karno ini, baik kehidupan pribadinya maupun kehidupan berpolitiknya, baik kecintaan terhadap rakyatnya atau kecintaan terhadap “perempuannya”.



Tim Artistik dalam film “Soekarno” ini terlihat serius menghidupkan setting Indonesia sebelum merdeka pada film ini. Demi mendapatkan kediaman Soekarno di Pesanggrahan Timur semirip mungkin, mereka membangun  rumah yang sesuai dengan yang ditinggali oleh Bung Karno sesungguhnya, dalam skala 1:1. Selain itu penggunaan alat transportasi seperti mobil klasik dan kereta jadul pun mampu menambah nilai estertis dalam film ini. Penggunaan property memang terlihat dicoba untuk disesuaikan dengan jaman tersebut. Film “Soekarno” juga menggunakan Footage dari arsip-arsip nasional yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa penjajahan, serta video-video bung Karno yang asli saat melakukan pidato serta kegiatan beliau yang lain. Dan penggunaan suara asli Bung Karno pada saat adegan pembacaan teks Proklamasi akan mampu membuat penonton merinding. Suara pembacaan teks Proklamasi yang sama apabila kita mendengarkannya di salah satu bagian di Monas.

Namun begitu, film “Soekarno” hadir bukan tanpa kekurangan, film ini terlihat kurang berhasil men-deliver dengan baik penokohan Sukarno.  Ini terlihat dari alur penceritaan yang sangat standar, yang diketahui secara umum saja. Entah buku referensi apa yg dipake sang penulis skenario (Ben Sihombing dan Hanung Bramantyo) ketika membuat skenario, tapi penceritaan dalam film ini, terasa seperti membaca buku wajib sekolah dasar dalam mata pelajaran sejarah. Sebetulnya, banyak buku referensi yg menulis kisah tentang Sukarno, dan rata-rata isi buku tersebut sangat menarik. Misalnya saja, “Kuantar Kau Ke Gerbang” (buku yang bercerita tentang  Inggit Ganarsih), “Fatmawati” (buku yg berkisah tentang ibu Fatmawati), Sukarno My Friend karya Cindy adams. Dan sayang sekali bahwa cerita tentang Sukarno yang diangkat di film ini hanya sebatas Sukarno 'dipermukaan' seperti yg ada di buku2 sejarah anak Sekolah Dasar. 

Cukup jelas terlihat bahwa film “Soekarno” ini seperti film yang “cari aman”. Dengan materi yang komersil dan hanya mencapai kata “Pas”, sehingga Hanung Bramantyo kurang terlihat mengeksplor karakter Soekarno, yang sebetulnya sangat dinamis dan memiliki sisi-sisi yang penting dalam perjalanan dirinya sebagai individu atau sebagai seorang tokoh sejarah besar di Republik ini. Kembali lagi, apakah ini terjadi, entah mungkin dari referensi yang didapat atau hanya mencari aman demi kepentingan komersil?
Walau terdengar ada wacana bahwa Hanung Bramantyo akan membuat “Soekarno” versi lain dengan sudut pandang berbeda yang diperuntukan untuk Festival Internasional atau rencana akan dibuat Trilogi Bung Karno, tapi bukan berarti harus melupakan kedalaman penokohan cerita yang akhirnya hanya menawarkan fakta yang telah biasa diketahui oleh orang banyak dan tidak menawarkan sesuatu yang bisa dijadikan pegangan lebih untuk publik.

Lalu, kehilangan fokus, jelas terjadi di pertengahan film. Beberapa adegan yang seharusnya menjadi konflik yang lumayan dapat menarik perhatian penonton, jadi terlihat biasa saja, bahkan datar. Adegan ketika Inggit berbincang dengan Sukarno mengenai masa depan hubungan mereka, misalnya. Jelas ini adalah adegan yang harusnya memiliki nilai emosi yang dalam bagi penonton. Namun apa yang ditampilkan hanya seperti dua orang yang sedang berbicara sesuatu yang biasa dan seolah tak memiliki makna penting dalam hidup yang dilakukan di malam hari. Perasaan kemelutnya tak sampai.



Lalu, terlihat juga beberapa konflik tidak mencapai klimaks yang pas dan terkesan hanya sekedar menceritakan. Penonton tidak dibuat terikat dalam kisah Bung Karno malahan untuk sebagaian penonton yang tak terbiasa dengan film drama seperti ini, mungkin akan menguap dan mengeluh mengantuk saat menonton film ini dipertengahan alurnya.

Terlalu banyak aspek yg mau 'diceritakan' di film ini, terlalu banyak peristiwa yang mau dirangkum hingga cerita cenderung 'hilang fokus', mau bicara kisah cinta? heroisme? Atau history kah? Entahlah. Yang jelas semua aspek itu campur aduk, tumpang tindih, bolak balik dalam sebuah film berdurasi 2 jam lebih. Jangan berharap film biopik ini akan seperti film Keneddy, Mandela atau Thatcher. Sang penulis skenario tidak berani mengambil sudut pandang yang berbeda dari yang sekedar orang awam telah ketahui tentang Sukarno. 

Namun begitu, terlepas dari kekurangan serta segala konflik serta perseteruan yang ikut “meramaikan” dalam produksi “Soekarno”, film ini diprediksi akan mampu untuk meraih jumlah penonton yang banyak. Promosi dan pemasaran film ini sangat baik, dan mungkin memang memiliki anggaran yang cukup untuk itu. Lalu juga, film “Soekarno” diberkahi dengan cast yang sudah mumpuni, seperti Ario Bayu, Lukman Sardi yang piawai menghidupkan karakter Moh. Hatta, Tanta Ginting yang mampu menampilkan sifat keras dan tegasnya namun sangat cinta pada Tanah Air dalam memerankan Sjahrir, dan jangan lupakan penampilan AA’ Jimmy, walaupun perannya sebagai anak buah Sjahrir dan perannya sedikit, namun mampu menarik perhatian penonton diparuh akhir film.


Dengan mengangkat kisah sosok yang dicintai bangsa dan cukup “Komersil” bila difilmkan, mungkin saja rakyat Indonesia berbondong-bondong menyaksikan “Soekarno” di bioskop seperti layaknya ketika menyerbu film “Habibie dan Ainun”. Dan film “Soekarno” ini cukup layak untuk ditonton oleh bangsa Indonesia yang ingin lebih mengenal sosok proklamator negeri ini, walaupun pada akhirnya, pemahaman yang bisa didapat dari film ini hanya sosok Soekarno yang biasa-biasa saja, seperti yang tertulis di buku-buku sejarah sekolah. Namun, tetap saja ini bisa menambah referensi edukatif dalam sejarah, karena memang sesungguhnya film adalah sarana edukasi yang cukup efektif, bagi yang memikirkannya.


Nb : Review ini dibuat oleh Saya bersama (Suhu Saya) Mas Reiza Patters

1 komentar: