Jumat, 27 Februari 2015

Artikel : "Kemana Bioskop Indonesia?"


Agak miris melihat kenyataan bahwa Film Indonesia seperti semakin ditinggalkan oleh penonton film di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari perolehan jumlah penonton pada tahun 2013. Beberapa film yang diunggulkan dan diprediksi mampu mendulang jumlah penonton pun masih sulit untuk meraih satu juta penonton. Bahkan beberapa film justru mengalami flop dari sisi jumlah penonton.

Pada tahun 2013 lalu, hanya ada dua film Indonesia yang dirilis, berhasil meraih lebih dari satu juta penonton, yaitu film 99 Cahaya di Langit Eropa dan Tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Sebagai peraih penonton terbanyak, film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hanya memperoleh 1,7 juta penonton. Perolehan ini tidak sampai setengah dari perolehan penonton film Habibie dan Ainun pada tahun 2012, yang mampu meraih 4,2 juta penonton.
Menurut Data yang dipaparkan Nurwan Hadiyono, Kepala Subdirektorat Produksi Film, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, menunjukkan bahwa pada tahun 2013 lalu, hanya sekitar 15,5 juta orang yang menonton film Indonesia. Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2012 yang mampu menggaet 18 juta penonton. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, film Indonesia tahun lalu hanya mampu menarik paling tidak 7% dari jumlah penduduk Indonesia. Apakah hal ini menunjukkan kurangnya apresiasi penduduk Indonesia terhadap perfilman Indonesia? Kalau iya, lantas apa penyebabnya? Siapa yang bertanggung jawab?.

Bila ditelisik lebih dalam, salah satu penyebab lesunya apresiasi masyarakat terhadap film Nasional adalah persoalan infrastruktur industri film di Indonesia, khususnya di sisi distribusi dan eksibisi. Film nasional terlihat tak memiliki ruang gerak yang cukup. Salah satu infrastruktur yang seharusnya sangat berperan dalam hal ini adalah bioskop. Bioskop di Indonesia pernah mengalami puncak masa jayanya pada tahun 90-an, di mana pada tahun tersebut Jumlah bioskop di Indonesia mencapai jumlah tertinggi, yaitu 2.600 buah dengan 2.853 layar, dan Jumlah penonton mencapai 32 juta orang. Era 1991-2002 terjadi keterpurukan bagi usaha perbioskopan di Indonesia secara drastis. Dari Jumlah 2.600 pada tahun 1990, tinggal 264 bioskop dengan 676 layar di tahun 2002.

Adapun yang dianggap sebagai kendala yang menyebabkan itu terjadi adalah maraknya televisi swasta, tv kabel dan pembajakan terhadap film lewat VCD dan DVD. Hiburan alternatif melalui media televisi, mampu menerobos memasuki setiap rumah dan bisa dinikmati secara gratis. Kemudian antara tahun 2003 hingga 2007 kembali terjadi peningkatan Jumlah bioskop di Indonesia. Dari 264 bioskop dengan 676 layar di tahun 2002 menÂjadi 483 bioskop dengan 959 layar pada pertengahan tahun 2007.
Namun ironisnya, itupun hanya berkembang di kota-kota besar saja, khusunya di mal-mal dan pusat perbelanjaan. Artinya, bioskop yang ada baru sekedar memenuhi kebutuhan pasar film Indonesia di lapisan menengah ke atas, yang diperkirakan hanya sekitar 25% dari Jumlah penonton di Indonesia. Jumlah bioskop yang tersebar di wilayah Jadebotabek mencapai hampir 60%, sedangkan di daerah provinsi dan kabupaten lain mendapat imbas dengan bangkrutnya bioskop-bioskop menengah ke bawah.

Lalu jika dilihat dari jumlah layar di Indonesia saat ini, negeri ini hanya memiliki sekitar 700-an layar yang dikuasai mayoritas oleh dua exhibitor. Menurut JB Kristanto, 82% dari jumlah layar dikuasai oleh jaringan bioskop XXI, 10% oleh jaringan Blitzmegaplex, dan sisanya sebesar 8% diisi oleh jaringan bioskop alternatif. 700-an layar yang tersisa di Indonesia merupakan sebuah ironi dimana seharusnya infrastruktur perfilman nasional meningkat, namun kenyataannya justru mengalami penurunan. Ini menyebabkan film nasional kehilangan kekuatan distribusi untuk menjangkau publik.

Dengan 240 juta penduduk di Indonesia, jumlah 700-an layar bioskop pastilah sangat kurang. Terlebih bila melihat persebaran bioskop yang hanya berkiblat pada kota-kota besar saja. Hal ini dapat terlihat dari data yang ada, yaitu dari 34 Provinsi di Indonesia, hanya 21 Provinsi yang “dijamah” oleh layar bioskop itupun terkonsenrasi pada 31 kota besar saja. Kebanyakan bioskop berdiri di pulau Jawa sebanyak 79,63%, Sumatera 7,41%, Kalimantan 4,94%, Sulawesi  3,09%, dan 0,5%-2,5% tersebar di Bali, Maluku,dan Kepulauan Riau. Dengan persebaran bioskop yang seperti itu, hanya 13% warga Indonesia yang memiliki akses untuk kebioskop atau sekitar 33,5 Juta, sisanya? Penuh perjuangan tak mudah untuk menikmati pengalaman sinematis di bioskop. Jadi masyarakat Indonesia tidak bisa dianggap tidak mau untuk pergi ke Bioskop atau tidak suka terhadap film Indonesia.
Bagai jatuh tertimpa tangga. Mungkin ungkapan tersebut tepat ditujukan kepada perfilman Indonesia. Sudah ruang geraknya sempit, harus merasakan pula pembagian porsi tayang yang tak adil. Berapa sih “masa hidup” film Indonesia di Bioskop? Bila pada tahun 2011 film Indonesia mampu rata-rata bertahan 8 minggu di bioskop, semakin kesini semakin singkat masa tayangnya. Terlebih untuk sekarang ini, film yang dianggap tidak laku pada minggu pertama, akan langsung turun tayang dari bioskop. Rata-rata Film Indonesia hanya bertahan dua minggu di bioskop kecuali jika memang dianggap laku dan meledak di pasaran. Seperti film Habibie dan Ainun misalnya. Film ini dianggap sangat berhasil meraih jumlah penonton dengan raihan 4,575 juta penonton. Namun untuk beberapa film, hanya mampu bertahan dalam hitungan hari, seperti film Dream Obama, pada 2013 lalu. Film ini hanya bertahan 3 hari di bioskop, kemudian hilang.

Dengan standarisasi seperti itu, pengusaha bioskop di Indonesia, membuat pola bisnis yang sangat jelas memaksa film lokal untuk bersusah payah bersaing dengan film impor seperti film-film Blockbuster Hollywood. Dari sekitar 100 film lokal yang rilis pertahun, harus bersaing dengan 250-an judul film impor yang rilis di tahun yang sama. Persaingan semakin terlihat tak adil saat memasuki “musim panas”, di mana film-film Blockbuster Hollywood rilis dan film lokal menjadi sedikit tersingkir. Bahkan bisa terjadi di dalam satu bioskop, tidak memberikan ruang sama sekali untuk  film Indonesia. Padahal menurut Undang-undang No. 33 tahun 2009 tentang perfilman, setidaknya film nasional wajib dipertunjukkan sekurang-kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukkan. Namun pada kenyataannya, dan sepertinya hal ini menjadi strategi dari pengusaha bioskop, untuk membagi porsi film lokal dan film impor sedemikian rupa guna meraih pendapatan yang layak, atau mungkin berlebih.
Melihat beberapa fakta tersebut, sudah saatnya jika seluruh pelaku industri perfilman nasional dan pemerintah Indonesia untuk segera melakukan upaya agar bisa keluar dari persoalan tersebut. Hal ini menjadi penting ketika kesadaran bahwa perfilman nasional merupakan salah satu bagian penting dari usaha-usaha menjaga dan membangun pola budaya yang lebih baik. Bahwa film bukan hanya sebagai sebuah alat ekspresi dan aspresiasi dari seni dan budaya, namun juga haruslah menjadi alat edukasi yang sangat efisien dan efektif bagi masyarakat guna membangun pola budaya dan peradaban yang lebih maju.

Apa yang bisa dilakukan untuk mencoba mengatasi hal tersebut? Agus Jarwoko pernah mencatat bahwa untuk tahap pertama, perlu adanya regulasi dan political will dari pemerintah untuk berkembangnya pasar film Indonesia di seluruh provinsi dan selanjutnya di setiap kabupaten. Untuk memenuhi kebutuhan ma­syarakat penonton, idealnya untuk lima tahun ke depan diperlukan 3.000 gedung bioskop dengan 15.000 layar. Untuk mencapai hal tersebut, Agus Jarwoko mengatakan bahwa ada 5 langkah yang perlu dilakukan Pertama, perlu adanya penelitian dan pengkajian terhadap jumlah penonton film Indonesia dan pendapatan dari hasil pertunjukan di bioskop. Kedua, perlu adanya tatanan yang jelas dari paska produksi, distribusi dan eksibisi antara pelaku usaha bioskop dan Pemerintah. Untuk itulah keberadaan bioskop saat ini harus dikembangkan khususnya ge­dung bioskop kelas menengah kebawah di seluruh Indonesia yang pada akhirnya akan membantu para produser atau pemilik film dalam mendistribusikan filmnya ke bioskop-bioskop.
Ketiga, perlu diciptakan pendistribusian yang sehat, adil dan transparan antara pemilik bioskop dan pemilik film. Keempat, pemerintah perlu memberikan keringanan tarif listrik (PLN), karena beban terberat bagi operasional bioskop adalah pada pembayaran listrik, serta menurunkan pajak tontonan di seluruh Indonesia maksimal atau paling tinggi 10%. Kelima, perlu adanya satu sistem dalam perfilman Indonesia yang diatur dengan Undang-Undang Perfilman yang memiliki nilai-nilai pemberdayaan, pengembangan dan kemandirian/independen.

Jika akhirnya apa yang disebutkan di atas bisa terwujud, diharapkan apresiasi terhadap film lokal pun akan meningkat dan industri film nasional pun mampu berjalan dengan gagah, tak terlihat lesu. Apabila Korea Selatan mampu membangun 2000 layar untuk 48 juta warganya, Jepang 3000 layar dengan 140 juta rakyatnya dan India dengan 13.000 layar dengan 1,2 milyar warganya, bukan tidak mungkin Indonesia pun mampu memfasilitasi dengan jumlah perbandingan yang sesuai dengan jumlah warganya. Bila persoalan distribusi dan eksibisi ini bisa terselesaikan dengan cara yang tepat, maka harapan akan industri perfilman nasional yang bisa lebih memiliki ruang gerak dan mampu membangkitkan masa emas perfilman lokal, bisa terwujud. Dan pada akhirnya, film yang idealnya menjadi alat edukasi bagi masyarakat bisa memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan budaya kita sebagai sebuah bangsa, baik di dalam maupun ke dunia global.

Pernah dimuat di Majalah Kinescope Edisi 6

Link : http://www.slideshare.net/reizaalishariatiazhari/kinescopemagz-edisi-6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar