Kamis, 26 Februari 2015

Review : XXI Short Film Festival 2014



Menayangkan film pendek hasil perlombaan atau festival kedalam medium layar lebar dan didistribusikan secara luas dibioskop memang sesuatu yang bisa dianggap jarang di Indonesia. Adapun film-film pendek yang disertakan dalam festival hanya ditayangkan selama festival itu berlangsung atau di ajak keliling dari festival ke festival lain untuk menemui penontonnya. Sejak tahun lalu, XXI Short Film Festival mencoba untuk mempublikasikan para pemenang festival ini kekhalayak umum dengan diputar dibioskop.

Pada tahun keduanya, XXI Short Film Festival 2014 menayangkan 7 film pendek dari 3 kategori yang berlangsung pada bulan Maret lalu. Ketiga kategori tersebut adalah Film pendek fiksi naratif, film pendek  dokumenter, dan film pendek animasi. Pada kategori  film pendek fiksi naratif ada Horison (Film pendek favorit), Lembar Jawaban Kita (Film pendek fiksi naratif pilihan IMPAS), dan Sepatu Baru (Film pendek fiksi Naratif Terbaik dan Pilihan Media).  Pada kategori Film pendek animasi ada Asiaraya (Special Mention Official Jury untuk Film Pendek Animasi), dan Kitik (Film pendek animasi tebaik dan Pilihan Media). Dan dalam kategori Film pendek documenter ada Akar (Film Pendek dokumenter terbaik dan special mention pilihan media), dan Selamat Tinggal Sekolahku (Film pendek dokumenter pilihan media).

Kompilasi XXI Short Film Festival 2014 dibuka dengan film pendek beraroma thriller yang terasa dingin serta dibalut dengan kata-kata filosofis. Horison berkisah mengenai Genda, gadis yang sedang menghadapi suatu masalah secara tidak sengaja bertemu dengan pria misterius bernama Handi. Merasa nyambung, Genda perlahan menceritakan masalahnya dan membuka diri kepada Handi yang mendengarkan seraya memberikan jawaban menggunakan rangkaian kata-kata kiasan. Hingga perlahan rahasia demi rahasia mulai terungkap.


Dengan sinematografi baik yang menampilkan landscape indah serta didukung tone warna agak pucat semakin menguatkan atmosfer dalam Horison layaknya suasana hati Genda, dingin dan terasa galau. Samuel Ruby yang merupakan peserta asal Singapura mampu menuntun penonton ke akar permasalahan Genda dengan perlahan dengan menghadirkan twist di akhir film, walau tidak dipungkiri twist seperti ini sudah sering digunakan. Script dalam Horison terlihat matang dimana sepanjang durasi film selama 17 menit yang mayoritas diisi dialog antara Genda dan Handi tidak terasa membosankan, malah terkesan misterius dan membuat penasaran, terlebih diperkuat dengan kata-kata kiasan yang penuh makna mendalam yang dilontarkan Handi untuk menjawab permasalahan Genda.

Setelah Horison, penonton disuguhkan dengan film animasi yang agak berat berjudul Asiaraya. Asiaraya berkisah mengenai seorang tentara Jepang yang menuntunnya menemukan arti nasionalisme karena pertemanannya dengan Yusuf, orang Indonesia yang pernah bekerja untuknya. Sebagai bentuk penebusan janji Negara Jepang mengenai kemerdekaan Indonesia, dia melakukan pengorbanan bersama Yusuf untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari gangguan bangsa barat. Bisa dibilang, Asiaraya karya Anka Atmawijaya Adinegara merupakan film animasi realis dimana mengangkat kisah yang jarang terekspos dari perjuangan Indonesia. Dengan durasi 10 menit, Asiaraya mengangkat fenomena beberapa tentara Jepang yang ikut membantu Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Film ini terasa datar dalam mengangkat kisah seorang tentara Jepang dan maksud film ini diperkuat dengan teks yang berada di akhir film ini. Namun animasi diawal film yang mengilustrasikan mengenai salah satu ramalan Jayabaya menarik perhatian.


Film dokumenter pertama yang muncul di Kompilasi ini, Akar karya Amelia Hapsari yang sebelumnya membuat “Jadi Jagoan Ala Ahok” yang juga merupakan finalis XXI Short Film Festival tahun lalu. Berbeda dengan yang sebelumnya, dimana Amelia berfokus kepada salah satu tokoh yaitu Ahok dan “membuntuti” beliau berkampanye di Bangka Belitung, melalui Akar Amelia mengangkat hal yang lebih personal dan dekat dengannya dengan mendokumentasikan dia dan keluarganya sendiri. Seperti judulnya, Akar mengangkat kisah pribadi Amelia dan darimana dia berasal. Mengekspos ayah, ibu dan neneknya serta kehidupan sehari-hari mereka mulai dari mencari nafkah melalui took bangunan hingga hal-hal kecil seperti senam di pelataran sebuah pusat perbelanjaan dan makan bersama.


Akar seperti dokumenter yang berisi curhatan dari pembuatnya yang melibatkan orang-orang terdekatnya. Amelia berusaha menceritakan lingkungan dimana dia lahir dan besar, suasana keluarga yang digambarkan senyata mungkin, serta disisipi dampak dari segala keputusan yang diambil Amelia seperti keputusannya untuk kuliah diluar negeri yang membuatnya tidak bisa menemui neneknya saat wafat. Dengan durasi 22menit dan berputar dikehidupan Amelia, jelas untuk beberapa penonton ini terlalu membosankan dan agak panjang, kecuali kalian keluarga dari Amelia itu sendiri, mungkin anda bisa sangat menikmatinya. Film yang dimerupakan gabungan dari potongan-potongan kejadian ini seperti ingin menceritakan banyak hal, namun terasa berlalu begitu saja. Karya ini memang sangat terasa personal, bila ditelisik maksud awal dalam pembuatan film ini tadinya untuk diputar dalam pernikahan Amelia, jadi terlihat wajar bila filmnya berbentuk seperti ini.

Setelah disuguhkan film pendek dokumenter Akar, film keempat dalam kompilasi XXI Short Film Festival 2014 juga bergaya dokumenter. Kali ini menyorot seorang anak laki-laki bernama Lintang dalam film “Selamat Tinggal, Sekolahku”. Lintang, anak berusia 11 tahun salah satu murid dari Rawinala, sekolah untuk anak-anak dengan beragam masalah penglihatan di Jakarta. Setelah 7 tahun bersekolah disana, Lintang dianggap sudah mandiri dan harus pergi dari sekolah. Lintang harus meninggalkan hal-hal yang disukainya seperti teman-temannya, Band Junior, dan Drum.
Sederhana namun mengena, mungkin itu gambaran sederhana dari dokumenter karya Ucu Agustin ini. Dengan durasi yang hanya 13 menit, penonton sudah bisa merasakan apa-apa saja yang disukai oleh Lintang seperti hobi dan moment bersama sahabatnya dan penonton turut merasakan kegundahan hati Lintang ketika harus meninggalkan itu semua. Beberapa dialog serta adegan yang terlihat sangat lugu serta natural dari Lintang dan teman-temannya membuat film ini mengalir begitu nyaman untuk penonton. Tentu saja set tempat dalam film ini mengingatkan pada film “What They Don’t Talk About When They Talk About Love” karya Mouly Surya. Ya karena kedua-dua-nya sama-sama syuting di Rawinala.


Lembar Jawaban Kita, karya Sofyan Ali Bindiar menjadi film kelima dalam kompilasi XXI Short Film Festival 2014. Film pendek fiksi naratif ini berkisah mengenai Ali, seorang murid SD yang mengikuti Ujian Nasional yang harus menghadapi ujian lain ketika sebuah kertas contekan diberikan ke salah satu siswa yang kemudian kertas itu digilir dari satu siswa ke siswa lain. Menonton Lembar Jawaban Kita terasa mendapatkan pukulan kecil namun mengena dan menohok. Menyindir salah satu problematika bangsa ini perihal kejujuran (lebih akrab disebut KKN) dari skala yang kecil dan sederhana. Lembar Jawaban Kita menyindir bahwa tempat yang seharusnya mendidik pribadi muda yang baik malah menjadi ladang subur untuk menanam sifat buruk ke anak-anak. Sistem pendidikan yang buruk namun sudah dianggap biasa oleh beberapa pihak guru maupun siswa. Film ini berhasil mengangkat kejadian yang bahkan sudah dianggap lumrah namun tentu saja mencederai kejujuran sejak dini.


Kitik, film animasi karya Ardhira Anugerah Putra berkisah mengenai seorang anak kecil dan segala ketakutannya saat menghadapi khitan (sunat) yang akhirnya menjadi kejar-kejaran seru dengan sang mantri sunat. Temanya sederhana dan juga dekat dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Film dengan durasi 6 menit ini memiliki latar setting di suku Karo, Sumetera Utara. Berbeda dengan AsiaRaya yang terkesan realis dan gelap, Kitik lebih berwarna dengan karakter yang lucu. Mengingatkan kita dengan gaya animasi “Keripik Sukun Mbok Darmi” di kompilasi yang pertama.



Film terakhir dalam kompilasi XXI Short Film Festival 2014 adalah film asal Makassar “Sepatu Baru”. Sepatu Baru mengisahkan seorang anak perempuan yang hidup didaerah kumuh merasa gelisah karena hujan yang tak kunjung reda menghentikan hasratnya untuk menggunakan sepatu baru. Ia-pun menggunakan cara tradisional untuk menghentikan hujan berkepanjangan tersebut.


“Save the best for last”, mungkin pepatah tersebut pantas disematkan kepada Sepatu baru yang dipercaya menjadi film pamungkas dan klimaks dari kompilasi XXI Short Film Festival 2014. Sutradara muda asal Makassar, Aditya Ahmad dengan piawai meramu tata sinematografi yang cantik, script yang baik, serta akting yang menawan didukung dengan gesture penuh arti menjadi satu kesatuan yang utuh membuat film dengan durasi 14 menit ini begitu ciamik. Usaha mengangkat sebuah mitos tradisional dengan konflik yang membumi dan sederhana kedalam film patut diberi apresiasi .


Tentu saja perhelatan festival ini merupakan ajang untuk menemukan bibit-bibit baru dalam perfilman Indonesia. Sebut saja Aditya Ahmad yang merupakan sutradara “Sepatu Baru” yang juga menggunakan karyanya ini sebagai Tugas Akhir perkuliahnya di jurusan perfilman di sebuah Universitas di Makassar. “Wajah lama”pun terdapat pada kompilasi XXI Short Film Festival 2014, Amelia Hapsari yang sebelumnya menyuguhkan lika liku kampanye Ahok dalam “Jadi Jagoan Ala Ahok” pada kompilasi yang pertama, kali ini tetap menyuguhkan film dokumenter pendek dengan judul “Akar”. Adapula yang telah mengikuti festival film lain sebelum XXI Short Film Festival 2014, “Selamat Tinggal Sekolahku” sempat mampir di  salah satu festival film besar di Indonesia, JIFFEST 2013 yang  masuk dalam program Pop Up Cinema Short Doc is Doc. Secara keseluruhan kompilasi XXI Short Film Festival 2014 ini merupakan tontonan alternatif ditengah film bioskop didominasi film-film panjang. Tema yang beragam serta terasa tak jauh dari sekitar kita membuat penonton merasakan beragam rasa dan pengalaman sinematis saat keluar dari studio bioskop. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar