Menayangkan film pendek hasil perlombaan atau festival
kedalam medium layar lebar dan didistribusikan secara luas dibioskop memang
sesuatu yang bisa dianggap jarang di Indonesia. Adapun film-film pendek yang
disertakan dalam festival hanya ditayangkan selama festival itu berlangsung
atau di ajak keliling dari festival ke festival lain untuk menemui penontonnya.
Sejak tahun lalu, XXI Short Film Festival mencoba untuk mempublikasikan para
pemenang festival ini kekhalayak umum dengan diputar dibioskop.
Pada tahun keduanya, XXI Short Film Festival 2014
menayangkan 7 film pendek dari 3 kategori yang berlangsung pada bulan Maret
lalu. Ketiga kategori tersebut adalah Film pendek fiksi naratif, film pendek dokumenter, dan film pendek animasi. Pada
kategori film pendek fiksi naratif ada
Horison (Film pendek favorit), Lembar Jawaban Kita (Film pendek fiksi naratif
pilihan IMPAS), dan Sepatu Baru (Film pendek fiksi Naratif Terbaik dan Pilihan
Media). Pada kategori Film pendek
animasi ada Asiaraya (Special Mention Official Jury untuk Film Pendek Animasi),
dan Kitik (Film pendek animasi tebaik dan Pilihan Media). Dan dalam kategori
Film pendek documenter ada Akar (Film Pendek dokumenter terbaik dan special
mention pilihan media), dan Selamat Tinggal Sekolahku (Film pendek dokumenter
pilihan media).
Kompilasi XXI Short Film Festival 2014 dibuka dengan film
pendek beraroma thriller yang terasa dingin serta dibalut dengan kata-kata
filosofis. Horison berkisah mengenai Genda, gadis yang sedang menghadapi suatu
masalah secara tidak sengaja bertemu dengan pria misterius bernama Handi. Merasa
nyambung, Genda perlahan menceritakan masalahnya dan membuka diri kepada Handi
yang mendengarkan seraya memberikan jawaban menggunakan rangkaian kata-kata
kiasan. Hingga perlahan rahasia demi rahasia mulai terungkap.
Dengan sinematografi baik
yang menampilkan landscape indah serta didukung tone warna agak pucat semakin
menguatkan atmosfer dalam Horison layaknya suasana hati Genda, dingin dan
terasa galau. Samuel Ruby yang merupakan peserta asal Singapura mampu menuntun
penonton ke akar permasalahan Genda dengan perlahan dengan menghadirkan twist
di akhir film, walau tidak dipungkiri twist seperti ini sudah sering digunakan.
Script dalam Horison terlihat matang dimana sepanjang durasi film selama 17
menit yang mayoritas diisi dialog antara Genda dan Handi tidak terasa
membosankan, malah terkesan misterius dan membuat penasaran, terlebih diperkuat
dengan kata-kata kiasan yang penuh makna mendalam yang dilontarkan Handi untuk
menjawab permasalahan Genda.
Setelah Horison, penonton disuguhkan dengan film animasi
yang agak berat berjudul Asiaraya. Asiaraya berkisah mengenai seorang tentara
Jepang yang menuntunnya menemukan arti nasionalisme karena pertemanannya dengan
Yusuf, orang Indonesia yang pernah bekerja untuknya. Sebagai bentuk penebusan
janji Negara Jepang mengenai kemerdekaan Indonesia, dia melakukan pengorbanan
bersama Yusuf untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari gangguan bangsa
barat. Bisa dibilang, Asiaraya karya Anka Atmawijaya Adinegara merupakan film
animasi realis dimana mengangkat kisah yang jarang terekspos dari perjuangan
Indonesia. Dengan durasi 10 menit, Asiaraya mengangkat fenomena beberapa
tentara Jepang yang ikut membantu Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Film ini terasa datar dalam mengangkat kisah seorang tentara Jepang dan maksud
film ini diperkuat dengan teks yang berada di akhir film ini. Namun animasi
diawal film yang mengilustrasikan mengenai salah satu ramalan Jayabaya menarik
perhatian.
Film dokumenter pertama yang muncul di Kompilasi ini, Akar
karya Amelia Hapsari yang sebelumnya membuat “Jadi Jagoan Ala Ahok” yang juga
merupakan finalis XXI Short Film Festival tahun lalu. Berbeda dengan yang
sebelumnya, dimana Amelia berfokus kepada salah satu tokoh yaitu Ahok dan
“membuntuti” beliau berkampanye di Bangka Belitung, melalui Akar Amelia
mengangkat hal yang lebih personal dan dekat dengannya dengan mendokumentasikan
dia dan keluarganya sendiri. Seperti judulnya, Akar mengangkat kisah pribadi
Amelia dan darimana dia berasal. Mengekspos ayah, ibu dan neneknya serta
kehidupan sehari-hari mereka mulai dari mencari nafkah melalui took bangunan
hingga hal-hal kecil seperti senam di pelataran sebuah pusat perbelanjaan dan
makan bersama.
Akar seperti dokumenter yang berisi curhatan dari pembuatnya
yang melibatkan orang-orang terdekatnya. Amelia berusaha menceritakan
lingkungan dimana dia lahir dan besar, suasana keluarga yang digambarkan
senyata mungkin, serta disisipi dampak dari segala keputusan yang diambil Amelia
seperti keputusannya untuk kuliah diluar negeri yang membuatnya tidak bisa
menemui neneknya saat wafat. Dengan durasi 22menit dan berputar dikehidupan
Amelia, jelas untuk beberapa penonton ini terlalu membosankan dan agak panjang,
kecuali kalian keluarga dari Amelia itu sendiri, mungkin anda bisa sangat
menikmatinya. Film yang dimerupakan gabungan dari potongan-potongan kejadian
ini seperti ingin menceritakan banyak hal, namun terasa berlalu begitu saja.
Karya ini memang sangat terasa personal, bila ditelisik maksud awal dalam
pembuatan film ini tadinya untuk diputar dalam pernikahan Amelia, jadi terlihat
wajar bila filmnya berbentuk seperti ini.
Setelah disuguhkan film pendek dokumenter Akar, film keempat
dalam kompilasi XXI Short Film Festival 2014 juga bergaya dokumenter. Kali ini
menyorot seorang anak laki-laki bernama Lintang dalam film “Selamat Tinggal,
Sekolahku”. Lintang, anak berusia 11 tahun salah satu murid dari Rawinala,
sekolah untuk anak-anak dengan beragam masalah penglihatan di Jakarta. Setelah
7 tahun bersekolah disana, Lintang dianggap sudah mandiri dan harus pergi dari
sekolah. Lintang harus meninggalkan hal-hal yang disukainya seperti
teman-temannya, Band Junior, dan Drum.
Sederhana namun mengena, mungkin itu gambaran sederhana dari
dokumenter karya Ucu Agustin ini. Dengan durasi yang hanya 13 menit, penonton
sudah bisa merasakan apa-apa saja yang disukai oleh Lintang seperti hobi dan
moment bersama sahabatnya dan penonton turut merasakan kegundahan hati Lintang
ketika harus meninggalkan itu semua. Beberapa dialog serta adegan yang terlihat
sangat lugu serta natural dari Lintang dan teman-temannya membuat film ini
mengalir begitu nyaman untuk penonton. Tentu saja set tempat dalam film ini
mengingatkan pada film “What They Don’t Talk About When They Talk About Love”
karya Mouly Surya. Ya karena kedua-dua-nya sama-sama syuting di Rawinala.
Lembar Jawaban Kita, karya Sofyan Ali Bindiar menjadi film
kelima dalam kompilasi XXI Short Film Festival 2014. Film pendek fiksi naratif
ini berkisah mengenai Ali, seorang murid SD yang mengikuti Ujian Nasional yang
harus menghadapi ujian lain ketika sebuah kertas contekan diberikan ke salah
satu siswa yang kemudian kertas itu digilir dari satu siswa ke siswa lain. Menonton
Lembar Jawaban Kita terasa mendapatkan pukulan kecil namun mengena dan menohok.
Menyindir salah satu problematika bangsa ini perihal kejujuran (lebih akrab
disebut KKN) dari skala yang kecil dan sederhana. Lembar Jawaban Kita menyindir
bahwa tempat yang seharusnya mendidik pribadi muda yang baik malah menjadi
ladang subur untuk menanam sifat buruk ke anak-anak. Sistem pendidikan yang
buruk namun sudah dianggap biasa oleh beberapa pihak guru maupun siswa. Film
ini berhasil mengangkat kejadian yang bahkan sudah dianggap lumrah namun tentu
saja mencederai kejujuran sejak dini.
Kitik, film animasi karya Ardhira Anugerah Putra berkisah
mengenai seorang anak kecil dan segala ketakutannya saat menghadapi khitan
(sunat) yang akhirnya menjadi kejar-kejaran seru dengan sang mantri sunat.
Temanya sederhana dan juga dekat dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Film
dengan durasi 6 menit ini memiliki latar setting di suku Karo, Sumetera Utara.
Berbeda dengan AsiaRaya yang terkesan realis dan gelap, Kitik lebih berwarna
dengan karakter yang lucu. Mengingatkan kita dengan gaya animasi “Keripik Sukun
Mbok Darmi” di kompilasi yang pertama.
Film terakhir dalam kompilasi XXI Short Film Festival 2014
adalah film asal Makassar “Sepatu Baru”. Sepatu Baru mengisahkan seorang anak
perempuan yang hidup didaerah kumuh merasa gelisah karena hujan yang tak
kunjung reda menghentikan hasratnya untuk menggunakan sepatu baru. Ia-pun
menggunakan cara tradisional untuk menghentikan hujan berkepanjangan tersebut.
“Save the best for last”, mungkin pepatah tersebut pantas
disematkan kepada Sepatu baru yang dipercaya menjadi film pamungkas dan klimaks
dari kompilasi XXI Short Film Festival 2014. Sutradara muda asal Makassar,
Aditya Ahmad dengan piawai meramu tata sinematografi yang cantik, script yang
baik, serta akting yang menawan didukung dengan gesture penuh arti menjadi satu
kesatuan yang utuh membuat film dengan durasi 14 menit ini begitu ciamik. Usaha
mengangkat sebuah mitos tradisional dengan konflik yang membumi dan sederhana
kedalam film patut diberi apresiasi .
Tentu saja perhelatan festival ini merupakan ajang untuk
menemukan bibit-bibit baru dalam perfilman Indonesia. Sebut saja Aditya Ahmad
yang merupakan sutradara “Sepatu Baru” yang juga menggunakan karyanya ini
sebagai Tugas Akhir perkuliahnya di jurusan perfilman di sebuah Universitas di
Makassar. “Wajah lama”pun terdapat pada kompilasi XXI Short Film Festival 2014,
Amelia Hapsari yang sebelumnya menyuguhkan lika liku kampanye Ahok dalam “Jadi
Jagoan Ala Ahok” pada kompilasi yang pertama, kali ini tetap menyuguhkan film
dokumenter pendek dengan judul “Akar”. Adapula yang telah mengikuti festival
film lain sebelum XXI Short Film Festival 2014, “Selamat Tinggal Sekolahku”
sempat mampir di salah satu festival
film besar di Indonesia, JIFFEST 2013 yang
masuk dalam program Pop Up Cinema Short Doc is Doc. Secara keseluruhan
kompilasi XXI Short Film Festival 2014 ini merupakan tontonan alternatif
ditengah film bioskop didominasi film-film panjang. Tema yang beragam serta
terasa tak jauh dari sekitar kita membuat penonton merasakan beragam rasa dan
pengalaman sinematis saat keluar dari studio bioskop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar