Jumat, 27 Februari 2015

Momolisa


Stop Physical Abuse



My Lovely Friends with Their Lovely Scooter


Model : Azhar Maulana


Model : Lydianti

Miaw's Birthday




Ulang Tahun ke 21 Tahun




Ulang Tahun ke 22 Tahun

Bulan ke 33


Bulan ke 32


Thanks For The Book :))



SCOOP


Bulan ke 31




Bobo



Batman's Villain Vol. 1




Sleepless


Review : Rindu Kami PadaMu (2004)


Poster by Artdy

“Teman-teman, hari ini aku ingin bercerita tentang tempat tinggalku, sebuah pasar kecil ditengah kota Jakarta.Aku mau bercerita tentang sajadah dan telur ayam sahabatku”. - Rindu

Asih (Putri Mulia), Gadis kecil yang selalu menghalau setiap orang mengisi sejadah kosong disamping kanannya untuk memberi ruang kepada ibunya yang entah kemana. Lalu ada Bimo (Sakurta Ginting), adik dari seorang penjual telur yang “terobsesi”  dengan wanita cantik yang tinggal didekat rumahnya Dan Rindu (Raisha Pramesi) gadis kecil Tunarungu yang selalu menggambar masjid tanpa kubah. Melalui ketiga anak inilah, penonton akan dibawa kedalam karya ketujuh dari sutradara Garin Nugroho, Rindu Kami Padamu.

Rindu Kami Padamu memvisualkan sebuah interaksi sosial di pasar tradisional secara apa adanya dan natural. Mengangkat kisah hidup rakyat kelas bawah yang “terkurung” dalam sebuah tempat mencari nafkah dengan treatment yang sederhana dan terasa membumi. Film ini mencoba menggambarkan situasi serta kehidupan masyarakat pasar tradisional dimana mereka tinggal dan bekerja didalamnya dengan beberapa polemik yang menyertai yang dibawakan dengan fokus persoalan yang dialami oleh tiga tokoh anak didalamnya.

Penggambaran situasi pasar yang digambarkan ole Garin Nugroho terlihat sederhana namun penuh detail. Penggunaan kamera statis namun mampu menangkap kerumunan serta kesibukan pasar tradisional dapat tertangkap dengan baik dan sederhana. Detil-detil kehidupan para karakter di pasar juga mampu disuguhkan dengan baik seperti proses pengecapan telor, anak-anak pengajian yang mengaji di Musholla, permainan badminton seadanya, serta anak-anak yang bermain di tengah hiruk pikuk pasar. Garin terlihat ingin menggambarkan suasana pasar tradisional secara menyeluruh dan mendalam sehingga tidak hanya apa yang tampak di permukaannya saja. Dan hasilnya bisa dibilang Garin dengan piawai  mampu menggunakan setting utama pada film ini dengan baik dan memberi sudut pandang lain kepada penonton terhadap pasar tradisional.


Penampilan tiga tokoh sentral yang ketiganya merupakan anak kecil mampu menghasilkan karakter yang cukup kuat dalam Rindu Kami Padamu. Ketiganya (Asih, Bimo, dan Rindu) mampu memainkan karakternya masing-masing dengan apik dan terlihat natural, polos, dan jujur khas anak-anak. Namun yang paling menonjol tentu penampilan Sakurta Ginting sebagai Bimo. Penampilan “Kipli” (peran populer Sakurta Ginting dalam seri Kiamat Sudah Dekat) sungguh menawan dan mencuri perhatian sejak film dimulai. Mampu menampilkan karakter bocah yang haus kasih saying ibu serta “terobsesi” akan gadis cantik yang tinggal dekat rumahnya yang membuatnya menjadi posesif. Penampilan perdana Sakurta Ginting dalam film ini merupakan start yang sangat baik. Hasil dari penampilan apiknya menjadikan kenapa Sakurta Ginting cukup laris mondar mandir di Televisi baik sebagai bintang iklan atau aktor serial televisi Indonesia selepas penampilannya di Rindu Kami Padamu.

Penampilan menawan juga ditampilkan oleh dua aktor senior, Didi Petet dan Jaja Miharja. Menjadi duo “penghuni musholla”, mereka menunjukkan kelasnya dalam memerankan tokoh Bagja dan Sabeni. Bagja, seorang ustad yang menghabiskan kehidupannya untuk memakmurkan musholla sederhana tak berkubah ditengah pasar dengan mengajar mengaji anak-anak yang tinggal di pasar. Karakter Bagja tidak terjebak kedalam sosok Ustad yang selalu benar dan sebagai solusi setiap masalah. Digambarkan secara manusiawi namun namun tetap idealis. Begitupun dengan Sabeni, ayah dari Asih yang merupakan “Soulmate” dari Bagja yang dibawakan begitu natural dan bersahabat oleh Jaja Miharja. Pola tingkahnya menjadi “penyegar” dalam film ini. Apabila Bimo terobsesi dengan gadis cantik, Sabeni juga terobsesi, namun dengan microfon dan toak musholla.
Setiap momen dalam Rindu Kami Padamu diiringi ilustrasi musik yang tak kalah menggugah dari filmnya. Musisi Dwiki Dharmawan mampu meracik nada demi nada yang mendampingi setiap adegan dalam film ini sehingga Rindu Kami Padamu terasa begitu syahdu namun tetap membumi nan sederhana. Lagu Rindu Rasul yang dibawakan Bimbo terasa menggetarkan Hati. Beberapa Scene yang diiringi lagu ini begitu menggugah dan membuat pesan yang ingin disampaikan melalui Rindu Kami Padamu semakin menguat. Wajar apabila ilustrasi musik dalam Rindu Kami Padamu mendapat Musik Terpuji pada Festival Film Bandung 2005.



Melalui film yang mendapat penghargaan Best Film Cinefan – Festival of Asian and Arab Cinema pada tahun 2005, Garin Nugroho mampu memadukan kisah kehidupan di pasar tradisional yang terlihat natural dan apa adanya dengan interaksi dan pendekatan yang terasa intim dibalut dengan ilustrasi musik yang menawan dan penampilan para karakter dalam film ini yang memikat. Hasilnya, sebuah tontonan yang menarik dengan cerita yang mendalam. Bisa dibilang Rindu Kami Padamu merupakan film Garin Nugroho lebih mudah dicerna penonton dibanding film beliau yang lain. Sebuah persembahan yang cukup megah yang ditawarkan dengan berbagai kesederhanaan. 

Review : My Girl (2003)




Pernakah anda merasakan sebuah film begitu dekat dengan kenangan anda? Seperti diajak bernostalgia dengan keseruan masa kecil anda yang terasa akrab? “My Girl’ akan membawa penontonnya yang merasakan masa kecil di era 80-an untu bernostalgia dengan segala memori masa kecil dan mengajak penonton untuk bereuni sejenak mengingat pola tingkah anak-anak dimasa tersebut.

“My Girl” yang memiliki judul asli “Fan Chan” merupakan film tahun 2003 yang digarap secara keroyokan oleh enam sutradara-penulis sekaligus (Vitcha Gojiew, Songyos Sugmakanan, Nithiwat Tharathorn, Witthaya Thongyooyong, Anusorn Trisirikasem, dan Komgrit Triwimol) yang pada saat itu, “My Girl” merupakan film debutan mereka. Sebuah debutan yang istimewa untuk mereka, selain diakui dalam segi kualitas, film ini juga sukses dalam rahian jumlah penonton di Thailand sana.
“My Girl” berkisah mengenai Jeab (Charlie Trairat) mendapatkan undangan pernikahan dari sahabat kecilnya sekaligus cinta pertamanya, Noi-Naa (Focus Jiracul). Pernikahan Noi-Naa berlangsung di kampung halaman Jeab dan Noi-Naa dimana mereka menghabiskan masa kecil bersama. Dalam perjalanan pulang, Jeab bernostalgia akan memori masa kecilnya bersama Noi-Naa. Dan sepanjang film penonton akan dibawa flashback dengan kenangan masa kecil Jeab, Noi-Naa, teman-teman mereka serta memori masa kecil mereka. Saat itu, Jeab dan Noi-Naa bertetangga karna rumah mereka hanya dipisahkan oleh satu toko kelontong. Jeab dan Noi-Naa bersahabat sejak balita dan karena kesulitan mendapat teman laki-laki, Jeab-pun “terpaksa” ikut bermain permainan perempuan bersama Noi-Naa dan teman-temannya. Walau tentu saja, Jeab kerap diejek oleh sekelompok anak laki-laki Jack dan geng-nya. Kedekatan Jeab dan Noi-Naa membuat Jeab merasakan hal lain pada Noi-Naa, dan menyadari Noi-Naa adalah cinta pertamanya.

Sederhana dan apa adanya, membuat “My Girl’ terasa begitu dekat dengan penonton, terutama penonton Indonesia yang mempunya kemiripan budaya dengan Thailand. Dengan setting tahun 80-an, penonton yang merasakan masa kanak-kanak tahun 80-90an akan dibangkitkan memorinya dan diajak bernostalgia dengan masa kecilnya. “My Girl” membuat penonton tersenyum indah apalagi penonton yang mempunyai pengalaman yang sama secara personal ketika anak-anak dalam “My Girl” memainkan permainan sederhana khas anak-anak seperti lompat tali dari karet, bermain peran karakter laga dengan kostum seadanya, bermain sepak bola di lapangan tanah, bermain besepeda dengan teman-teman sore hari, main karet tiup, hingga berenang di sungai. Sebuah kegiatan yang mungkin sangat langka dilakukan anak-anak zaman sekarang yang sudah terjebak dan terhipnotis kecanggihan gadget sehingga melupakan keasyikan bermain diluar bersama teman.  Sungguh disayangkan, padahal moment kanak-kanak dengan keseruan bermain diluar adalah moment tak tergantikan.


Mengusung cerita mengenai cinta monyet tak membuat “My Girl” menyajikan sebuah kisah cinta berlebihan yang tak layak untuk anak-anak. Jeab tidak berlebihan hingga mengejar-ngejar cinta Noi-Naa atau sampai mengutarakan cinta kepadanya. Kisah cinta monyet dalam “My Girl” dibuat sesuai dengan karakteristik anak-anak yang polos dan lugu. Sehingga bukan menjual kisah cinta yang berlebihan antara dua insan, namun lebih mengedepankan kisah persahabatan . Sebuah pembelajaran untuk film anak (terutama di tanah air) agar lebih bijaksana menaruh unsur cinta dalam film agar anak-anak tak mencontoh dan sudah mulai cinta-cintaan diusia dini.

Penampilan para pemeran cilik dalam “My Girl” patut diacungi jempol. Memainkan peran mereka masing-masing dengan karakter yang kuat dan tidak terlihat berlebihan. Penampilan anak-anak dalam “My Girl” terkesan natural dan seperti memainkan diri mereka sendiri. Sineas yang menggarap “My Girl”pun cukup piawai merajut cerita yang dekat dengan tokoh dengan karakter yang ada, hasilnya “My Girl” begitu natural, sederhana, membumi, dan tentu saja sangat sulit untuk tidak disukai. Selain tokoh utama  Jeab dan Noi-Naa, tokoh Jack yang diperankan Chaleumpol Tikumpornteerawong cukup menarik perhatian dengan bakat aktingnya. Wajar apabila saat ini diumurnya yang sudah cukup dewasa dia masih lalu lalang di perfilman Thailand, Salah satunya dalam film Romantic Comedy berjudul “ATM” yang rilis tahun 2012.

Dengan raupan pendapatan sebesar 140 juta Bath dalam penayangannya di Thailand, bisa dikatakan film ini sukses dalam segi financial. Bagaimana dengan kualitasnya? Film ini sangat sulit untuk tidak disukai. Temanya yang sederhana dan digarap dengan sangat membumi, natural, apa adanya namun terasa istimewa membuat “My Girl” dengan mudah membekas di hati penontonnya. Perpaduan apik tema cinta monyet, persahabatan yang kental, dan problematika masa kanak-kanak yang pas dari masa perkembangan psikologisnya membuat film ini tampil tak berlebihan dan menjadi kekuatan dalam “My Girl”.  Beberapa moment yang memorial dibalut dengan komedi ringan serta balutan lagu-lagu populer Thailand tahun 80-an membuat “My Girl” semakin memikat.


Sebagai info, “My Girl” pernah rilis di Indonesia dengan judul “Cinta Pertama” pada tahun 2006. “My Girl” saat itu didubbing ke dalam bahasa Indonesia dan lagu-lagu Thailand dalam film ini diganti dengan lagu-lagu populer Indonesia tahun 80-an yang dinyanyikan oleh musisi terkenal saat itu seperti Iwan Fals, Chrisye, Hetty Koes Endang, dan Ebiet G. Ade.

Artikel : "Kemana Bioskop Indonesia?"


Agak miris melihat kenyataan bahwa Film Indonesia seperti semakin ditinggalkan oleh penonton film di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari perolehan jumlah penonton pada tahun 2013. Beberapa film yang diunggulkan dan diprediksi mampu mendulang jumlah penonton pun masih sulit untuk meraih satu juta penonton. Bahkan beberapa film justru mengalami flop dari sisi jumlah penonton.

Pada tahun 2013 lalu, hanya ada dua film Indonesia yang dirilis, berhasil meraih lebih dari satu juta penonton, yaitu film 99 Cahaya di Langit Eropa dan Tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Sebagai peraih penonton terbanyak, film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hanya memperoleh 1,7 juta penonton. Perolehan ini tidak sampai setengah dari perolehan penonton film Habibie dan Ainun pada tahun 2012, yang mampu meraih 4,2 juta penonton.
Menurut Data yang dipaparkan Nurwan Hadiyono, Kepala Subdirektorat Produksi Film, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, menunjukkan bahwa pada tahun 2013 lalu, hanya sekitar 15,5 juta orang yang menonton film Indonesia. Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2012 yang mampu menggaet 18 juta penonton. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, film Indonesia tahun lalu hanya mampu menarik paling tidak 7% dari jumlah penduduk Indonesia. Apakah hal ini menunjukkan kurangnya apresiasi penduduk Indonesia terhadap perfilman Indonesia? Kalau iya, lantas apa penyebabnya? Siapa yang bertanggung jawab?.

Bila ditelisik lebih dalam, salah satu penyebab lesunya apresiasi masyarakat terhadap film Nasional adalah persoalan infrastruktur industri film di Indonesia, khususnya di sisi distribusi dan eksibisi. Film nasional terlihat tak memiliki ruang gerak yang cukup. Salah satu infrastruktur yang seharusnya sangat berperan dalam hal ini adalah bioskop. Bioskop di Indonesia pernah mengalami puncak masa jayanya pada tahun 90-an, di mana pada tahun tersebut Jumlah bioskop di Indonesia mencapai jumlah tertinggi, yaitu 2.600 buah dengan 2.853 layar, dan Jumlah penonton mencapai 32 juta orang. Era 1991-2002 terjadi keterpurukan bagi usaha perbioskopan di Indonesia secara drastis. Dari Jumlah 2.600 pada tahun 1990, tinggal 264 bioskop dengan 676 layar di tahun 2002.

Adapun yang dianggap sebagai kendala yang menyebabkan itu terjadi adalah maraknya televisi swasta, tv kabel dan pembajakan terhadap film lewat VCD dan DVD. Hiburan alternatif melalui media televisi, mampu menerobos memasuki setiap rumah dan bisa dinikmati secara gratis. Kemudian antara tahun 2003 hingga 2007 kembali terjadi peningkatan Jumlah bioskop di Indonesia. Dari 264 bioskop dengan 676 layar di tahun 2002 menÂjadi 483 bioskop dengan 959 layar pada pertengahan tahun 2007.
Namun ironisnya, itupun hanya berkembang di kota-kota besar saja, khusunya di mal-mal dan pusat perbelanjaan. Artinya, bioskop yang ada baru sekedar memenuhi kebutuhan pasar film Indonesia di lapisan menengah ke atas, yang diperkirakan hanya sekitar 25% dari Jumlah penonton di Indonesia. Jumlah bioskop yang tersebar di wilayah Jadebotabek mencapai hampir 60%, sedangkan di daerah provinsi dan kabupaten lain mendapat imbas dengan bangkrutnya bioskop-bioskop menengah ke bawah.

Lalu jika dilihat dari jumlah layar di Indonesia saat ini, negeri ini hanya memiliki sekitar 700-an layar yang dikuasai mayoritas oleh dua exhibitor. Menurut JB Kristanto, 82% dari jumlah layar dikuasai oleh jaringan bioskop XXI, 10% oleh jaringan Blitzmegaplex, dan sisanya sebesar 8% diisi oleh jaringan bioskop alternatif. 700-an layar yang tersisa di Indonesia merupakan sebuah ironi dimana seharusnya infrastruktur perfilman nasional meningkat, namun kenyataannya justru mengalami penurunan. Ini menyebabkan film nasional kehilangan kekuatan distribusi untuk menjangkau publik.

Dengan 240 juta penduduk di Indonesia, jumlah 700-an layar bioskop pastilah sangat kurang. Terlebih bila melihat persebaran bioskop yang hanya berkiblat pada kota-kota besar saja. Hal ini dapat terlihat dari data yang ada, yaitu dari 34 Provinsi di Indonesia, hanya 21 Provinsi yang “dijamah” oleh layar bioskop itupun terkonsenrasi pada 31 kota besar saja. Kebanyakan bioskop berdiri di pulau Jawa sebanyak 79,63%, Sumatera 7,41%, Kalimantan 4,94%, Sulawesi  3,09%, dan 0,5%-2,5% tersebar di Bali, Maluku,dan Kepulauan Riau. Dengan persebaran bioskop yang seperti itu, hanya 13% warga Indonesia yang memiliki akses untuk kebioskop atau sekitar 33,5 Juta, sisanya? Penuh perjuangan tak mudah untuk menikmati pengalaman sinematis di bioskop. Jadi masyarakat Indonesia tidak bisa dianggap tidak mau untuk pergi ke Bioskop atau tidak suka terhadap film Indonesia.
Bagai jatuh tertimpa tangga. Mungkin ungkapan tersebut tepat ditujukan kepada perfilman Indonesia. Sudah ruang geraknya sempit, harus merasakan pula pembagian porsi tayang yang tak adil. Berapa sih “masa hidup” film Indonesia di Bioskop? Bila pada tahun 2011 film Indonesia mampu rata-rata bertahan 8 minggu di bioskop, semakin kesini semakin singkat masa tayangnya. Terlebih untuk sekarang ini, film yang dianggap tidak laku pada minggu pertama, akan langsung turun tayang dari bioskop. Rata-rata Film Indonesia hanya bertahan dua minggu di bioskop kecuali jika memang dianggap laku dan meledak di pasaran. Seperti film Habibie dan Ainun misalnya. Film ini dianggap sangat berhasil meraih jumlah penonton dengan raihan 4,575 juta penonton. Namun untuk beberapa film, hanya mampu bertahan dalam hitungan hari, seperti film Dream Obama, pada 2013 lalu. Film ini hanya bertahan 3 hari di bioskop, kemudian hilang.

Dengan standarisasi seperti itu, pengusaha bioskop di Indonesia, membuat pola bisnis yang sangat jelas memaksa film lokal untuk bersusah payah bersaing dengan film impor seperti film-film Blockbuster Hollywood. Dari sekitar 100 film lokal yang rilis pertahun, harus bersaing dengan 250-an judul film impor yang rilis di tahun yang sama. Persaingan semakin terlihat tak adil saat memasuki “musim panas”, di mana film-film Blockbuster Hollywood rilis dan film lokal menjadi sedikit tersingkir. Bahkan bisa terjadi di dalam satu bioskop, tidak memberikan ruang sama sekali untuk  film Indonesia. Padahal menurut Undang-undang No. 33 tahun 2009 tentang perfilman, setidaknya film nasional wajib dipertunjukkan sekurang-kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukkan. Namun pada kenyataannya, dan sepertinya hal ini menjadi strategi dari pengusaha bioskop, untuk membagi porsi film lokal dan film impor sedemikian rupa guna meraih pendapatan yang layak, atau mungkin berlebih.
Melihat beberapa fakta tersebut, sudah saatnya jika seluruh pelaku industri perfilman nasional dan pemerintah Indonesia untuk segera melakukan upaya agar bisa keluar dari persoalan tersebut. Hal ini menjadi penting ketika kesadaran bahwa perfilman nasional merupakan salah satu bagian penting dari usaha-usaha menjaga dan membangun pola budaya yang lebih baik. Bahwa film bukan hanya sebagai sebuah alat ekspresi dan aspresiasi dari seni dan budaya, namun juga haruslah menjadi alat edukasi yang sangat efisien dan efektif bagi masyarakat guna membangun pola budaya dan peradaban yang lebih maju.

Apa yang bisa dilakukan untuk mencoba mengatasi hal tersebut? Agus Jarwoko pernah mencatat bahwa untuk tahap pertama, perlu adanya regulasi dan political will dari pemerintah untuk berkembangnya pasar film Indonesia di seluruh provinsi dan selanjutnya di setiap kabupaten. Untuk memenuhi kebutuhan ma­syarakat penonton, idealnya untuk lima tahun ke depan diperlukan 3.000 gedung bioskop dengan 15.000 layar. Untuk mencapai hal tersebut, Agus Jarwoko mengatakan bahwa ada 5 langkah yang perlu dilakukan Pertama, perlu adanya penelitian dan pengkajian terhadap jumlah penonton film Indonesia dan pendapatan dari hasil pertunjukan di bioskop. Kedua, perlu adanya tatanan yang jelas dari paska produksi, distribusi dan eksibisi antara pelaku usaha bioskop dan Pemerintah. Untuk itulah keberadaan bioskop saat ini harus dikembangkan khususnya ge­dung bioskop kelas menengah kebawah di seluruh Indonesia yang pada akhirnya akan membantu para produser atau pemilik film dalam mendistribusikan filmnya ke bioskop-bioskop.
Ketiga, perlu diciptakan pendistribusian yang sehat, adil dan transparan antara pemilik bioskop dan pemilik film. Keempat, pemerintah perlu memberikan keringanan tarif listrik (PLN), karena beban terberat bagi operasional bioskop adalah pada pembayaran listrik, serta menurunkan pajak tontonan di seluruh Indonesia maksimal atau paling tinggi 10%. Kelima, perlu adanya satu sistem dalam perfilman Indonesia yang diatur dengan Undang-Undang Perfilman yang memiliki nilai-nilai pemberdayaan, pengembangan dan kemandirian/independen.

Jika akhirnya apa yang disebutkan di atas bisa terwujud, diharapkan apresiasi terhadap film lokal pun akan meningkat dan industri film nasional pun mampu berjalan dengan gagah, tak terlihat lesu. Apabila Korea Selatan mampu membangun 2000 layar untuk 48 juta warganya, Jepang 3000 layar dengan 140 juta rakyatnya dan India dengan 13.000 layar dengan 1,2 milyar warganya, bukan tidak mungkin Indonesia pun mampu memfasilitasi dengan jumlah perbandingan yang sesuai dengan jumlah warganya. Bila persoalan distribusi dan eksibisi ini bisa terselesaikan dengan cara yang tepat, maka harapan akan industri perfilman nasional yang bisa lebih memiliki ruang gerak dan mampu membangkitkan masa emas perfilman lokal, bisa terwujud. Dan pada akhirnya, film yang idealnya menjadi alat edukasi bagi masyarakat bisa memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan budaya kita sebagai sebuah bangsa, baik di dalam maupun ke dunia global.

Pernah dimuat di Majalah Kinescope Edisi 6

Link : http://www.slideshare.net/reizaalishariatiazhari/kinescopemagz-edisi-6

Liputan : Hari Film Nasional 2014


Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) menyelenggrakan Peringatan Hari Film Nasional (HFI) ke-64. Puncak acara peringatan Hari Film Nasional ke-64 yang berlangsung pada Selasa, 1 April 2014 di XXI Djakarta Theater. Acara berlangsung meriah dengan dihadiri oleh para penggiat dunia film tanah air yang tidak mau melewatkan moment peringatan akan perkembangan film di Indonesia.

Dengan mengusung tema “Bangga Film Indonesia”, Hari Film Nasional ke-64 memiliki beberapa rangkaian acara. Dimulai dengan roadshow sekaligus diskusi film “9 Summer 10 Autumn” dan “Sagarmatha” di Semarang dan Banjarnegara yang dimeriahkan oleh sutradara dan artis pendukungnya pada tanggal 27 Maret 2014. Dihari yang sama, Dr. Seno Gumira Ajidarma melakukan orasi sinema di Galeri Indonesia Kaya , Mall Grand Indonesia yang bertajuk “Film Indonesia dan Identitas Nasional dalam Kondisi Pascanasional.  Serta dilakukan juga pemutaran serta diskusi film dan pelatihan singkat pemeranan oleh Rumah Aktor Indonesia (RAI)  di 7 SMP dan SMA di Jabodetabek yang berlangsung dari tanggal 27 Maret hingga 4 April 2014.

Tepat pada Hari Film Nasional pada tanggal 30 Maret , Kemenparekraf mengadakan syukuran Hari Film Nasional ke-64 di Balairung Soesilo Soedarman, Kemenparekraf. Sebelumnya berlangsung acara Tabur Bunga di sebagai bentuk penghormatan di pusara Usmar Ismail di di TPU Karet Bivak dan artis Sofia WD di TMP Kalibata. Dihari yang sama, Kemenparekraf bekerjasama dengan XXI memutar beberapa film yang dianggap laris terhitung dari tahun 2000-2010 seperti Ada Apa Dengan Cinta, Eiffel im in Love, Naga Bonar Jadi 2, dan Laskar Pelangi di Hollywood XXI, Jakarta dengan tiket khusus sebesar Rp. 20.000.

Pada tanggal 1 April 2014, berlangsung diskusi film di Ballroom Club XXI, Djakarta Theater bersama direktur Asiatica Film Mediale, Roma, Italo Spinelli dan Ray Nayoan berkerjasama dengan LA Light Indie Movie. Sebelumnya direncanakan Garin Nugroho juga  turut meramaikan diskusi namun berhalangan hadir. Malam puncak Hari Film Nasional ke -64 dibuka  dengan sambutan dari menteri  parekraf Mari Elka Pangestu, wakil menteri Dikbud Wiendu Nuryanti, dan Ketua BPI Alex Komang. Acara puncak juga diramaikan oleh Ihsan Tarore, Reza Artamevia, dan Dira Sugandi dengan Iringan Frequent O Harmony arahan Frida Tumakaka yang membawakan beberapa komposisi yang terilhami dari film-film Indonesia. Pada malam itu juga diserahkan Piala Antemas kepada Film “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” sebagai film terlaris tahun 2013. Acara ditutup dengan pemutaran film “Darah dan Doa” karya Usmar Ismail.


Film “Darah dan Doa” karya Bapak Film Nasional, Usmar Ismail dipilih sebagai penutup rangkaian acara Hari Film Nasional. Bukan tanpa alasan pemilihan “Darah dan Doa” yang rilis pada tahun 1950 ini sebagai penutup, film ini dikenal sebagai film pertama kali di sutradarai oleh orang Indonesia dan diproduksi oleh perusahaan Film milik Indonesia. Hal ini membuat hari pertama pengambilan gambar film yang juga dikenal dengan judul “The Long March of Siliwangi” ini ditetapkan sebagai Hari Film Nasional tiap tanggal 30 Maret. Film “Darah dan Doa” yang ditayangkan merupakan hasil restorasi yang juga merupakan film kedua karya Usmar Ismail yang direstorasi setelah sebelumnya karyanya yang berjudul “Lewat Djam Malam”. Namun “Darah dan Doa” direstorasi oleh Render Post dengan dukungan Kemenparekraf yang membuat film ini menjadi film pertama yang di restorasi di Indonesia.

Liputan : FILMARES 2014




Di tengah tingginya kesadaran dan semangat untuk menjadikan industri kreatif sebagai salah satu industri unggulan di Indonesia, FILMARES 2014 hadir untuk memperkenalkan “dapur” dibalik film-film yang beredar dipasaran berupa perusahaan, komunitas, atau individu yang berkecimpungng di balik layar industri perfilman baik dalam dan luar negeri, baik baru maupun yang telah lama dikenal oleh para pembuat film di Indonesia.

FILMARES 2014 yang merupakan singkatan dari Indonesian International Filmmaking Resources , berlangsung pada 26-28 November 2014 di JIExpo Kemayoran, Jakarta. FILMARES 2014 diikuti oleh para peserta yang menjual atau menyewakan peralatan pembuatan film seperti kamera, lensa, jimmy jib, lighting, dan sebagainya ataupun dalam bentuk jasa seperti pembuatan animasi/VFX dan ilustrasi, stuntman hingga make up. Selama di area pameran pengunjung dapat meilhat demonstrasi serta mencoba langsung produk-produk yang ditawarkan pada booth-booth FILMARES 2014.
Pihak pemerintah turut  berpartisipasi dalam rangkaian acara FILMARES 2014. Sinematek Indonesia, yang merupakan pusat informasi dan dokumentasi perfilman nasional yang akan menyuguhkan beberapa koleksi perfilman di Indonesia sejak jaman Hindia Belanda seperti kamera yang digunakan pada masa awal perfilman Indonesia hingga artikel-artikel sejarah pembuatan film nasional yang akan bisa dinikmati di area Museum Mini FILMARES 2014. Selain Sinematek, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia akan memberikan informasi mengenai destinasi lokasi syuting yang menarik di seluruh Indonesia.

Selama tiga hari pameran, pengunjung FILMARES 2014 juga dapat menikmati pelucuran produk baru oleh Panasonic yang akan mengusung teknologi 4K, Penampilan Stunt Man oleh SFC, serta beberapa rangkaian workshop dan talkshow. Penggemar animasi/VFX, tersedia workshop oleh Rini Sugianto, animator Indonesia yang turu menghasilkan film-film box office Hollywood. Terakhrir beliau turut menggarap animasi untuk film Hollywood, Teenage Mutant Ninja Turtles. Bagi Penggemar atau tertarik dengan film 3D Stereoskopik, teknologi film yang dinikmati dengan kacamata 3D, Alexander Lentjes, seorang pakar 3D Stereoskopik dari Inggris akan membagikan ilmunya dalam rangkaian workshop yang dilakukan oleh FILMARES 2014. Ada juga talkshow mengenai Home Entertaiment yang akan diisi oleh Fariz Budiman, Editor in Chief Majalah All Film, dab Ronny P Tjandra, Direktur Ezymata.

Bagi yang tertarik dengan kamera dan pengoperasiannya, terdapat juga workshop mengenai fungsi dan manfaat kamera video kecepatan tinggi oleh Wowo W. Sacawikarta yang merupakan intruktur pertama di Indonesia untuk kamera video kecepatan tinggi. Untuk yang suka membuat film menggunakan kamera DSLR, Benny Kadarhariarto yang merupakan ketua DSLR Cinematography Indonesia turut dihadirkan untuk mengisi workshop Kamera DSLR untuk pembuatan film.

FILMARES 2014 yang rencananya dibuka oleh Prof. Dr. Ahman Sya, Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, turut dihadiri peserta dari beberapa Negara di luar Indonesia seperti Amerika Serikat, Tiongkok,Korea Selatan, dan Filipina disamping peserta dari dalam negeri. Pameran yang baru pertama kali dilaksanakan ini oleh  Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Badan Perfilman Indonesia (BPI), dan AINAKI. Untuk memasuki area pameran tidak dipungut biaya atau gratis namun untuk mengikuti workshop-workshop tertentu akan dikenakan biaya.

Liputan : Mokino.co Cinema Shelter Vol. 1


Cinema Shelter Vol.1 merupakan kegiatan yang mempertemukan para pembuat film dengan para penikmat film untuk berbagi ilmu dan pengalaman dalam proses pembuatan film. Acara yang berlangsung pada hari Sabt, 4 Oktober 2014 di SAE Institue Pejaten diselenggarakan oleh Mokino.co , media online yang berfokus pada Industri film bekerja sama dengan Oreima Films.
Saat menonton film, terkadang banyak kesan dan Tanya menyelimuti benak penonton selepas film usai. Pertanyaan-pertanyaan dibalik layar saat proses pembuatan film seperti efek dan make-up, penggarapan musik yang mampu mempengaruhi mood menonton dan sebagainya. Untuk itulah Cinema Shelter hadir sebagai jawaban dari segala hal yang berhubungan dengan proses dan desain produksi  sebuah film kepada penikmat film dengan metode talkshow langsung dari sineas yang menggarapnya.

Pada gelaran pertama, Cinema Shelter mengangkat film “3 Nafas Likas”. 3 Nafas Likas adalah film rilisan Oreima Films yang disutradarai Rako Prijanto yang merupakan film biopic yang mengisahkan hidup Likas Tarigan (Atiqah Hasiholan) yang kemudian dikenal dengan Likas Ginting dalam berjuang meraih beberapa pencapaian dala  hidupnya. Selain Atiqah Hasiholan, aktor nominator FFI, Vino G. Bastian turut andil dalam film ini sebagai suami dari Likas, Djamin Ginting. Film ini rilis di Bioskop Indonesia pada 16 Oktober 2014.

Cinema Shelter Vol.1 dibagi dalam 4 sesi. Pada sesi pertama dibawakan oleh Rako Prijanto selaku Sutradara, Cesa David Luckmansyah selaku Editor, dan Hano Pradigya sebagai DOP. Mereka share kepada peserta Cinema Shelter bagaimana proses dalam 3 Nafas Likas mulai dari penggarapan skenario, sinematografi, hingga proses editing. Sesi kedua dibawakan oleh Khikmawan Sentosa dan Aghi Narotama dalam sesi Sound Engineer dan Music Scoring. Dalam Sesi ini di share bagaimana music mampu mempengaruhi mood menonton dan semakin membawa penonton semakin “masuk” kedalam film.

Pada sesi ketiga Cinema Shelter Vol.1, ada Raiyan Laksaman selaku Spesial FX dan Chaery Eka Wirawan sebagai Make Up Effect. Dalam sesi ini mereka share mengenai keterampilan dan pengalaman mereka dalam penggarapan 3 Nafas Likas. Raiyan sebagai SFX mempresentasikan beberapa efek CGI yang dia buat dalam film ini seperti membuat Pesawat terbang klasik dan sebagainya. Chaery Eka sebagai make up pun menunjukan keterampilannya dalam “Menyulap” penampilan para pemain 3 Nafas Likas, sebagai contoh Vino yang memiliki kulit putih bersih dibuat menjadi lebih gelap kulitnya. Sesi ke empat merupakan pengenalan Balinale film festival 2014.

Secara keseluruhan Cinema Shelter Vol.1 merupakan kegiatan positif yang memiliki nilai edukasi. Cinema Shelter membedah kepada penikmat film mengenai proses produksi sebuah film langsung dari orang-orang yang menggarapnya. Semoga akan terus muncul kegiatan baik seperti ini dan Cinema Shelter aka nada terus selanjutnya dengan membedah film Indonesia yang lain.

Kamis, 26 Februari 2015

Review : Comic 8 (2014)





Menyatukan 8 Comic (sebutan untuk pelaku stand up comedian) dalam satu film Action comedy? Bisa dibilang sebuah suguhan segar di kala penonton Indonesia terus-terusan suguhkan oleh genre yang itu-lagi-itu-lagi, comic 8 hadir sebagai “warna lain” dalam perfilman lokal.
Tak lain adalah Anggy Umbara, sosok dibalik film “Mama Cake” serta film yang cukup laris tahun lalu, “Coboy Junior The Movie” yang membawa 8 “Pelawak panggung” ini bersanding bersama dalam satu film. Anggy tahu betul kini Stand Up Comedy sedang berada dimasa jayanya dan Anggy-pun tahu bagaimana memanfaatkan hal tersebut. Memanfaatkan “aji mumpung” ini, Anggy menyuguhkan “Comic 8” sebuah film  bergenre Action Comedy yang bisa dibilang sangat jarang diperfilman lokal.

Premis “Comic 8” bisa dibilang unik. Delapan orang perampok yang dibagi dalam 3 komplotan rampok dengan kepentingan berbeda secara tidak sengaja “bersinggungan” diwaktu yang sama ketika mereka berniat merampok Bank INI. Ada Bintang, Fico, dan Babe, rampok amartir yang merampok demi merubah nasib harus bertemu dengan komplotan bertopeng joker (Anggy seperti ingin memparodikan adegan merampok bank yang dilakukan Joker di The Dark Knight) yang terlihat lebih professional yang terdiri dari Ernest,Kemal, dan Arie serta duo perampok “ajaib” Mongol dan Mudy. Selebihnya penonton akan disuguhkan kisah perampokan bank aneh dan kacau ini lengkap dengan hingar bingar suara senapan serta tentu saja kekonyolan-kekonyolan para rampok yang memancing gelak tawa penonton.

“Comic 8” tentu merupakan bukti semakin berkembangnya Anggy Umbara dalam mengemas sebuah film. Dalam “Comic 8” masih akan disuguhkan hal-hal yang menjadi ciri khas dari Anggy seperti gaya-gaya komikal dengan ditambah ilustrasi-ilustrasi yang menarik dan penggunaan beberapa frame dalam satu layar . Namun penggunaan beberapa efek visual dalam “Comic 8” lebih tepat penggunaannya dan lebih enak dinikmati daripada saat Anggy menerapkannya pada “Mama Cake” yang terlihat ingin menuangkan beberapa efek dan filter sebanyak-banyaknya. Penggunaan efek slow-motion pada adegan action seperti saat baku tembak patut diacungi jempol. Efek Slow-motion membuat adegan action terlihat lebih detail dan terlihat “keren” dimata penonton. Namun penggunaan efek slow-motion pada “Comic 8” terlihat banyak diulang-ulang yang malah membuat kesan “lebay” pada adegan tertentu. Penggunaan warna pada “Comic 8” untuk beberapa adegan bisa dibilang tidak tepat serta karena terlalu sering menggunakan warna yang agak kontras bisa membuat gangguan pada mata penonton atau membuat mata menjadi agak lelah.


Apresiasi baik harus disematkan kepada Fajar Umbara selaku penulis skenario. Dengan bijaknya, Fajar mampu membagi porsi yang pas kepada 8 sosok sentral dalam film ini. Kedelapan “perampok” ini dibekali karakter yang kuat serta mereka punya “bekal” untuk unjuk gigi dan dikenang penonton tanpa ada yang tampil dominan. Fajar mampu membagi beberapa lelucon “andalan” para comic ini masing-masing agar mereka sama rata mendapat “tertawa” dari penonton. Walau beberapa lelucon agak terasa sudah kadaluwarsa, diulang-ulang serta terasa segmented yang hanya lucu untuk beberapa orang saja (mungkin sangat lucu bagi yang mengikuti lawakan kedelapan comic ini) namun masih banyak “amunisi” lelucon yang siap menggempur penonton sehingga setidaknya penonton tidak pulang tanpa mulut merasakan tertawa apalagi tak terhibur.

Fajar Umbara mampu menambahkan “greget” pada film ini dengan menambahkan twist berlapis. Penonton akan disuguhkan twist-twist yang akan menunjukkan apa yang sebenarnya melatarbelakangi perampokan Bank yang dilakukan oleh kedelapan perampok ini. Walau tidak pungkiri twist dalam film ini terasa agak dipaksakan serta karena gaya penuturan twistnya sehingga twist ini jadi kurang begitu terasa dan terlihat “begitu saja” namun dengan Fajar memberikan twist yang cukup berani dan berbeda serta sejauh mungkin dari praduga penonton patut diacungi jempol dan bisa dibilang berbeda dari kebanyakn film-film Indonesia yang tampil dengan bermain aman atau hanya menggunakan 1 twist di ending.



Selebihnya, “Comic 8” mampu memberikan penyegaran pada film Indonesia dengan memberikan warna berbeda yang akhir-akhir ini dikuasai oleh horror atau drama percintaan. Anggy Umbara juga mampu membawa kedelapan comic yang biasanya tampil sendiri kini naik level ke layar lebar dengan penampilan yang cukup baik untuk seorang pemula karena dasarnya mereka bukanlah seorang aktor. Dan lagi-lagi Anggy mampu menggunakan momentum yang tepat dengan mengangkat comic yang sedang “laris” ditelevisi lokal ke layar lebar sama seperti saat menggarap boyband ribuan penggemar seperti Coboy Junior pada tahun lalu. Hasilnya? Dengan mudah Comic 8 mencapai 1 juta penonton. Raihan penonton yang sangat sulit dicapai pada tahun lalu dan baru bisa dicapai pada bulan Desember kini baru bulan Februari 1 juta penonton bisa dicapai. Tentu ini adalah prestasi membanggakan untuk Anngy Umbara dan kedelapan comic yang “diasuhnya”. Nikmati filmnya dan jangan beranjak dari tempat duduk anda hingga Credit Title bergulir. Karena performance para comic saat credit title bergulir adalah lelucon mereka terbaik sepanjang film (setidaknya untuk saya).

Review : Laskar Pelangi Sekuel 2 : Edensor (2013)



Setelah Penantian dan “Perjuangan” yang cukup lama, kelanjutan kisah anak-anak Belitong dalam meraih mimpinya kembali hadir. Mengusung judul “Laskar Pelangi Sekuel 2 : Edensor”, film adaptasi seri ketiga dari tetralogi novel karya Andrea Hirata siap melanjutkan kisah Ikal dan Arai, dua anak Belitong yang menggapai mimpi di Eropa. Kali ini, Riri Riza tidak lagi menyutradarai seri ketiga Laskar Pelangi. “Tongkat estafet” penyutradaraan dilanjutkan oleh sutradara peraih piala citra melalui “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta” Benni Setiawan.

“Laskar Pelangi sekuel 2 : Edensor” merupakan kelanjutan kisah Ikal (Lukman Sardi) danArai (Abimana Aryastya) yang melanjutkan kuliah di Sorbonne, Paris berkat beasiswa yang mereka dapatkan. Sepanjang film penonton akan disuguhkan kisah Ikal dan Arai bertahan hidup di negeri orang sambil mewujudkan mimpi mereka. Selain belajar, mereka juga bekerja apa saja mulai dari pelayan restoran hingga pengamen demi mencukupkan kebutuhan hidup serta mengirim uang ke orang tua di Belitong. Kisah Cinta Ikal dan Katya (Astrid Roos) pelajar asal Jerman serta bayang-bayang cinta pertama Ikal, Aling (Shalvynne Chang) turut menghiasi usaha dua anakbelitong ini mengejar cita-cita. Dalam Edensor Ikal terjebak dalam dinamika kehidupannya antara cinta, keluarga di Belitong, mimpi serta persahabatannya dengan Arai.

Benni Setiawan punya tanggung jawab besar dalam menghidupkan kisah yang mampu membuat dua film pendahulunya menjadi fenomenal. Proyek Edensor ini sempat mengalami bongkar pasang sutradara dan cast dalam pembuatannya. Mundurnya duet maut kesuksesan “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi”, Riri Riza dan Mira Lesmana serta penulis skenarionya Salman Aristo membuat Benni Setiawan yang juga menulis skenario Edensor punya “Pekerjaan Rumah” lebih dimana harus berupaya menyajikan suatu hal yang setidaknya sama dengan dua film sebelumnya. Ditambah sang penulis novel, Andrea Hirata tidak turut campur dalam penulisan skenario dengan alasan ingin melihat pandangan baru terhadap novelnya.


Kisah anak Belitong kehilangan keajaibannya. Bagi penggemar seri Laskar Pelangi jelas Edensor mengalami penurunan kualitas dibanding dua film sebelumnya. Skenario yang ditulis oleh Benni Setiawan tidak sekuat skenario dua film sebelumnya. Alhasil cerita Ikal dan Arai yang telah dibangun dengan baik di Sang Pemimpi hanya terlihat seperti dua orang pelajar yang kuliah di Paris dan dinamika kehidupannya yang biasa aja. Tak terasa mimpi besar yang sangat menggugah perasaan diseri sebelumnya. Ikal dan Arai memang selalu membicarakan mimpi mereka namun atmosfir akan mimpi mereka tak begitu terasa dalam film ini. Masih teringat jelas bagaimana Arai dalam Sang Pemimpi yang begitu “ajaib” dan keras terhadap mimpi-mimpinya. Dalam Edensor karakter Arai kehilangan perilaku “Ajaib”nya kecuali di bagian Arai remaja menggendong Ikal. Ya hanya itu saja yang tersisa.

Begitu datar emosi yang disampaikan melalui film ini. Benni Setiawan kurang mengeksplorasi konflik-konflik yang ada dalam film ini. Ya hanya seperti mendadak datang dan berlalu begitu saja. Tanpa meninggalkan kesan lebih terhadap penonton. Sosok Katya misalnya, tak begitu terasa memberikan pengaruh emosi terhadap penonton, padahal dial ah orang yang berhasil “membelokkan” cinta Ikal terhadap Aling. Romansa Ikal danAling pun terasa datar. Tak terasa cinta dari mereka walaupun Ikal terlihat bahagia disana dan ketika Katya pergi ya terasa begitu saja. Sosok Aling pun yang kedatangannya sebentar dalam film ini tak memberikan kesan lebih. Tak seperti kehadiran Aling di “Laskar Pelangi”. Adegan itu masih membekas dan memorable. Walau sebentar, Aling dalam Laskar Pelangi meninggalkan kesan baik dan akan tetap diingat ditambah iringan lagu seroja yang membuat Aling dalam “Laskar pelangi” mampu bertahan lama di memori penggemar filmnya.
Seperti pendahulu-pendahulunya, alunan musik yang mengiringi Edensor cukup memanjakan telinga dan menghidupkan suasana di Film. Beberapa adegan sedikit “terselamatkan” dari alunan musik yang mengiringi film ini. Dan seri Laskar Pelangi memang terkenal dengan Original Soundtrack yang enak didengar dan menjadi hits. Sebut saja “Laskar Pelangi”- Nidji dan “Tak perlu keliling Dunia”-Dewi Gutawa di Laskar Pelangi dan “Sang Pemimpi”- Gigi dan “Cinta Gila”-Ungu di Sang Pemimpi, di Edensor yang paling menonjol adalah lagu “Negeri Laskar Pelangi” yang dinyanyikan dalam dua versi melayu dan akustik. Keduanya sama baiknya dengan aransemen yang sederhana namun nikmat didengar. Lagu ini membuktikan selain pandai menulis novel, Andrea Hirata juga piawai menulis lagu. Selain itu sebagai “Jagoan” di Soundtrack ada “Pelangi dan Mimpi” yang dibawakan oleh Coboy Junior. Lagu ini dibawakan dengan baik dan enak didengar oleh Coboy Junior. Selain itu dipilihnya Coboy Junior sebagai pengisi Soundtrack juga menambah nilai komersil dari film ini.
Pengambilan judul “Laskar Pelangi sekuel 2 : Edensor” juga cukup menarik untuk ditelisik. Kenapa judulnya tidak “Edensor” saja ? kenapa pakai embel-embel Laskar Pelangi sekuel 2? Toh pada “Sang Pemimpi” pun tak ada embel-embel “Laskar Pelangi sekuel 1 : Sang Pemimpi”. Jelas untuk penentuan judul sepenuhnya adalah hak PH yang memiliki hak untuk mengangkat novel Edensor kedalam bentuk film. Mizan Production si pemilik hak adaptasi 3 novel Laskar Pelangi kali ini memang tak bekerjasama dengan Miles Film lagi namun dengan Falcon Pictures, Namun apa alasan menggunakan Embel-embel “Laskar Pelangi sekuel 2”. Setidaknya ada dua factor, pertama mungkin sebagai pengingat bahwa Edensor adalah lanjutan dari “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi” agar para calon penonton ketika melihat poster atau berita nya akan berbicara “Oh Laskar Pelangi ada lanjutannya ya..” . Mereka tidak mau kehilangan moment dari kesuksesan Laskar Pelangi. Atau “Laskar Pelangi Sekuel 2” digunakan Karena PH kurang Pede dengan hanya mengusung nama Edensor yang takutnya calon penonton tidak tahu bahwa Edensor adalah kelanjutan dari Laskar Pelangi dan mempengaruhi  jumlah penonton. Sehingga, embel-embel “Laskar pelangi sekuel 2” digunakan sebagai jaminan kepada penonton. Secara “Laskar Pelangi” mempunyai nama yang “harum” dikalangan penonton film lokal  baik dari kualitas atau raihan box office nya. Apapun itu, pemakain “Laskar Pelangi Sekuel 2” hanya yang bersangkutan yang tahu persis alasan yang sebenarnya.



Memang tugas yang berat meneruskan seri besar yang punya cerita yang kuat serta meninggalan ciri khas sutradaranya sebelumnya. “Laskar Pelangi sekuel 2 : Edensor” mampu tampil dengan gaya berbeda yang tetap layak untuk ditonton. Setidaknya Edensor memberikan suguhan yang cukup untuk para penggemar seri ini serta meneruskan kisah inspiratif anak Belitong yang meraih mimpi mereka. Edensor pun memiliki tujuan yang sama dengan sebelumnya untuk memotivasi dan menyebarkan semangat untuk meraih mimpi setinggi-tingginya apapun keterbatasan yang dimiliki. Semoga seri terakhir dari Laskar Pelangi, Maryamah Kapov dapat digarap secara lebih matang dan menjadi penutup yang indah kelak. Ya kita tunggu saja Maryamah Karpov atau Laskar Pelangi sekuel 3 : Maryamah karpov nanti.

Review : Killers (2014)


Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel akhirnya “Rujuk” kembali!  The Mo Brother,Duet maut yang bertanggung jawab akan “lahirnya” film slasher yang membuat penontonnya “bersenang-senang” akan “pesta” literan darah serta serentetan adegan brutal nan mengerikan dalam “Rumah Dara” pada 2010 kembali meramaikan perfilman lokal setelah “absen” cukup lama sekitar 4 tahun. Kini The Mo Brothers kembali dengan salah satu film yang ditunggu-tunggu oleh penggemar film “sinting” Indonesia berjudul “Killers”.

Selama 4 tahun waktu “Pisah Ranjang” The Mo Brothers bukan tanpa bekas. Timo Tjahjanto pada tahun 2012 tergabung dengan 25 sutradara sinting di dunia dalam film “The ABCs Of Death” dalam segmen “sakit jiwa” L is Libido serta berduet dengan Gareth Evans (The Raid) dalam V/H/S 2 dalam segmen sakit jiwa yang mampu membuat jantung saya berdegup kencang serta pikiran saya terombang-ambing  (ini tidak berlebihan,coba saja sendiri) berjudul “Safe Haven”. Jam terbang serta rentetan filmografi Timo Tjahjanto dan Kimo Stanboel membuat wajar saja kalau “Killers begitu dinantikan dan membuat penggemarnya memiliki ekspetasi berlebih akan film ini.


“Killers” mengangkat sisi lain dari manusia. Manusia mempunyai sisi gelap dalam dirinya yang bila “diusik” sisi gelap tersebut dapat menunjukan wujudnya serta bukan tidak mungkin mampu menguasai manusia hingga manusia seperti berubah menjadi “monster” yang ganas. Sepanjang film penonton akan ditunjukkan akan sisi gelap dari manusia dan diajak sang pembuat film untuk “berkreasi” menelusuri labirin dan menemukan apa yang sebenernya dipikirkan oleh pembunuh bengis yang kerap mengupload video-video peyiksaan korbannya yang berkedok sebagai eksekutif  muda bernama Nomura Shuhei (Kazuki Kitamura) serta “Jalinan Kasih” abnormal  jarak jauh  dengan  seorang jurnalis dengan kehidupan yang terpuruk karena tekanan karier dan permasalahan keluarga bernama Bayu Aditya (Oka Antara). Kisah Long Distance Relationship mereka yang terhubung dengan saling upload video pembunuhan serta video chat menyeret mereka ke sisi gelap yang makin dalam dan telihat semakin “asyik” dalam memburu korban-korbannya.

“Killers” merupakan pembuktian kedewasaan dan semakin matangnya The Mo Brothers dalam bekarya. Mereka tidak berjalan di zona aman pada genre slasher namun pada “Killers”yang di gariskan dari awal bergenre Thriller Psikologis yang akan bermain-main dengan psikologis dan menyerang  pikiran dan mental  penonton  dengan apa yang disajikan dalam “Killers”. Sejak menit-menit awal, penonton akan dibuat tidak nyaman (bagi yang tidak tebiasa) dengan gaya khas The Mo Brothers melalui serentetan adegan keras dan brutal bercipratan darah segar yang keluar dari tikaman benda-benda keras dari sang psikopat berdarah dingin seperti Nomura. Membuat yang tidak kuat mental akan terus-terusan terusik serta tidak nyaman selama 138 menit film berlangsung namun bagi pecinta adegan-adegan kekerasan tak bermoral mungkin akan berbahagia sepanjang film melihat satu per satu korban berjatuhan dibumbui adegan keras mengantar kematiannya.


“Killers” tak melulu mengenai adegan kekerasan nan mengilukan serta bermandikan darah. Ada cerita yang dikemas menarik mengikuti sisi gelap kedua tokoh utama. Timo Tjahjanto dan Takuji Ushiyama selaku script writer tahu betul bagaimana melakukan eksplorasi dalam membangun karakter Nomura dan Bayu sebagai Karakter Sentral. Karakter Nomura dan Bayu dibangun dengan kisah yang tidak menjemukan walau beralur cukup pelan dan mampu membawa penonton turut merasakan masuk ke sisi gelap dari karakter Nomura dan Bayu. Hal itu juga tak terlepas penampilan kedua main cast dari “Killers” Kazuki Kitamura dan Oka Antara. Kazuki Kitamura mampu menampilkan sosok psikopat karismatik berdarah dingin yang tak perlu harus banyak omong, dengan gesture tubuh dan raut wajah yang meyakinkan, Kazuki Kitamura mampu memberikan aura psikopat bengis yang karismatik. Oka Antara juga tak mau kalah, penampilannya cukup total dalam film ini. Beberapa ekspresinya tepat serta menghayati karakternya sebagai seorang jurnalis yang depresi. Oka Antara sadar betul bahwa Killers mampu membuat namanya akan terangkat dibelantika film Internasional sehingga performa yang ditunjukkanpun tidak tanggung-tanggung.

Namun tidak dipungkiri, penggabungan kisah psikopat berbeda tempat ini terasa kurang di blend dengan baik. Film akan terbagi menjadi dua fokus karakter yang berlatar belakang baik setting, kejadian atau pengalaman yang berbeda membuat Killers terasa tanggung dalam membangun tensi serta yang berakibat beberapa kejadian dalam film ini berkahir begitu saja serta tentu saja memngakibatkan tedapat beberapa plot holes dalam film ini. Namun, terlepas dari itu Killers disajikan dengan sajian hidangan yang cukup menggugah selera. Dibalut dengan tata sinematografi yang indah dan  serta scoring yang patut diacungi jempol. Adengan pembunuhan diiringi dengan scoring lembut namun terkesan kelam yang semakin membawa penonton semakin masuk dalam sisi gelap sang psikopat. Adengan membunuh dikemas dengan balutan yang artistik seperti The Mo Brothers ingin “mengajak” kita berpendapat bahwa pembunuhan itu indah loh.



Secara keseluruhan, The Mo Brothers mampu menyajikan sebuah tontonan langka bagi perfilman Indonesia dengan menyuguhkan sebuah film Thriller Psikologis yang cukup brilliant serta membuktikan bahwa karya-karya mereka memang patut dinanti serta selalu menyuguhkan hal yang memuaskan. Walau tak bisa ditampik bahwa akan ada saja  yang membandingkan Killers dengan Rumah Dara, namun sebenernya hal itu bukan yang pantas untuk dijadikan perbandingan karena berbeda genre antara slasher dengan thriller psikologis. Killers merupakan pembuktian bahwa The MO Brothers mampu menyajikan diluar zona aman mereka dan bukti nyata semakin berkembangnya kemampuan mereka. Killers mampu menjadi tontonan yang berbeda dan mampu membekas dan mengganggu pikiran penonton hingga film habis. Dan sangatlah wajar bila film ini mencapai prestasi membanggakan hingga menjadi Official Selection dalam festval film yang bergengsi Sundance Film Festival.

Review : Slank Gak Ada Matinya (2013)





Mengangkat kisah perjalanan dari seorang Musisi atau Group Band kedalam format Film memang bukan hal yang baru. Sebelumnya pada tahun 1991, Oliver Stone menggarap sebuah film biografi mengenai salah satu band rock terkenal tahun 1960an, “The Doors” . Degan mengusung judul film yang sama dengan nama band-nya, “The Doors” lebih fokus terhadap kisah sang vokalis, Jim Morrison,  yang di perankan oleh Val Kimer. Kini salah satu band rock papan atas Indonesia, Slank, “berkesempatan” kisah mereka diangkat ke dalam film dan dirilis di pengujung tahun 2013 dengan judul “Slank Nggak Ada Matinya”.

“Slank Nggak Ada Matinya” merupakan film yang dibuat untuk menyambut 30tahun Slank Berkarya dibelantika musik nasional. Film ini bisa dikatakan sebagai momentum kiprah Slank dalam berkarya. Film yang disutradarai oleh Fajar Bustomi ini berfokus Slank pada periode akhir  tahun 1996-2000 dimana pada periode ini dianggap Slank mengalami sebuah titik balik yang mengubah Slank hingga menjadi Band Sebesar sekarang ini.  Kisah dimulai dengan bergabungnya Ridho (Ajun Perwira) dan Abdee ( Deva Mahera) mengisi kekosongan personil Slank yang menyisahkan Bimbim (Adipati Dolken), Kaka (Ricky Harun),dan Ivanka (Aaron Shahab) merupakan pembuktian bahwa Slank tidak bubar. Selebihnya Penonton akan diajak menyelami kisah para rocker ini dari saat mereka melakukan tour keliling kota, dikelilingi para gadis, interaksi dengan Slankers (Fans dari Slank) hingga bertarung dengan Narkoba. Kedekatan personil Slank dengan sang manajer yang juga merupakan sosok ibu bagi mereka, Bunda Iffet (Meriam Bellina) juga akan menghiasi kisah perjalan group band legendaris ini.


Starvision tahu betul apa yang diinginkan pasar penonton film lokal. Dengan keberhasilan seri Get Married yang mampu mencapai seri keempatnya tahun ini atau pada tahun ini 2 film dari Raditya Dika yang mampu menggaet jumlah penonton yang bisa dikatakan banyak melihat kelesuan jumlah penonton Indonesia, PH ini-pun menggarap Film “Slank Gak Ada Matinya” dengan “Formula” yang kurang lebih sama, Kisah Drama Komedi bergaya “anak muda” yang dihiasi kisah cinta yang disukai penonton Indonesia dan dibalut komedi-komedi yang menghibur.

Fajar Bustomi menyajikan “Slank Gak Ada Matinya” menjadi tontonan yang menghibur  dan sesekali “kekonyolan” yang ditampilkan mampu menimbulkan gelak tawa. Namun, Film ini jadi terasa “Hanyut” kedalam kisah drama para personil Slank sehingga kesan Slank sebagai Band yang besar-pun tak begitu terasa. Slank dalam film ini tak memancarkan kharisma layaknya sebuah band besar malah seperti segerombolan anak muda dengan band biasa mereka. Memang Slank dikenal dengan gayanya yang slengean namun mereka karismatik dan punya pesona sehingga dicintai oleh para Slankers. Kehebatan Slank ini lah yang kurang terasa pada film ini. Walaupun pada setiap adegan konser dipenuhi oleh Slankers dan disisipkan beberapa dakta hebat tentang Slank, “Slank KW” pada film ini tetap tidak mampu memancarkan kehebatan group Band Slank.

Pemilihan cast yang memerankan personil Slank memang sempat menimbulkan banyak komentar beragam mengiringi produksi film “Slank Gak Ada Matinya” . Pemilihan cast seperti Adipati Dolken dan Ricky Harun memang terasa sebagai penambah nilai komersil dari film ini. Bagaimana tidak, Adipati Dolken tahun ini saja cukup banyak filmnya yang rilis seiring kesuksesannya membintangi sosok Keenan dalam Perahu Kertas yang membuatnya memiliki banyak fans. Pemilihan cast yang terlihat komersil ini lah yang membuat anggapan kalau cast tersebut hanya sebagai penarik para penonton terutama kaum muda. Beban untuk memerankan personil Slank tentu akan terasa bagi para cast yang memerankannya. Mereka terlihat cukup berusaha menghidupkan karakter personil Slank. Adipati Dolken jelas berusaha semirip mungkin dengan gaya Bimbim seperti cara berjalan, raut muka hingga cara bicara yang agak tidak begitu jelas. Ricky Harun sebagai Kaka pun menyuguhkan penampilan konyol khas Kaka.Walau akting Ricky Harun masih terlihat tidak begitu berkembang dari beberapa perannya difilm-film sebelumnya. Namun semua cast telah berusaha semirip mungkin meniru Slank yang asli baik dari gesture tubuh hingga cara berbicara. Terlebih didukung dengan kostum serta make-up yang membuat penampilan mereka terlihat mirip dengan Slank yang asli.
Slank memang terkenal menyampaikan pesan kebaikan bagi orang banyak. Selain pesan kedamaian yang selalu disampaikan dengan kata “Peace” di setiap aksi panggungnya, dalam film ini mereka menyampaikan bahaya akan narkoba. Film ini berhasil menggambarkan efek buruk Narkoba yang dialami 3 personil Slank dengan baik. Adegan ini mengajak para penonton terutama slankers untuk tidak mendekati barang haram tersebut. Sebuah pesan moral baik yang diselipkan dalam film sehingga tidak hanya sebagai hiburan semata.

Dedikasi Slank juga terlihat jelas dalam film ini. Setidaknya ada 40 lagu Slank termasuk dari album terbarunya yang digunakan dalam film ini. Penggarapan Scoring dan pemilihan lagu disetiap adegan juga digarap oleh band rock ini. Mereka juga terlibat dalam revisi Skenario film ini agar sesuai dengan kenyataannya dan mampu menggambarkan bagaimana Slank. Dan tentu saja penampilan personil Slank sebagai Cameo dalam film ini. Sebut saja Kaka sebagai Security Hotel dan Bimbim sebagai pengunjung bar.

Selebihnya “Slank Gak Ada Matinya” layak sebagai tontonan keluarga yang menghibur dan mampu memberikan tontonan baru untuk para Slankers setelah film musikal Slank berjudul “Generasi Biru”. Film ini menyuguhkan apa yang memang menjadi favorite penonton Indonesia yaitu drama komedi berbalut percintaan. Ya memang tak munafik kalo selain mengangkat Slank kelayar lebar, film ini punya tujuan komersil untuk meraih pundi-pundi uang dari tiket yang dibeli penonton sehingga film ini terlihat seperti mengikuti selera penonton Indonesia. Namun tak usah berharap muluk-muluk terhadap film ini. Hanya duduk dikursi penonton dan nikmatilah apa yang disajikan dalam film ini.

Review : The Wind Rises (2013)



Setelah Hayao Miyazaki, salah satu master anime ternama di Jepang memutuskan untuk kembali pensiun dari dunia animasi, sontak “The Wind Rises” yang merupakan film terakhirnya mendapat perhatian lebih dari pencinta animasi bahkan pencinta film internasional. “The Wind Rises” adalah film terbaru Hayao Miyazaki setelah terakhir menggarap “Ponyo on the Cliff By The Sea” pada tahun 2008.

Tidak dipungkiri, “The Wind Rises” yang juga produksi dari Studio Ghibli yang terkenal melahirkan film-film animasi berkualitas ini mendapat sambutan yang hangat. Pertama, duet maut Studio Ghibli dan Hayao Miyazaki selalu melahirkan karya-karya yang menawan serta belum pernah mengecewakan. Sebagai contoh, Spirited Away yang memenangkan Best Animated Feature pada Academy Awards 2002. Kedua, raihan jumlah penonton di Jepang yang membuat “The Wind Rises” duduk manis di puncak Box Office Jepang serta tanggapan positif dari beberapa kritikus dunia. Ketiga, tentu saja nominasi Best Animated Feature Academy Awards 2014 yang merupakan prestasi tersendiri bagi film ini, namun sayang harus kalah dengan film animasi Disney, Frozen.
“The Wind Rises” berkisah mengenai Jiro Hirokoshi, seorang aviator atau perancang pesawat tempur ternama di Jepang. Sepanjang film penonton akan disuguhkan biografi sang ahli aeronutika ini dalam menggapai mimpinya menjadi perancang pesawat seperti idolanya, Caproni. Paruh awal film penonton akan disuguhkan perjalanan Jiro Hirokoshi meraih mimpi-mimpinya dan di babak kedua film akan dibumbui kisah romansa antara Jiro dan wanita cantik berambut biru,Naoko Satomi.
Film yang memiliki judul lain”Kaze Tachinu” ini merupakan adaptasi dari cerita pendek karya Tatsuo  Hori, seorang penyair, penulis, dan penerjemah dari zaman Showa yang ditulis sekitar tahun 1936-1937. Sebelum mengangkatnya dalam animasi panjang, Hayao Miyazaki pernah mengangkatnya ke dalam manga yang dibuat bersambung di majalah Model Graphix pada tahun 2009.


“The Wind Rises” memang berbeda. Penonton tidak akan menemukan monster-monster apik namun lucu, penyihir, jagoan wanita atau segala hal yang dekat dengan film-film Hayao Miyazaki. Walau temanya yang dekat dengan pesawat, namun jangan berharap akan ada pilot babi ala “Porco Roso” mampir dalam film ini. Hayao Miyazaki membawa “The Wind Rises” jauh lebih dewasa dan realis dengan membuang segala fantasi liar tak ada habisnya yang biasa dia angkat dalam film. Memang dengan pendekatan yang realis ini meruntuhkan beberapa ekspetasi penonton yang ingin bersenang-senang seperti biasanya menonton karya Hayao Miyazaki, namun Hayao pasti memiliki alasan menggarap “The Wind Rises” seperti ini. Salah satunya agar sosok Jiro Hirokoshi yang ditampilkan dalam film ini dapat sedekat mungkin dengan aslinya. Bisa jadi film ini nantinya menjadi film edukatif dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah di Jepang atau bahkan di negara lain.
Kelewat serius mungkin akan membayangi beberapa benak penonton. Ya memang jarang sekali film animasi dibuat serius karena biasanya animasi merupakan alternative menonton yang menghibur dan memancing tawa. Namun karena sisi realisnya, bahkan seperti tak ada tempat untuk komedi, atau bermain-main dengan fantasi. Kalaupun ada sisi fantasinya terdapat pada pertemuan mimpi antara Jiro dan Caproni. Adapun sisi romansa dalam film ini antara Jiro dan Naoko terasa datar dan kurang mengeksplor emosi penonton. Namun didalam kedataran “The Wind Rises” ada kedalam cerita dan karakter yang digali dengan baik oleh Hayao Miyazaki. Dan jangan lupakan visualisasi “The Wind Rises” yang detil,Cantik,dengan warna-warna yang indah dan sejuk yang membuat semua momen dalam film ini yang dibuat oleh Hayao Miyazaki dan Tim Animator Studio Ghibli begitu berkesan. Suatu bentuk kesetiaan yang mengagumkan dari Hayao Miyazaki yang tetap mengusung animasi 2D melalui goresan tangannya sendiri ditengah gempuran animasi 3D yang popular saat ini.


Dengan durasi 126 menit dan ceritanya yang bisa dibilang datar, tak dipungkiri dapat menimbulkan penonton menguap sekali dua kali apalagi buat mereka yang bukan penggemar Hayao Miyazaki dan seluk beluk pesawat. Namun, “The Wind Rises” merupakan suatu pencapaian lain dari Hayao Miyazaki dengan membuat animasi yang realis dan serius diluar kebiasaannya. Film terakhirnya ini tetap akan mengisi hati para penggemarnya serta pencinta film animasi dunia. Dan tentu saja perlu diberi penghargaan kepada Joe Hisaishi , composer langganan hayao miyazaki yang membuat scoring mengagumkan dalam film ini apalagi dibeberapa adegan ada efek suara yang dibuat dengan mulutnya sendiri seperti suara baling-baling pesawat terbang yang hendak terbang.