Rabu, 29 Januari 2014

REVIEW : Isyarat (2013)


“Indie Movie Goes To Cinema”, sebuah semangat yang digembar-gemborkan kepada khalayak luas mengiringi rilisnya “Isyarat” di Bioskop. Memang “Isyarat” Lahir dari “Rahim” komunitas Lingkar Alumni Indie Movie, sebuah komunitas para alumni dari peserta LA Light Indie Movies yang selama 7 tahun konsisten melakukan workshop dan serangkaian pelatihan lain untuk  para calon moviemakers muda yang mempunyai passion didunia film. “Isyarat” merupakan gebrakan bagi penggiat film Indie yang memiliki tujuan agar film-film pendek mereka bisa turut serta meramaikan bioskop nasional. Ya sebagaimana kita tahu bahwa kebanyakan film pendek Indie sangat sulit memiliki tempat di bioskop lokal dan festival-festival Film lah tempat para sineas film Indie menunjukan karya mereka.

“Isyarat” merupakan film omnibus yang terdiri dari lima film pendek yang mengangkat tema yang sama, manusia dengan “kemampuan lebih”nya atau pada umumnya disebut “Indra keenam”. “Teman Bayangan” garapan Asmirandah mengisahkan Dewi (Asmirandah) gadis muda yang memiliki kemampuan psikokinesis. Dewi memiliki teman khayalan bernama Fly (Jonas Rivanno) yang selalu mengikuti kemanapun Dewi pergi. Hingga akhirnya Dewi menyadarai bahwa kekuatannya dapat melukai orang yang dicintainya. Komedi situasional karya Monty Tiwa “Lost and Found” mengisahkan Oki (Poppy Sovia) yang kehilangan dompetnya dan bertemu Sisi (Prisia Nasution), seorang janitor yang mempunyai kemampuan menerawang kejadian masa lampau. Reza Rahardian menyutradarai segmen “Gadis Indigo” yang berkisah mengenai Maya (Revalina S Temat) yang mampu membaca sifat seseorang dengan menggambar wajahnya hingga akhirnya bertemu dengan Ganda, pria yang sulit dia baca kepribadiaannya. Adhyatmika, sutradara muda alumni Indie Movies 2009 menyutradarai segmen “Flora” yang berkisah mengenai gadis  bernama Flora (Taskia Namiya) yang dapat bersinggungan dengan hal-hal dari dunia astral dan kisah cintanya dengan Danel (Abimana Arya). Dan terakhir “Tanda Bahaya” garapan Donny Alamsyah yang ingin menggambarkan bahwa dalam keadaan terdesak manusia bisa lebih kejam dari binatang yang lebih kejam.


Mengangkat tema “Indra Keenam”, “Isyarat” terlihat kurang eksplorasi dalam menggali hal unik yang ada pada kemampuan yang jarang dimiliki ini. Dengan mengangkat tema yang cukup menarik dengan menyajikan beberapa jenis Indra keenam baik mampu melihat masa lalu hingga melihat makhluk dunia astral, namun “Isyarat” hanya terlihat sekedar memberi tahu bahwa indera keenam itu ada. Walaupun begitu, “Teman Bayangan” garapan Asmirandah mampu memberikan sebuah kisah menarik mengenai psikokinesis dan sosok Fly sebenarnya yang akan membuat penonton menduga-duga siapa sebenarnya Fly tersebut. Dibalut dengan nuansa surealis membuat segmen ini yang paling menonjol dibanding  segmen yang lain. “Lost and Found” tampil sebagai segmen yang paling menghibur dan mampu mengundak tawa. “Lost and Found” menyajikan komedi situasional dibalut percakapan dan gerak-gerik konyol dari kedua tokoh utama Oki dan Sisi. Paruh awal hingga tengah film ini dibangun dengan cukup meyakinkan dan memberikan ketegangan disetiap adegannya namun dari segi cerita bisa dikatakan cukup klise. Paruh akhir segmen terlihat tidak fokus dan akhirnya akan mengundang ucapan “ceritanya udahan?” dari penonton. Namun penampilan menawan dan total terlihat ditampilkan oleh kedua aktris utama segmen ini, Poppy Sovia dan Prisia Nasution yang membuat “Lost and Found” tetap menarik dan membuat penonton terbawa “pertualangan” mereka.

“Gadis Indigo” menyuguhkan kisah cinta Maya dan Ganda yang klise. Reza Rahardian yang sebelumnya juga pernah menangani salah satu segmen dalam “Wanita Tetap Wanita” berjudul “With or Without” ini terlihat kurang maksimal dalam menggarap “Gadis Indigo”, akhirnya timbul pertanyaan, “Mau dibawa kemana film ini?”. Reza seperti kehilangan kendalinya dalam film ini. Hasilnya “Gadis Indigo” tampil ya seadanya. “Gadis Indigo” seperti kehilangan daya tariknya. Mengambang begitu saja. Amat disayangkan transisi antara segmen “Gadis Indigo” dan “Flora” tidak begitu terlihat sehingga terasa seperti kedua segmen ini seperti satu segmen panjang. Hal ini diperkuat sosok Maya yang merupakan teman dekat dari Flora dan Flora pun tampil cukup banyak di segmen “Gadis Indigo”. Apabila pada segmen sebelumnya pergantian segmen ditandai dengan ilustrasi komik bergaya pop art, namun pada perpindahan segmen “Gadis Indigo” dan “Flora” tidak ada. Entah memang sengaja ingin agar terlihat “satu” antara “Gadis Indigo” dan “Flora”, namun cara ini membuat segmen “Gadis Indigo” jadi terlihat Menggantung.

Adhyatmika kurang dapat mengeksplor sosok Flora yang memiliki kemampuan lebih dapat melihat sosok ghaib. Flora terlihat seperti perempuan biasa walau ada adegan dimana Flora diperlihatkan dengan penampakan, namun untuk beberapa orang tanpa kemampuan indra keenam-pun terkadang dapat diberi wujud penampakan. Flora kurang terlihat memiliki kemampuan itu walau sepanjang segmen banyak pernyataan bahwa Flora itu aneh dan sebagainya. Editing yang bisa dibilang cukup unik terutam dibagian akhir film yang menampilkan alur maju mundur memang mampu membuat penonton sedikit berpikir. Namun membuat beberapa adegan yang niatnya membuat penonton bertanya-tanya terkesan gagal karena terlalu lama dan mengulur-ngulur waktu  . Namun penampilan Abimana Arya sangat total dalam film ini. Abimana Arya membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik saat ini dan nominasi aktor terbaik FFI 2013 memang layak untuk dia. “Tanda Bahaya” hadir sebagai segmen tersingkat dan paling klise dari semua segmen. Tidak seperti film utuh, entah apa alasannya menampilkan “Tanda Bahaya” hanya “sekedar” ini. Padahal sosok Evan yang diperankan oleh Dion Wiyoko adalah tokoh kunci yang menyatukan sosok Indigo di emapt segmen . “Tanda Bahaya” dan Evan-nya bermaksud sebagai “penghubung” film “Isyarat” namun gagal dan menjadi kisah yang agak janggal.

Terlepas dari semua, Omnibus ini didukung dengan sinematografi yang menawan dan indah. “Isyarat” memiliki tema yang sangat menarik untuk diangkat dan dikembangkan walau hasilnya masih kurang memuaskan.Walaupun begitu, “Isyarat” masih layak untuk disaksikan untuk semangat untuk belajar dari beberapa moviemaker muda yang tergabung dalam komunitas Indie Movie. Mereka-merekalah penerus perfilman nasional. Semangat untuk mewujudkan Film Indie mampu menembus bioskop nasional patut diapresiasikan. Mudah-mudahan produksi selanjutnya dari komunitas ini akan lebih baik dan mampu berbicara lebih banyak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar